Ikut Pilkada, Anggota DPR, DPD, dan DPRD Harus Mundur

oleh -20 Dilihat

JAKARTA — Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang mengikuti pemilihan kepala daerah (Pilkada) diwajibkan mengundurkan diri terhitung sejak pencalonannya disahkan KPU/KPUD. Hal ini tertuang dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (8/7), yang mengabulkan sebagian permohonan judicial review terkait Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang.

Dengan adanya putusan tersebut, maka Pasal 7 huruf s UU a quo dianggap inkonstitusional. Pasal 7 hurus s mengatakan, anggota DPR, DPD, dan DPRD cukup memberitahukan pencalonannya sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah kepada pimpinan, sehingga tidak perlu mengundurkan diri.

Bertindak sebagai Ketua Majelis Hakim Konstitusi adalah Arief Hidayat, dengan anggota Patrialis Akbar, I Dewa Palguna, Suhartoyo, Manahan MP Sitompul, Aswanto, Maria Farida Indrati, Anwar Usman, dan Wan Duddin Adang.

Andi Syafrani, kuasa hukum seorang pemohon yakni bakal calon Bupati Pandeglang Dr Ali Nurdin di Jakarta, Rabu (8/7) malam, menyambut baik putusan tersebut. Menurut Andi, putusan tersebut merupakan keberhasilan MK untuk mengembalikan hak konstitusi warga negaranya, yang dicabut oleh pembuat UU melalui UU Nomor Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015.

Menurut Andi, terdapat dua norma yang ditegaskan MK. Pertama, norma yang diatur tentang konflik kepentingan keluarga petahana, yang bertentangan dengan UUD 1945. Artinya, norma itu tidak bisa dilaksanakan dalam Pilkada.

Kedua, harus ada asas keadilan bagi seluruh calon yang ingin mendaftar dalam Pilkada, dengan berbagai latar belakang, baik PNS, Polri, TNI, Pejabat BUMN/BUMD, maupun DPR/DPD/DPRD, ketika dinyatakan secara resmi sebagai calon dalam Pilkada, harus mundur dari posisinya masing-masing. “Menurut MK, Pasal 7 huruf s bertentangan dengan Pasal 28 J ayat 2 UUD 1945 dan mengandung unsur diskriminatif,” papar Andi.

Ia menyebutkan, dalam pertimbangannya, MK membantah argumen yang diajukan DPR. Dalam argumennya, DPR mengatakan bahwa posisi DPR/DPRD/DPD berbeda dengan TNI/Polri. Alasannya, karena mereka dipilih melalui pemilihan. Sedangkan TNI, Polri, dan PNS tidak dipilih melalui mekanisme pemilihan terbuka. Dalam bantahan tersebut, MK justru mempertanyakan, bagaimana jika yang mundur adalah pimpinan? Apakah bukan sama saja berdampak pada fungsi DPR/DPRD/DPD itu sendiri?

Selain itu, MK juga membantah terkait kedudukan DPPR/DPRD/DPD sebagai electif official, yang dipilih dalam pemilihan terbuka dan hal itu berbeda dengan PNS, TNI, dan Polri. Dalam bantahannya, MK mengatakan, bahwa dengan demikian, seharusnya anggota DPR/DPRD/DPD mengembalikan terlebih dahulu mandatnya sebelum mengikuti proses pemilu yang berbeda. “Saya pikir, argumen MK sangat rasional dan fair, dan berdasarkan pada dasar-dasar konstitusional kita,” tutur Andi.

Uji materi terhadap Pasal 7 huruf s UU No 8 tahun 2015 diajukan oleh Adnan Purichta Ichsan (perkara Nomor 33/PUU-XIII/2015) dan Dr Ali Nurdin (perkara Nomor 38/PUU/-XIII/2015). Putusan perkara No 33 berlaku mutatis mutandis bagi perkara No 38 dan uji materi pasal yang sama. (beritasatu.com/jk)

Foto : Ilustrasi Pilkada langsung

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *