Insiden di Aceh Singkil Coreng Spirit Kerukunan dan Perdamaian

oleh -27 Dilihat

JAKARTA — Dunia “melihat” ke Aceh kembali dengan munculnya tindakan intoleransi penyerangan gereja-gereja di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh. Peristiwa ini mencuatkan keprihatinan yang amat mendalam dalam hidup bermasyarakat dan berbangsa. Pascatsunami 2014, Aceh dibangun dalam semangat toleransi, pluralisme, dan kemanusiaan.

Oleh karenanya, Aceh bukan milik masyarakat Aceh saja, tetapi Aceh milik Indonesia dan juga dunia. Sehingga kasus kekerasan atas nama agama yang terjadi di Aceh Singkil mencoreng semangat kerukunan dan perdamaian yang telah tumbuh dalam masyarakat.

Demikian ditegaskan oleh Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) melalui rilisnya kepada Beritasatu.com pada Rabu (14/10) terkait dengan kasus Aceh Singkil, Aceh.

“Seperti yang telah ketahui bersama pada hari Selasa (13/10), telah terjadi penyerangan oleh massa intoleransi ke gereja-gereja di Kabupaten Singkil, Aceh. Peristiwa ini mengakibatkan terjadinya korban meninggal dan luka sesama anak bangsa serta pengungsian masyarakat akibat situasi keamanan yang tidak menentu,” ujar Ketua Umum Presidium ISKA, Muliawan Margadana.

Muliawan mengaku semua percaya bahwa hak beragama, berkeyakinan, dan mengaktualisasikan keimanan dalam beribadah adalah hak setiap warga negara yang dijamin oleh Undang-undang Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Masyarakat Aceh pascatsunami 2004, jelas dia, adalah masyarakat cinta damai yang telah dibangun kembali dengan semangat toleransi, pluralisme, dan solidaritas yang menghargai dan menjunjung tinggi Kemanusiaan.

“Semangat Aceh bukan hanya milik masyarakat Aceh saja, tetapi juga milik masyarakat Indonesia dan dunia. Maka kekerasan atas nama agama telah mencoreng semangat kerukunan dan perdamaian yang telah tumbuh di Bumi Rencong,” tandasnya.

Muliawan juga menegaskan, penyerangan terhadap rumah ibadat sejatinya merupakan penyerangan terhadap logika dan keyakinan kemanusiaan yang menyadari kelemahannya sebagai makhluk ciptaan Allah yang Maha Esa. Karena pada kenyataannya di rumah-rumah ibadah itulah -apa pun agamanya- Allah Yang Maha Esa ditinggikan dalam berbagai cara dan keyakinan iman.

“Kami meminta pemerintah dan seluruh jajarannya, khususnya Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil dan Pemprov Aceh untuk hadir bertindak tegas, cepat, dan tepat, karena jelas peristiwa yang terjadi ini bertentangan dengan Pancasila dan UUD RI 1945. Dan mengantisipasinya kemungkinan yang bisa mengakibatkan peristiwa Singkil berubah menjadi konflik yang lebih luas,” ungkapnya.

Sementara Sekretaris Jenderal ISKA Johanes Joko meyakini bahwa Pancasila sebagai roh dan inspirasi dalam hidup bersama sebagai bangsa Indonesia. Untuk itu, katanya, ISKA mengajak seluruh elemen anak bangsa dan jaringan lintas iman yang masih percaya akan Pancasila untuk terus menumbuhkan dan membangun solidaritas tanpa sekat.

“Kami menginstruksikan pada seluruh Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) ISKA di seluruh Indonesia untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi akibat dari peristiwa ini dengan membangun komunikasi dan kerja sama bersama unsur masyarakat, khususnya yang menghargai toleransi dan keberagaman,” imbuh Johanes.

Tidak Suka Kerukunan

Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan ada pihak yang tidak senang dengan kerukunan antarumat beragama di Indonesia. “Menurut analisa kami ada saja orang yang tidak suka dengan kerukunan,” ujar Ketua MUI Bidang Kerukunan Antarumat Beragama Yusnar Yusuf di Kantor MUI, Jakarta, Rabu (14/10).

Ia mengatakan, besarnya jumlah penganut Islam di Indonesia bukanlah alasan pemeluk agama lain harus mengikuti aturan dari umat mayoritas. “Tidak seperti itu. Kita harus menyadari Indonesia merupakan negara yang kerukunannya sangat tinggi,” kata dia.

Menurutnya, walau merupakan negara dengan penganut agama Islam terbesar di dunia, Indonesia tidak bergejolak seperti halnya negara-negara Islam di Timur Tengah. Karena itu, dia berani mengatakan Indonesia adalah negara paling aman di dunia.

“Tetapi ada orang yang tidak suka dengan itu dan memanfaatkan momentum (untuk melancarkan aksinya),” tutur Yusnar.

Momentum yang dimaksudkan adalah dipilihnya hari-hari besar agama Islam untuk melakukan kerusuhan. Ia mencatat peristiwa Ambon pada tahun 2000 dimulai pada 1 Syawal, kejadian di Tolikara, Papua, juga pada 1 Syawal, sementara di Aceh Singkil pada 1 Muharram. “Saat-saat itu kemudian dibangkitkan sedemikian rupa dan meresahkan penduduk,” katanya.

Selain itu, ia pun meminta semua umat beragama untuk tidak terprovokasi kabar-kabar di jejaring sosial terkait peristiwa di Aceh Singkil, yang belum tentu benar.

MUI menegaskan tidak ada satu pun agama yang setuju akan kekerasan.”Jika manusia menekuni dan melaksanakan ajaran agamanya, pasti aman. Sebab tidak ada satu agama pun yang mengajarkan kekerasan,” tutur Yusnar.

Pelanggaran HAM Serius

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian studi Masyarakat dan Negara (Laksamana), Samuel F Silaen, mengatakan, pembakaran gereja di Aceh Singkil merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) serius. Karena itulah, penegakan hukum harus dilakukan terhadap kasus intoleransi tersebut.

“Apapun dalil para pejabat daerah, penyerangan tempat ibadah adalah bentuk pelanggaran HAM berat dan pelanggaran hak konstitusional warga negara. Produk hukum yang menjadi dasar penyerangan juga merupakan bentuk pelanggaran HAM atau violation by rule, karena mengandung muatan diskriminatif dan bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945,” kata Samuel Silaen, Rabu (14/10).

Dia menyatakan, Pancasila dan UUD 1945 merupakan pegangan dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. “Jika bener info yang kami dapat bahwa terdapat Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh 25/2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah, yang muatannya sangat diskriminatif dan kemudian dijadikan dalih penyerangan, maka ini patut disesalkan. Dengan alasan yang sama, pada Mei 2012 sebanyak 20 tempat ibadah di Singkil juga ditutup oleh warga,” ujar jelas Ketua Umum Generasi Muda Republik Indonesia ini.

Dia juga menyesalkan peranan institusi kepolisian yang terkesan tunduk pada anarkisme massa. “Dengan alasan apapun karena kejadian ini bukan spontanitas, karena kabar penyerangan ini sudah beredar sehari sebelumnya. Kegagalan aparat kepolisian menuntut pertanggungjawaban,” tegasnya.

“Saya minta kepada semua pihak yang mengalami kedukaan untuk menahan diri agar jangan sampai masyarakat luas terpancing oleh provokasi melalui SMS-SMS. Saya berharap semua warga menahan diri dan menyelesaikan kasus ini secara hukum,” pungkasnya. (sp/bs/jdz)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *