Bupati Sikka ‘Usir’ Warga dari Kawasan Hutan Lindung

oleh -40 Dilihat

Maumere, mediantt.com – Sebanyak 23 kepala keluarga dari Desa Wairterang, Kecamatan Waigete, Senin (1/2), mendatangi DPRD Sikka. Mereka mengadu ke wakil rakyat karena sudah “diusir” oleh Bupati Sikka Yoseph Ansar Rera, dengan alasan mereka mendiami dan menggarap lahan pada kawasan Hutan Lindung Egon Ilimedo RTK 107.

Sikap Bupati Yoseph Ansar Rera yang “mengusir” warganya sendiri itu, tertuang dalam surat Bupati Sikka yang dikeluarkan pada 6 Januari 2016 lalu dengan perihal larangan mengerjakan dan menduduki kawasan hutan.

Surat Bupati Yoseph Ansar Rera ini tidak saja ditujukan kepada 23 KK yang mendiami lokasi Leng, tetapi juga kepada 27 KK yang mendiami lokasi Iligai di Desa Hokor, Kecamatan Bola, yang berada dalam kawasan hutan produksi RTK 60, dan 7 KK yang mendiami lokasi Watuhidit di Dusun Blidit, Desa Egon, Kecamatan Waigete, yang berada dalam kawasan Hutan Lindung Egin Ilimedo RTK 107.

Informasinya, Bupati Yoseph Ansar Rera menindaklanjuti hasil temuan petugas kehutanan Dinas Kehutanan Sikka. Dalam temuan itu diketahui bahwa warga pada tiga lokasi itu telah membangun pondok atau rumah dan menggarap lahan pada kawasan hutan. Aktifitas warga ini bertentangan atau melanggar UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang mana pelanggaran atas undang-undang ini dikenakan sanksi pidana.

“Maka dengan ini ditegaskan kepada saudara (warga yang mendiami tiga lokasi) untuk segera membongkar pondok atau rumah dan tidak boleh menggarap lahan dalam kawasan hutan sampai dengan batas waktu akhir Januari 2016. Bila penegasan ini tidak ditindaklanjuti, maka akan dilakukan tindakan tegas dan dirposes sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” tulis Ansar Rera.

Kepala Desa Wairterang Selvesman yang datang bersama warganya mengatakan, sebagai penduduk Sikka, pihaknya tetap menjaga kewibawaan surat Bupati Sikka, walaupun sangat menyakitkan perasaan mereka. Dia beralasan, tanah yang dihuni warganya itu sudah didiami nenek moyang mereka sejak tahun 1930. Jika harus diusir keluar, maka warga pun menuntut kompensasi sebagaimana yang diatur juga oleh UU Kehutanan.

UU Kehutanan, sebut dia, mengatur bahwa masyarakat di dalam dan sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan. Juga tertulis setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas miliknya akibat dari adanya penetapan kawasan hutan.

Ia pun lalu membandingkan pengusiran itu dengan pola penanganan pengungsi. “Pengungsi saja disiapkan lahan atau perumahan, tetapi warga saya hanya diusir dari tanah leluhur mereka tanpa tahu ke mana arah kaki  melangkah dan di mana anak-anak berteduh. Sungguh sangat menyakitkan. Padahal warga masih mengantongi identitas penduduk Kabupaten Sikka yaitu KTP RT 18 Leng-Kokonpuat dan RT 17 Wairbukan, yang mengharuskan ikut dalam pesta demokrasi pemilihan legislatif, kepala daerah dan presiden,” tegasnya.

Selain itu, warga masyarakat berkeberatan karena saat ini mereka sedang memproses hak pengelolaan hutan kemasyarakatan, di mana prosesnya sedang diurus oleh Yayasan Kasih Mandiri Flores Alor Lembata (Sandi-Florata) selaku LSM pendamping. Semua dokumen dalam proses ini sudah disampaikan kepada Gubernur NTT pada Oktober 2015 lalu.

Untuk itu, Silvesman bersama warga masyarakat 23 KK meminta Bupati Ansar Rera membatalkan atau menunda batas waktu pengusiran warga dari tanah leluhur mereka, sambil menunggu proses memperoleh hak pengelolaan hutan kemasyarakatan. Mereka juga meminta Bupati Ansar Rera memfasilitasi percepatan perolehan IUPHKm Masyarakat Adat Wair Tapo atau Matopo Dewa Desa Wairterang. (vicky da gomez)

Foto: Warga Desa Warterang yang dilarang tinggal di kawasan hutan mengadu ke DPRD Sikka.