BERAKHIR sudah tahapan terpenting perhelatan pilkada serentak 2017 berupa pemungutan suara, Rabu (15/2/2017). Kita patut bersukacita karena sejauh ini suasana terjaga. Situasi itu pula yang terus kita harap hingga proses pilkada betul-betul paripurna.
Kecuali di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, yang ditunda karena terkendala oleh pendistribusian logistik akibat cuaca buruk, tiada insiden berarti yang mewarnai pencoblosan di 100 daerah lainnya di seantero Indonesia. Semua berlangsung aman. Kekhawatiran akan adanya beragam gangguan tak menjadi kenyataan.
Tentu, kita patut mengapresiasi penyelenggara dan pengawas pilkada, para kontestan, serta aparat keamanan yang telah mati-matian memastikan pesta demokrasi lancar tergelar. Lebih dari itu, kita angkat topi untuk warga, terutama pemilik hak suara yang telah menggunakan hak mereka dengan penuh tanggung jawab. Tingkat partisipasi di banyak daerah terbilang tinggi.
Di DKI, umpamanya, tingkat partisipasi mencapai sekitar 75%. Dengan usainya pemungutan suara, para kontestan tinggal menunggu jerih payah yang berbulan-bulan mereka lakukan untuk menarik simpati dan memikat hati konstituen. Betul bahwa hasil hitung cepat lembaga survei bisa menjadi rujukan, tetapi hasil yang sah versi Komisi Pemilihan Umum pada 27 Februari nanti yang menjadi satu-satunya patokan.
Sudah menjadi hukum alam bahwa dalam setiap pertarungan ada yang kalah dan ada pula yang menang. Jamak pula bagi kubu pemenang untuk larut dalam kegembiraan dan mereka yang kalah tenggelam dalam kekecewaan. Namun, dalam pilkada sebagai perwujudan nyata demokrasi, jiwa sportivitas semua kubu yang kita butuhkan. Yang menang jangan jemawa, yang kalah mesti legawa. Siap menang siap kalah jangan cuma gagah di kata-kata.
Pilkada hanyalah panggung rivalitas sementara. Begitu rivalitas usai, mereka yang berseteru mesti kembali bersatu untuk bahu-membahu membangun daerah masing-masing. Pilkada bukanlah ajang untuk memecah belah, bukan untuk menghadirkan sekat-sekat pemisah, melainkan arena untuk memilih pelayan bagi semua kalangan.
Bagi sebagian daerah yang segera memiliki pemimpin baru, kita mengucapkan selamat. Apa pun latar belakangnya, mereka ialah pilihan mayoritas warga yang harus diterima dengan lapang dada. Namun, daerah lain, DKI Jakarta misalnya, harus menunda keinginan untuk secepatnya memiliki pemimpin hingga lima tahun mendatang. Dari hasil hitung cepat, tak satu pun dari tiga pasangan calon yang mendulang 50% + 1 suara sehingga persaingan harus diperpanjang di putaran kedua.
Hasil quick count semua lembaga survei menunjukkan pasangan nomor urut 2, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat, dan pasangan urut 3, Anies Baswedan-Sandiaga Uno, paling banyak meraup suara. Untuk menjadi pemenang sejati, mereka pun mesti head to head di grand final pada 19 April mendatang. Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni terpental dari persaingan.
Jika boleh memilih, kita sebenarnya ingin pilkada DKI Jakarta berakhir cukup satu putaran sehingga gejolak dan suasana panas lebih cepat menjadi kenangan. Akan tetapi, rakyat Jakarta sudah memutuskan pilkada sangat mungkin harus berlangsung dua putaran dan kita wajib menghormati pilihan itu. Karena pilkada DKI Jakarta mesti dituntaskan dengan dua putaran, kita pun mesti semakin menguatkan hati karena tensi tinggi masih lama beranjak pergi.
Hanya saja, kita boleh meyakinkan diri bahwa situasi tetap akan terkendali. Kita telah membuktikan bahwa sesengit apa pun persaingan, sepanas apa pun situasi, pilkada tetap berjalan aman. Tak berlebihan jika disebutkan bahwa bangsa ini semakin dewasa dalam berdemokrasi. Sikap seperti itulah yang wajib kita jaga sehingga pilkada serentak 2017 tak hanya benar-benar berakhir aman, tetapi juga berhasil melahirkan pemimpin yang memang layak menjadi pemimpin. (moil/jdz)
Foto : Basuki Tjahaya Purnama dan Djarot Saiful Hidayat.