Bolehkah Gereja Berpolitik?

oleh -23 Dilihat

Oleh : Pice Dori Ongen, SVD

Penulis, Kandidat Doktor pada Universitas Kepausan Salesian Roma.

JOHANES Paulus II, Paus yang baru saja digelar kudus pernah membuat orang Italia merasa sangat terganggu. Beliau menyerukan kepada rakyat dan para politisi negeri itu untuk membaharui kriteria politik mereka di hadapan terus menurunnya angka kelahiran di Italia, jika mereka ingin menjadi negara yang masih punya masa depan. Banyak pihak menuduhnya berpolitik karena mencampuri urusan rumah tangga yang lain.

Adalah Giulio Amato, Perdana Mentri Italia waktu itu, seperti menuang air ke tengah api, katanya: “Italia adalah negara demokratis! Bukankah Paus juga memiliki hak bersuara?“

Gereja dan politik adalah satu tema yang aktual dan menarik untuk direfleksikan. Sejarah membuktikan bahwa kemajuan peradaban di dunia tidak pernah terlepas dari campur tangan Gereja. Demikian pula di Indonesia, sejarah terang-terangan menunjukkan bahwa kemerdekaan itu tercapai karena keterlibatan yang aktif dan hidup dari para putra dan putri Gereja. Tetapi jika keterlibatan Gereja dalam bidang ini masih sering dipermasalahkan, hemat penulis, hal itu menunjukkan pentingnya pemahaman tentang pendasaran dan motivasi keterlibatan Gereja.

Kehidupan iman adalah kesaksian publik, dalam arti realitasnya tidak hanya mencakupi kehidupan di balik tembok-tembok biara atau ritus-ritus di dalam rumah-rumah ibadah melainkan penjelmaannya di dalam kehidupan nyata: satu kesaksian yang menyebar, menular dan meluas, menggapai semua manusia dengan semua dimensinya. Kesaksian publik atau politis yang demikian memiliki pendasaran dan asal usul di dalam Kitab Suci dan ajaran Gereja.

Landasan Biblis

Amilcare Manara, seorang Teolog Prancis, yang menyibukkan diri dengan persoalan-persoalan teologis tiba pada satu kesimpulan tentang realitas keselamatan. Tegasnya, realitas keselamatan tidak hanya menyangkut penjelmaan Kristus dan pesan-Nya di antara manusia, melainkan suatu realitas yang lebih luas dan kompleks karena karya Trinitaris. Kitab Suci menampilkan Allah Bapa sebagai awal mula seluruh sejarah keselamatan; Putera adalah pemenuh realitas itu; Roh Kudus dinamakan pengudus, yang menyelamatkan, menguduskan dan memperbaharui manusia.

Menurut pandangan Kristen, karya keselamatan itu terwujud pertama-tama sebagai pembebasan dari kekuatan-kekuatan yang membelenggu dan menindas: dosa dan kematian dengan segala konsekuensinya. Bukankah keselamatan di dalam Kristus, yang membebaskan semua hati dari egoisme dan dosa, dari ketidak mampuan mengasihi Allah dan sesama, bersifat universal? Bukankah keselamatan adalah satu realitas yang lebih luas, melampaui individu, merangkum seluruh situasi dosa dan ketidakadilan? Bukankah dengan itu ia memiliki karakter politis?

Karakter luas dari keselamatan itu tampak sangat jelas dalam Kitab Suci. Dalam Perjanjian Lama kita menemukan satu kesadaran bersama tentang solidaritas dalam dosa dan dalam keselamatan. Dari awalnya keselamatan itu adalah pembebasan dari perhambaan di Mesir. Dalam Perjanjian Baru, harapan akan keselamatan mengarah kepada hal yang sama: umat Yahudi, yang dijajah oleh orang Romawi, menantikan seorang Mesias pembebas. Pernahkah Kristus mengabaikan pandangan itu, lalu mewartakan hanya satu keselamatan individual dan spiritual semata?

Sebagai penyelamat jiwa-jiwa, Kristus terdorong untuk bersikap revolusioner demi membebaskan umat-Nya dengan menggadaikan hidup-Nya sendiri. Kata-kata dan sikap-sikap-Nya menjungkir balikkan seluruh sistem yang dianut oleh orang farisi karena Ia mengutamakan pribadi manusia; Ia mengapresiasi manusia dan menolongnya untuk bertumbuh, mengenyahkan keyakinan bahwa penghayatan hukum formal tanpa kasih itulah yang dapat menyelamatkan manusia.

Injil bukanlah pembebasan yang bersifat individual semata melainkan umum, berlaku bagi semua manusia dari kekuasaan yang menindas dan membelenggu. Kristus mewartakan Kerajaan Allah, Ia menghantar kita kepada suatu keselamatan yang tidak hanya memandang individu melainkan berkarakter publik dan politik. Hingga hari ini, dalam dan melalui Gereja serta semua pria dan wanita yang berkehendak baik, Yesus terus hidup dan menentang kenyataan dunia, mengeritik harapan-harapan palsu dan membongkar struktur yang menindas dan yang menjanjikan model-model firdaus yang lain. Satu-satunya firdaus yang dinantikan sejak kedatangan Yesus adalah persekutuan Trinitaris dari semua mereka yang percaya.

Pendasaran Gerejawi

Perlu ditegaskan bahwa keselamatan yang diwartakan oleh Gereja, tidak terikat secara sepihak hanya kepada dunia sakral, tertutup dari kehidupan nyata umat beriman. Sebaliknya kehadiran Gereja di tengah dunia mengandung pula satu dimensi politis, sebagai suatu kritik atas proses sosial politik yang sedang berjalan. Gereja adalah satu realitas ilahi dan manusiawi di dalamnya terwujud satu relasi baru antara manusia yang selalu kritis terhadap relasi-relasi semu di dalam kehidupan bermasyarakat (cfr. Lumen Gentium, 1).

Posisi yang dianut oleh Gereja secara resmi akhir-akhir ini adalah mengambil sikap kritis terhadap situasi-situasi konkret, sosial-politik menyangkut manusia, untuk membela manusia yang sama. Secara universal, ada banyak dokumen Gereja yang merujuk pada pilihan Gereja tersebut yakni Gaudium et spes, Mater et magistra, Pacem in terris, Populorum progressio. Melalui dokumen-dokumen tersebut Gereja menyatakan secara terang dan sadar sikap kritisnya di hadapan situasi ketidak adilan yang menindas dan membelenggu manusia.

Sikap Gereja universal itu ditindak lanjuti oleh Gereja lokal di Asia dengan himbauannya. Kongres Misioner tahun 1979 di Asia antara lain menyerukan: “Sebuah Gereja Asia yang lebih menyibukkan diri dengan fungsi dan pemeliharaan struktur, institusi, bangunan, perkantoran dan birokrasi daripada dengan cinta yang mengabdi tidak akan pernah menjadi saksi dan tanda yang dapat dipercayai di tengah kemajuan dan upaya pembebasan orang-orang kecil”.[1]

Maksud seruan itu jelas. Berbeda dari sebelumnya, orang-orang kristen hari ini dipanggil untuk menunjukkan kepada dunia satu wajah publik yang peka, tanggap dan terlibat, satu kepribadian yang bersifat sosial. Hal ini juga berarti bahwa mereka harus menarik diri dari dalam kontemplasi, yakni dari satu keyakinan bahwa keselamatan itu seakan-akan datang hanya dari Allah saja, tanpa kerja sama dari pihak manusia di dalam dunia dan lingkungan hidupnya sendiri.

Mendorong bertumbuh dan berkembang mentalitas yang demikian, Paus Paulus VI menulis satu pesan penting ini, tertuju kepada para imam dan kaum religius: “Dunia hari ini, lebih dari sebelumnya, ingin melihat di dalam kalian, pria dan wanita yang telah percaya akan Sabda Tuhan, akan kebangkitan-Nya dan hidup kekal, hingga mengabdikan kehidupan duniawi kalian untuk memberikan kesaksian tentang realitas cinta yang mengabdi kepada semua manusia (Paus Paulus VI, dalam Evangelica testificatio, 53). Tanpa kecuali kaum berjubah dipanggil kepada pengenalan yang baik bukan hanya tentang manusia melainkan juga tentang segala sesuatu yang mengitari kehidupan manusia berupa kondisi sosial politik, ekonomi, budaya bukan saja sebagai pakar atau ahli dalam bidang-bidang itu melainkan mampu menghubungkan semua aspek itu dengan pewartaan Injil dan cara hidup mereka sebagai saksi.

Gereja, yang diwakili oleh kaum klerus dan religius menurut pesan di atas, sejauh menyibukkan diri dengan kehidupan masyarakat, ia memiliki satu dimensi publik atau politis. Politik dalam hal ini tidak diartikan sebagai kegiatan pemerintahan, partai-partai atau kekuasaan di wilayah dan teritori tertentu melainkan sebagai keterlibatan aktif apa saja dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka tidak perlu berpihak kepada partai, kelompok dan golongan tertentu. Dalam kekuatan karisma, mereka dipanggil entah sebagai pribadi atau komunitas untuk mengambil sikap kritis di hadapan proses historis-sosial-politik demi kebaikan bersama – bonum comune.

Sebagai anggota masyarakat, orang-orang kristen berhak untuk bekerja, bahu membahu dengan yang lain yang ada di dalam partai-partai politik, institusi dan yayasan-yayasan sosial tanpa harus menunjukkan kepada publik kekristenan mereka. Kiranya mereka bekerja dalam diam, sama seperti garam yang mengasinkan dunia dalam ketenangan (Mat 5,13-16), atau biji sesawi yang ditaburkan ke tanah, bertumbuh dan menjadi pohon yang rindang dalam diam (Luk 13, 18-21), atau mirip seperti kekristenan awal, yang terus menghangatkan dunia dari dalam katakombe-katakombe.

Singkatnya, tugas Gereja dalam kehidupan publik adalah menawarkan “rasa sedap” yang lain, suatu “kualitas” hidup yang sungguh injili. Sejarah telah membuktikan bahwa nilai-nilai kekristenan secara efektif dapat masuk dengan mudah dan menyatu dengan realitas dunia di mana saja. Kebudayaan-kebudayaan telah dapat bersandar pada nilai-nilai politis yang hakiki seperti martabat pribadi, hati nurani, kebebasan, kesetaraan dan solidaritas. Namun sejarah juga menunjukkan bahwa di luar iklim kekristenan, nilai-nilai itu akan tergusur.

Kembali kepada pertanyaan awal tadi, bolehkah Gereja berpolitik, Paus Paulus VI pernah menjawab, katanya: “Bukan saja “boleh” melainkan “harus”. Di dalam Gereja masing-masing orang memiliki peran untuk dilaksanakan, satu misi untuk diwujudkan. Menurut Paus yang baru saja dibeatifikasi oleh Paus Fransiskus itu, “Politik adalah salah satu bentuk praktek cinta kasih yang paling mulia karena mengusahakan ‘bonum comune’ atau kebaikan bersama”. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *