PASAR BARTER WULANDONI DAN TALI PERSAUDARAAN PENDUDUK PESISIR DAN PEDALAMAN

by -450 views

Oleh Drs Ignatius Sinu, MA

KETIKA membahas tentang tali persaudaraan penduduk pesisir dan penduduk pedalaman yang berkepentingan dengan pasar barter Wulandoni, saya teringat tulisan hasil penelitian kami di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Dalam kajian itu digambarkan bahwa secara tradisional penduduk Desa Tanglapui adalah penduduk pedalaman, penjaga siri dan pinang. Konsep masyarakat yang terbelah, antara orang pedalaman dan orang pesisir tidak berlaku untuk masyarakat di wilayah Desa Tanglapui. Penduduk di desa ini secara tradisional adalah orang pedalaman (anak gunung), sedangkan orang pesisisr adalah penduduk pada dua desa lain, yaitu Kolana Utara dan Kolana Selatan. Turun temurun terbina pola hubungan interdependensi antara orang Tanglapui (Abui Talpe) di pedalaman dan masyarakat Kolana di pesisir.

Di dalam pola hubungan itu dikenal larangan (tabu) buat orang pedalaman untuk melakukan komunikasi keluar. Orang pedalaman boleh dikunjungi orang pesisir untuk saling menukar barang (barter), sebaliknya tabu bagi orang pedalaman mengunjungi orang pesisir. Pola hubungan tradisional ini dikenal dengan ’takei’. Orang pedalaman menyiapkan hasil-hasil pertanian (jagung, padi, kemiri, kelapa, singkong, ubi jalar, pisang, dan lain-lain) untuk orang pesisir; sebaliknya orang pesisir menyiapkan dan membawa kapur, garam, ikan, busana (baju, celana, sarung) dan anyaman-anyaman dari daun dan bambu untuk orang pedalaman. Pola hubungan itu tetap dipertahankan sampai sekarang (Sinu, dkk 1997).

Pola hubungan interdependensi, ikatan tali persaudaraan seperti digambarkan, juga masih kuat terpateri dalam tubuh ikatan sosial antar kelompok-kelompok sosial di selatan Lembata. Sapaan ”prevo”. Prevo kame”, ”breung”, ”reu” adalah ungkapan yang menggambarkan pola hubungan itu begitu dekat, saling menyayangi dan tidak saling menyangkal, apalagi mengkhianati.

Sebagaimana dituturkan orang-orang tua bahwa pertemuan-pertemuan besar atau pasar (vule), seperti di Lebala dan Wulandoni, berawal dari kesepakatan-kesepakatan satu dua orang karena kebutuhan antara ikan, garam, kapur dengan hasil-hasil pertanian. Saling janji untuk menunggu di suatu tempat pada jam tertentu, apakah pagi dan siang hari, yang dikenal dengan habeng. Habeng yang di dalamnya terkandung nilai kesetiaan, persahabatan, cinta, kejujuran terus berkembang antara dua kelompok sosial, yakni petani yang bertani untuk memberi makan penduduk pedalaman dan penduduk pesisir dan nelayan yang menangkap ikan, membuat garam, dan membuat kapur dari karang laut untuk memberi makan dan memenuhi kebutuhan penduduk pesisir dan pedalaman.
Pola hubungan itu seterusnya berkembang menjadi pola hubungan fetish, sakral, pola hubungan bernilai keramat (glare) yang tidak boleh diingkari.

Ketika tahun 1990-an, beberapa tahun orang Lamalera tidak menangkap ikan paus; ikan paus tidak muncul di perairan Lamalera, atau muncul pun sulit bagi orang Lamalera menangkap ikan paus. Tokoh masyarakat penduduk pedalaman menyampaikan bahwa kondisi ini karena adanya pengingkaran yang dilakukan orang Lamalera; ikan paus yang ditangkap orang Lamalera tidak dibawa untuk penduduk pedalaman (petani) melainkan langsung dijual kepada pembeli dari kota yang datang di pantai untuk mendapatkan uang tunai. Akibatnya adalah orang Lamalera tidak menangkap ikan paus, penduduk pedalaman pun mengalami masalah panen. Setiap tahun panen selalu gagal, gagal penen yang sulit dijelaskan. Yang hanya bisa dijelaskan bahwa karena terjadi sedikit persoalan hubungan antara penduduk pedalaman dengan penduduk pesisir yang dalam hal ini adalah orang Lamalera menjual langsung hasil tangkapannya (daging dan kulit ikan paus) kepada orang luar yang datang membeli lansung ke pantai.

Inilah yang menjadi keluhan, dan ungkapan kekesalan penduduk pedalaman, dengan mengaitkan retaknya polah hubungan penduduk pedalaman dan penduduk pesisir, yang timbul sebagai akibat dari nelayan Lamalera menjual hasil tangkapannya langsung di pantai untuk mendapatkan uang tumai. Dalam hal ini nelayan Lamalera melanggar tabu (glare) menjual hasil tangkapannya langsung di pantai untuk mendapatkan uang tunai. Konsekuensi dari retaknya pola hubungan ini adalah laut dan darat sama-sama tidak memberikan hasil untuk kehidupan. Selama beberapa tahun orang Lamalera tidak lagi menangkap ikan paus, dan penduduk pedalaman setiap tahun mengalami gagal panen. Orang Lamalera mengakui kelalaian mereka, lalu menghentikan penjualan ikan langsung di pantai. Hasil tangkapan terlebih dahulu diolah untuk selanjutkan dibawa ke pedalaman untuk mendapatkan hasil-hasil pertanian.

Bupati Lembata Yentji Sunur (dalam Website Pemerintah Kabupaten Lembata, 23-06-2019) mengatakan bahwa “Antara pasar barter Wulandoni dan penangkapan ikan paus secara tradisional itu, mempunyai satu mata rantai ekonomi yang tidak bisa dipisahkan. Orang dari Lamalera menangkap ikan paus lalu menukarnya dengan pisang, ubi, kelapa dan jagung dengan masyarakat desa yang tinggal di lereng gunung dan proses penukaran dilakukan di pasar barter Wulandoni itu”).

Pasar Barter Wulandoni adalah sisa dari aktivitas ekonomi dan kehidupan sosial budaya masyarakat tradisional, masyarakat dengan teknologi sederhana, yang hasilnya adalah untuk memenuhi kebutuhan makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal yang sederhana. Seperti yang digambarkan Karl Polanyi mengenai asal muasal manusia hidup dan melakukan transaksi (dalam Ida Bagus Brata, 2016) mengatakan, pasar merupakan sebuah institusi sebagai arena praktik transaksi ekonomi berlangsung, dan telah ada sejak manusia mulai mengenal pertukaran dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sejalan dengan dinamika yang terjadi dalam masyarakat, pasar mengalami perkembangan dan perubahan. Sampai dewasa ini masyarakat mengenal dua jenis pasar, yaitu pasar tradisional dan pasar modern. Kedua jenis pasar ini memiliki karakter dan pelaku pasar yang relatif berbeda. Pasar tradisional merupakan ruang transaksi komoditas kebutuhan subsistem yang prosesnya masih kental diwarnai suasana ekonomi pedesaan dengan tradisi yang masih kental. Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli yang ditandai dengan adanya transaksi langsung yang biasanya diawali dengan proses tawar-menawar barang. Sementara, pasar modern merupakan ajang praktik ekonomi perkotaan yang diwarnai oleh sain dan teknologi modern, baik dari segi komoditas, aktor di dalamnya, bahkan proses dan aturan main seperti yang telah ditetapkan oleh pengelola.

Pasar Barter Wulandoni yang adalah sisa dari kebudayaan lama, yang masih terus dipertahankan, dan sedang dalam proses mengalami perubahan dari aktivitas hidup komunitas subsistem ke aktvitas komunitas modern dengan sektor jasa sebagai basis, karena pasar Wulandoni sedang dalam proses menuju sektor tersier, di mana pasar Wulandoni dijadikan obyek wisata budaya untuk mendukung wisata budaya tradisi penangkapan ikan paus yang sudah mendunia. Pasar Barter Wulandoni masih menjadi gambaran hidup mengenai kehidupan masyarakat lama, masyarakat yang hidup pada beberapa zaman yang lalu. Pernyataan ini sama dengan pernyataan argumentatif penelitian ini bahwa barter adalah pasar, dan pasar adalah perilaku manusia yang menjadi indikator ekonomi dan kesejahteran masyarakatnya. Pasar yang maju dan dinamis mengindikasikan bahwa ekonomi masyarakatnya bagus, karena itu masyarakatnya pun sejahtera. Sebaliknya, kondisi pasar barter di mana para pelakunya melakukan aktivitas tukar menukar hasil pertanian dan laut tentunya mengindikasikan bahwa para pelakunya adalah masyarakat bersahaja, masyarakat dengan ekonomi subsisten.

Brata (2016) menjelaskan bahwa pasar tradisional merupakan miniatur kebudayaan Indonesia yang multikultural, merupakan contoh nyata kebhinnekaan bangsa Indonesia. Banyak etnis atau suku dengan karakter dan kebudayaan masing-masing berjumpa kemudian hidup bersaing dan berdampingan mencari nafkah dalam kios atau lapak yang ada dalam pasar. Para pedagang memiliki keunikan sendiri dalam menawarkan dagangan, namun iramanya tetap harmonis. Di pasar tidak ada budaya minoritas atau mayoritas. Di pasar tidak boleh ada budaya tertentu mendominasi budaya yang lain, karena mereka telah menyatu dalam budaya pasar.

Pengertian yang sama juga dijelaskan Sadilah, dkk (2011) bahwa pasar tradisional adalah sebuah tempat terbuka yang terjadi proses tawar menawar. Di pasar tradisional ini para pengunjungnya tidak selalu menjadi pembeli karena dia juga bisa menjadi penjual. Pasar tradisional dapat digolongkan ke dalam tiga bentuk, yakni pasar khusus, pasar berkala, dan pasar harian. Penjelasan Sadilah, dkk ini tergambar dalam pasar barter Wulandoni, pasar yang terjadi seminggu sekali (berkala) yaitu pada hari Sabtu, dan hanya berlangsung tidak lebih dari dua jam. Pasar ini berlangsung di bawah pohon asam, kawasan hutan asam pada masa lalu yang diubah menjadi ladang kemudian pemukiman penduduk,dan khusus pada tempat terjadi transaksi jual beli secara barter, pohon-pohon asam itu dibiarkan hidup, tidak diganggu warga, karena dijadikan tempat barter.

Barter adalah pasar, dan pasar adalah perilaku manusia yang menjadi indikator ekonomi dan kesejahteran masyarakatnya. Pasar yang maju dan dinamis mengindikasikan bahwa ekonomi masyarakatnya bagus, karena itu masyarakatnya pun sejahtera. Sebaliknya, kondisi pasar barter di mana para pelakunya melakukan aktivitas tukar menukar hasil pertanian dan laut tentunya mengindikasikan bahwa para pelakunya adalah masyarakat bersahaja. Gejala dan fenomena ekonomi dan sosial budaya di dalam mekanisme sosial masyarakat pedalaman dan pesisir melalui transaksi jual-beli warisan leluhur barter antara hasil pertanian penduduk pedalaman dan hasil laut penduduk pesisir atau nelayan, kedua masyarakat itu adalah masyarakat tradisional yang sangat bersahaja, hidup masih amat bergantung pada kemurahan alam baik di laut maupun di darat. Aktivitas bercocok tanaman yang dilakukan penduduk pedalaman adalah bercocok tanam ladang berpindah yang amat bergantung kepada curah hujan. Sedangkan penduduk pesisir melakukan aktivitas turun ke laut menangkap ikan juga secara tradisional bertumpu pada teknologi warisan leluhur.

Kedua masyarakat yang terbelah itu saling bergantung secara material (material values), berupa hasil laut dan hasil pertanian yang menjadi kebutuhan dasar akan pangan bagi kehidupan. Penduduk pendalaman membutuhkan hasil laut dan penduduk pesisir membutuhkan hasil pertanian. Hasil laut dan hasil pertanian adalah nilai vital bagi kehidupan manusia (vital value for life). Kebutuhan akan hasil laut oleh penduduk pesisir dan hasil pertanian oleh penduduk pedalaman di wilayah ini adalah kebutuhan dominan dan penting (dominant and important values) bagi kehidupan, bagi tenaga dan kesehatan untuk melakukan aktivitas dan untuk hidup, yang melahirkan pola hubungan dan interaksi sosial sedemikian rupa antara penduduk pedalaman dan penduduk pesisir di wilayah ini turun temurun. Bahkan sampai sejauh ini masih sulit mengalami perubahan oleh terpaan arus perubahan. Pola hubungan dan interaksi sosial antara penduduk pedalam terinternalisasi sedemikian rupa menyebabkan kelompok-kelompok sosial itu saling menghargai, saling manaruh hormat, dan bahwa tabu mengingkari. Hubungan sosial dan budaya itu terungkap dalam bahasa-bahasa seperti prevo, ema, bapa, kakak, arik, reuk, dan lain-lain istilah yang bermakna persaudaraan yang amat mendalam.

Pola hubungan itu terbina dengan orang pantai (vatte alep) membawa hasil-hasil laut berupa ikan kering dan segar, garam, kapur ke pedalaman menemui orang gunung (kive alep) di rumahnya masing-masing untuk mendapatkan hasil-hasil pertanian yang dibutuhkan dan yang disiapkan penduduk pedalaman. Yang melakukan aktivitas ini adalah kaum perempuan. Mereka sudah bangun dari tidur, pukul 01.00 untuk bersiap-siap, dan pukul 02.00-03.00 dengan suluh di tangan mereka meninggalkan kampungnya ke wilayah pedalaman berjalan kaki mendaki menjangkau kampung-kampung di lereng gunung Labalekang dan di wilayah pegunungan Atadei.

Pekerjaan seperti ini dikenal dengan Penetang. Orang Lamalera (penduduk pesisir) datang ke kampung-kampung di pedalaman untuk menukarkan hasil laut dengan hasil pertanian. Berbeda dengan pasar barter di Wulandoni pada setiap hari Sabtu (juga Labala pada setiap hari Rabu), di mana penduduk pedalaman dan penduduk pesisir bersepakat untuk bertemu di suatu tempat pada hari tertentu dan jam tertentu untuk saling menukar hasil pertanian dan hasil laut. Pekerjaan ini dikenal dengan vule. Jika penetang orang Lamalera datang ke kampung-kampung di wilayah pendalaman, sedangkan vule itu penduduk pesisir dan pedalaman datang ke suatu tempat, pada hari tertentu, jam tertentu berdasarkan kesepakatan turun temurun untuk melakukan tukar menukar hasil laut dan hasil pertanian.

Bentuk-bentuk transaksi jual beli (varre, meggo, snisak, tale, mongan, lili, mupul, knajo, nea, dll) yang terjadi atau yang terus dipertahankan itu sesungguhnya memiliki nilai-nilai sosial dan budaya yang hakiki, nilai-nilai mana menyebabkan masyarakat pedalaman-pesisir di tempat ini tetap mempertahankan barter, tidak hanya sebagai aktivitas ekonomi pasar berciri tradisional tetapi lebih dari itu adalah sebagai ritus sosial yang memiliki kaitannya dengan aktivitas ekonomi pertanian di pedalaman dan aktivitas ekonomi nelayan di pesisir. Manakala terjadi pengingkaran, retaknya hubungan penduduk pedalaman dengan penduduk pesisir, maka berakibat pada gagal panen di darat dan di laut, yang hanya bisa dikembalikan atau kembali pulih dengan diselenggarakan ritus perdamaian antara kedua kelompok sosial itu.

Kementerian Desa PDTT dan Kemenendagri selalau mengharapkan agar dengan semakin intensifnya perhatian pemerintah pusat terhadap pembangunan, terutama pembangunan di daerah pedesaan diharapkan dapat tercipta sentra-sentra produksi di desa. Sentra ekonomi dimaksud dapat menjadi kekuatan ekonomi masyarakat desa, yang menjadi pemicu dinamika pembangunan di desa, sehingga tujuan dari pemberian bantuan langsung kepada desa seperti (1) terhentasnya kemiskinan di desa, (2) kemajuan perekonomian desa, (3) berkurangnya kesenjangan pembangunan antardesa, dan (4) menguatnya masyarakat desa sebagai subjek pembangunan dapat terwujud. Pasar barter Wulandoni yang terus bertahan hingga tahun 2020-an ini memberikan gambaran akan betapa sulitnya dampak dari intervensi pembangunan untuk kemajuan desa-desa di wilayah selatan Lembata, desa-desa di wilayah kecamatan Wulandoni dan Atadei. Desa-desa di wilayah kecamatan ini masih terisolasi secara geografi, yang menyebabkan penduduknya memilih mempertahankan teknologi warisan leluhur bercocok tanam di ladang dan menangkap ikan di laut. Butir-butir harapan dari program-program pengengtasan kemiskinan di desa, untuk desa-desa di kedua wilayah kecamatan ini membutuhkan perhatian khusus.

Blikololong (dalam Elanor, 2020:38) menjelaskan bahwa barter di Wulandoni, kepulauan Solor, bahkan Alor dan Pantar terjadi antara penduduk pesisir dan pedalaman untuk keperluan subsistensi, sebagian besar berupa pertukaran hasil laut dan hasil kebun. Dengan kondisi yang berbeda, daerah pesisir dan pedalaman tidak menghasilkan barang yang bersifat kompetitif melainkan komplementer, sehingga terjadi pola hubungan saling melengkapi di dalam kehidupan mereka. Penduduk pedalaman dan pesisir di wilayah selatan Lembata adalah kelompok-kelompok sosial dan budaya yang terbelah antara sebagai petani dan nelayan. Sebagai petani, mereka adalah petani ladang berpindah yang sangat bergantung kepada kemurahan alam, hujan dan kesuburuan tanah yang diatur berdasarkan adat istiadat yang diwariskan dari nenek moyang, dan generasi-generasi berikutnya berkewajiban mempertahankan dan melesterarikannya. Begitu pula dengan penduduk pesisir di wilayah ini, yaitu penduduk dari Desa Lamalera dan Labala. Penduduk dari desa Lamalera adalah penduduk yang semata-mata menggantungkan hidupnya dari aktivitas menangkap ikan di laut, dengan menerapkan teknologi yang diwariskan nenek moyang. Baik hasil laut yang didapatkan penduduk pesisir maupun hasil pertanian yang didapatkan penduduk pedalaman bagi kedua kelompok sosial itu adalah produk-produk yang suplementer. Orang Lamalera menangkap ikan untuk konsumsi bersama penduduk pedalaman dan hasil-hasil pertanian yang didapatkan penduduk pedalaman adalah juga untuk konsumsi bersama antara kedua kelompok sosial yang terbelah itu. Seolah-olah penduduk pesisir (orang Lamalera) tabu melakukan aktivitas bercocok tanam, dan penduduk pedalaman tabu melakukan aktivitas turun ke laut menangkap ikan.

Polanyi (2003) mengatakan, pasar merupakan sebuah institusi sebagai arena praktik transaksi ekonomi berlangsung, dan telah ada sejak manusia mulai mengenal pertukaran dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sejalan dengan dinamika yang terjadi dalam masyarakat, pasar mengalami perkembangan dan perubahan. Sampai dewasa ini masyarakat mengenal dua jenis pasar, yaitu pasar tradisional dan pasar modern. Kedua jenis pasar ini memiliki karakter dan pelaku pasar yang relatif berbeda.

Pasar tradisional merupakan ruang transaksi komoditas kebutuhan subsisten yang prosesnya masih kental diwarnai suasana ekonomi pedesaan dengan tradisi yang masih kental. Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli yang ditandai dengan adanya transaksi langsung yang biasanya diawali dengan proses tawar-menawar harga. Sementara, pasar modern merupakan ajang praktik ekonomi perkotaan yang diwarnai oleh sain dan teknologi modern, baik dari segi komoditas, aktor yang terdapat di dalamnya, bahkan proses dan aturan main seperti yang telah ditetapkan oleh pengelola. Hal ini tergambar dalam fungsi kebudayaan di mana kebudayaan berfungsi untuk menjadi pedoman hidup manusia berperilaku. Hal ini diwujudkan dalam bentuk nilai, norma, ataupun hukum. Oleh sebab itu kebudayaan seperti ini terus diturunkan dari generasi ke generasi (shared culture). Kebudayaan juga berfungsi sebegai alat atau media yang membantu hidup manusia, berinteraksi, membangun relasi, dan menjaga harmonisasi di dalam kehidupan.

Kupang, 15 April 2024

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *