Kupang, mediantt.com — Sekitar 1,8 juta Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang saat ini berada di luar negeri diperkirakan berangkat melalui jalur non prosedural atau ilegal sehingga berpotensi untuk dipulangkan ke Tanah Air.
“Pemerintah memutuskan, negara akan memfasilitasi pemulangan semua tenaga kerja prosedural untuk dibimbing mengembangkan wirausaha,” kata Project Manager Yayasan Tifa, Nani Vindanita, saat melakukan pertemuan dengan Komisi V DPRD NTT, di Kupang, Rabu (18/2), seperti dilansir Antara.
Berdasarkan data itu, menurut Nani, diprediksi pada Desember 2015 sebanyak 1.129 TKI akan dipulangkan dari Malaysia. Pemerintah Indonesia sendiri menargetkan memulangkan tenaga kerja ilegal hingga 50.000 orang untuk kemudian dimasukkan dalam program pemberdayaan TKI.
Nani menjelaskan, dalam pendampingan yang dilakukan bersama mitra lokalnya Yayasan Tifa menekankan pentingnya pelibatan buruh migran dan keluarganya dalam pemberdayaan dan perlindungan.
Ia menuturkan, kurang lebih 80 persen permasalahan buruh migran sebenarnya terjadi di fase pra-keberangkatan yang bersumber pada pemahaman mereka tentang prosedur migrasi, pembuatan keputusan untuk bekerja di luar negeri, dokumen migrasi hingga pelatihan, perjanjian penempatan dan kerja.
“Untuk mengatasi permasalahan yang kompleks tersebut Yayasan Tifa menekankan pentingnya perlindungan dan pemberdayaan TKI berbasis komunitas,” katanya.
Perlindungan dan pemberdayaan TKI berbasis komunitas membuat TKI paham hak dan resiko migrasi sehingga mampu melindungi dirinya baik secara finansial maupun hak. Secara finansial, TKI mempunyai perencanaan keuangan yang baik bagi keluarga yang ditinggalkan. Sedangkan masa depan adalah TKI memahami mekanisme perlindungan di luar negeri.
Pemberdayaan dan perlindungan berbasis komunitas tidak bisa dilakukan TKI sendirian, melainkan harus berkelompok agar dampaknya meluas dan dirasakan bukan saja oleh keluarga tetapi juga komonitas desa asal maupun wilayah yang lebih luas.
“Pemberdayaan dan perlindungan TKI berbasis komunitas juga tidak bisa dilakukan tanpa peran aktif negara untuk melindungi warganya mulai dari pemberian informasi yang jelas terkait migrasi aman, pengawasan agensi rektutmen, penegakan hukum, dan kebijakan anti korupsi, dan juga perbaikan pelayanan publik,” jelas Nani.
Yayasan Tifa berupaya meningkatkan kapasitas keluarga TKI yang khususnya di desa asal untuk untuk memahami persoalan dasar migrasi, hak buruh migran dan persoalan ketenagakerjaan termasuk prosedur migrasi aman serta memperkuat posisi dan daya tawar mereka terhadap PPTKIS, calo ataupun pemerintah.
“Tugas pendampingan yang dilakukan difokuskan pada peningkatan pemahaman mereka tentang hak-hak dan pilihan-pilihan yang dapat mereka ambil untuk migrasi atau tidak migrasi, memberdayakan mereka merencanakan keuangan sebelum migrasi dan bagaimana mengelola remitansi termasuk memberdayakan kapasitas wirausaha bagi keluarga dan TKI purna agar remitansi memiliki efek yang lebih produktif,” tambahnya.
Sebelumnya, Gubernur Frans Lebu Raya mengatakan, provinsi kepulauan tersebut merupakan salah satu daerah kantong human trafficking (perdagangan manusia) di Indonesia terlihat dengan maraknya kasus-kasus yang terjadi dimana sebagiannya merupakan warga Nusa Tenggara Timur.
Frans menyebutkan salah satu contoh terkait dengan hal ini adalah kasus burung Walet di Medan maupun kasus penampungan atau pemberangkatan ilegal TKI di Batam.
Untuk upaya pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) tersebut diatas lanjutnya, perlu komitmen bersama dan terpadu serta berkesinambungan serta komprehensif dalam upaya pencegahan dan penanganan TPPO di wilayah Nusa Tenggara Timur.
“Komitmen itu harus disampaikan atau diteruskan kepada seluruh warga masyarakat mulai dari perkotaan sampai ke seluruh pelosok Nusa Tenggara Timur. Karena persoalan ini menjadi tanggung jawab bersama, bukan saja tanggung jawab pemerintah,” ujar Frans. (sta)