Mari Kampanye Cerdas dan Bersih di Media Sosial

oleh -17 Dilihat

Kampanye harus menjadi pentas yang mempertontonkan ide, gagasan, dan program. Dari situ, pemilih bisa dengan nurani dan pikirannya menimbang-nimbang mana di antara para kandidat yang kira-kira akan mampu menjadikan daerahnya lebih baik. Selamat berkampanye bagi para kontestan Pilkada di Kota Kupang, Flores Timur dan Lembata.  

PEMILIHAN kepala daerah serentak 2017 memasuki fase kampanye, terhitung mulai Jumat (28/10). Inilah dimulainya masa-masa krusial yang akan menjadi salah satu penentu berkualitas atau tidaknya festival demokrasi yang bakal digelar Februari 2017 mendatang.

Kontestasi dan kompetisi dalam setiap pemilu, tak terkecuali pilkada, biasanya akan menemui masa-masa paling hebat, paling ketat pada masa kampanye. Segala daya upaya dikerahkan pada saat kampanye demi menarik sebanyak-banyaknya minat rakyat. Inilah yang kemudian memunculkan kampanye dalam rupa dan cara yang beraneka.

Ada cara elok, ada cara tak elok. Ada yang taat aturan, tetapi banyak juga yang gemar melanggar. Ada kampanye bersih, tak sedikit pula yang melakukan kampanye hitam. Di era post-modern seperti sekarang ini, kerumitan kian bertambah karena kampanye tak lagi didominasi cara-cara konvensional. Kampanye pengerahan massa secara fisik sudah dianggap kuno dan sangat tidak efektif.

Di zaman ketika teknologi menjadi tuan dan manusia menjadi hamba seperti saat ini, mau tidak mau, kampanye dengan memanfaatkan media sosial menjadi pilihan yang paling masuk akal. Sebaran dan jangkauan media sosial yang lebih luas daripada media apa pun tentu akan menjadi kekuatan besar jika mampu dioptimalkan sebagai strategi kampanye.

Namun, pada titik itulah masalah baru bakal muncul. Seperti lazimnya yang terjadi di negeri ini, penciptaan aturan selalu tertatih-tatih mengejar kecepatan laju perkembangan teknologi. Ketika teknologi sudah berlari empat langkah, regulasinya masih jalan di tempat.

Begitu pula dalam hal kampanye pemilihan umum. Aturan pengawasan yang ada rupanya belum menyentuh area media sosial. Ketua Badan Pengawas Pemilu Muhammad bahkan mengaku pihaknya kesulitan mengawasi kampanye di media sosial karena memang tidak ada aturan baku yang mengatur kampanye di media tersebut.

Padahal, harus diakui, media sosial punya dua sisi yang amat bertolak belakang. Media sosial bisa menggugah kesadaran, memupuk solidaritas terutama ketika berkaitan dengan bencana, misalnya. Namun, media sosial pula yang kerap dimanfaatkan dengan semena-mena sebagai sumber penyebaran fitnah dan kebencian.

Dalam konteks kampanye, media sosial sebetulnya sangat efektif untuk menyampaikan program kerja, ide, dan gagasan setiap calon kepada masyarakat luas. Akan tetapi, kita juga mesti waspada karena di media sosiallah potensi kampanye-kampanye negatif, provokatif, dan tak memedulikan etika dan norma bakal membanjir.

Antisipasi terhadap potensi pelanggaran kampanye di media sosial mesti dilakukan dalam dua pendekatan. Yang pertama dari sisi negara, terlepas dari pro-kontra terhadap konten revisi Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang disahkan DPR, Kamis (27/10), pemerintah mesti mengoptimalkan regulasi itu untuk mencegah terjadinya perang yang tak sehat di media sosial.

Polisi telah menyatakan akan menindak tegas pelaku kampanye hitam di media sosial. Di lain sisi, kita ingin menggugah kesadaran masyarakat agar lebih dewasa memanfaatkan media sosial dalam menggali informasi tentang calon yang akan dipilih.

Dengan mau meluangkan waktu untuk mengayak informasi yang masuk, masyarakat mestinya bisa menghindarkan diri dari jeratan provokasi dunia maya sekaligus mematikannya. Tentu akan sangat elok bila pilkada yang sehat dimulai dengan kampanye-kampanye mencerdaskan di media sosial.

Pilkada bukan Perang

Pemilihan umum kepala daerah atau pilkada bukanlah perang. Ia bukan arena bagi rakyat pendukung untuk saling serang. Ia juga bukan ajang bagi kandidat untuk saling mengalahkan. Pilkada merupakan wahana bagi rakyat untuk memilih orang terbaik menjadi kepala daerah. Ia menjadi ruang bagi kandidat merebut hati rakyat untuk memilih mereka. Sesederhana itu semestinya kita memandang pilkada, tidak perlu memperumitnya seolah arena pertempuran.

Oleh karena itu, penetapan para calon bukanlah pertanda ditabuhnya genderang perang. Ia sekadar perkenalan formal bahwa merekalah pasangan kandidat yang bisa rakyat pilih pada saatnya kelak. Disebut perkenalan formal karena toh masyarakat sudah mengenal para kandidat ketika partai-partai politik mengumumkan kandidat yang mereka usung.

Bahwa pilkada bukankah arena perang perlu kita ingatkan lantaran, terutama sejak partai politik mengumumkan kandidat yang mereka dukung, pilkada seolah menjadi arena pertempuran hidup mati. Istilah-istilah yang menjadikan pilkada sebagai arena perang bermunculan, terutama di dunia maya. Ada istilah jihad saiber, ada pula istilah intifadah saiber.

Untuk menjaga agar pilkada tak menjadi arena perang, peran elite sangat dibutuhkan. Pun demikian agar perang di dunia maya tak beralih ke dunia nyata, kontribusi mereka sangat diperlukan. Para tokoh agama bolak-balik mengimbau masyarakat untuk tak mengeksploitasi isu SARA. Imbuan itu bagus dan tentu saja kita dukung. Akan tetapi, malah ada elite dan pejabat negara yang justru memanas-manasi situasi dengan pernyataan-pernyataan tidak perlu, yang terkesan menyudutkan kandidat tertentu.

Sejumlah survei menunjukkan bahwa SARA tidak menjadi dasar bagi pemilih dalam menentukan pilihan mereka. Oleh karena itu, hentikanlah menjadikan SARA sebagai amunisi untuk saling serang. Ia percuma diandalkan karena hanya akan memecah belah rakyat dan memorakporandakan persatuan.

Bahwa rakyat semakin rasional dalam memilih, itu jelas menunjukkan kemajuan demokrasi kita. Akan tetapi, eksploitasi isu SARA bahkan sebelum pilkada betul-betul dimulai jelas mencederai kemajuan demokrasi kita. Karena itu, sekali lagi, hentikanlah penggunaan isu SARA sebagai amunisi untuk melampiaskan kebencian.

Setelah pengumuman resmi kandidat, dalam waktu dekat, kampanye pilkada DKI akan segera dimulai. Kita tentu tidak berharap kampanye menjadi ajang perang, arena pertempuran untuk saling serang di antara para kandidat dan pendukung. Kandidat satu bukanlah musuh bagi kandidat lain. Mereka tidak harus saling menaklukkan laiknya dalam perang. Yang harus kandidat taklukkan ialah hati dan pikiran para pemilih.

Kita berharap kampanye menjadi pentas yang mempertontonkan ide, gagasan, dan program. Dari situ, pemilih bisa dengan nurani dan pikirannya menimbang-nimbang mana di antara para kandidat yang kira-kira akan mampu menjadikan daerahnya lebih baik. Peran lembaga pengawas pemilu dan aparat keamanan sangat penting untuk memastikan pilkada bukan menjadi arena perang sehingga pilkada yang damai dapat diwujudkan. (*/jdz)

Foto : Ilustrasi Pilkada