WAIKABUBAK – Keberhasilan pembelajaran ternyata tidak cuma terkait dengan metode dan strategi mengajar yang tepat, tapi juga terkait pendekatan terhadap pola pikir guru dan siswa. Pendekatan pola pikir siswa yang benar dari awal akan mempengaruhi seluruh hidup siswa ke depannya. Pola yang benar itu adalah pola pikir berkembang atau growth mindset.
“Pendekatan pola pikir ini, pada dasarnya berdasarkan pendapat ahli psikologi dari Stanford University Carol Dweck dibagi dua, yaitu fixed mindset atau pola pikir tetap, dan growth mindset, atau pola pikir berkembang,” ujar Wuri, Education Specialist INOVASI saat memberikan pelatihan untuk 10 fasilitator daerah INOVASI, yang akan mendampingi 19 sekolah di Sumba Barat, di Hotel Ronita, 10 Maret 2018.
Menurut Wuri, sejogjanya guru menghindari fixed mindset atau pola pikir tetap ini. Guru yang berpola pikir tetap ini memandang bahwa kecerdasan, karakter dan kemampuan kreatif siswa adalah kapasitas yang tidak berubah, bawaan lahir dan memberlakukan siswa demikian juga. Siswa yang mengalami pendekatan ini pada akhirnya berpikir demikian juga, yang terpenting baginya adalah kelihatan pintar. Mereka pada akhirnya cenderung menolak belajar sesuatu yang baru, karena kalau gagal takut dianggap bodoh. Biasanya mereka menjadi malu kalau gagal atau tidak mengetahui sesuatu yang ditanyakan kepadanya.
Karena itu, Wuri menyarankan para pendidik mengarusutamakan pendekatan growth mindset atau pola pikir berkembang, yang melihat kecerdasan, kepribadian dan karakter seseorang atau siswa berproses untuk besar tumbuh karena tantangan dan kegagalan. Siswa tidak cuma dilihat berhasil dan tidaknya berdasarkan prestasinya tetapi proses dan kegagalan-kegagalannya dianggap sebagai batu loncatan untuk memperluas dan menajamkan kemampuan yang sudah ada.
Kecerdasan dan kemampuannya akan terus berkembang seiring proses-proses yang bisa jadi penuh kegagalan. Para siswa yang memiliki growth mindset ini percaya kecerdasannya dan ketrampilannya bisa terus tumbuh berkembang melalui usaha dan kegigihan, kemauan menerima masukan, kritik dan feedback.
“Mereka percaya yang terpenting adalah belajar. Mereka termotivasi untuk selalu berusaha dan bekerja keras,” ujar Wuri.
“Menurut Carol Dweck, ahli psikologi dari Stanford University, perbedaan penerapan pendekatan pola pikir semenjak usia dini akan memunculkan perilaku berbeda, yang akhirnya berhubungan dengan besarnya kesempatan untuk sukses dan gagal seseorang baik dalam konteks profesional maupun pribadi, dan respon seseorang untuk cepat merasa bahagia. ” tambah Wuri.
Menurut Wuri, penelitian yang diadakan di Amerika berdasarkan buku yang dikarang Carol Dweck, menunjukkan bahwa siswa yang terbiasa dikondisikan dengan growth mindset meningkat nilai ujiannya hingga dua tahun kemudian, bahkan murid yang paling rendah prestasinya pun dapat meningkat nilainya.
Pola pikir tetap juga akan membuat siswa akan terkuras berusaha membuktikan dirinya ia cerdas, terampil atau berkarakter. Berada di setiap situasi, dia merasa dirinya dievaluasi. “Siswa yang terbiasa dengan perlakuan fixed mindset cenderung memiliki rasa lapar untuk persetujuan atau konfirmasi,” ujar Wuri, menjelaskan hasil penelitian Carol Dweck.
“Siswa akan menyatakan pada dirinya aku tidak mau kelihatan bodoh, aku tidak mau gagal dan sebagainya, yang pada akhirnya akan mengarahkan pada kenyataan bahwa ia bisa gagal, mengurangi percaya dirinya dan bahkan bisa menghancurkan prestasi-prestasi selanjutnya,” ujar Wuri.
Tips Growth Mindset
Melihat banyak sekolah yang masih terlalu fokus pada hasil atau prestasi siswa atau pola pikir tetap dan bukan pada prosesnya, sesuai berbagai sumber, Wuri memberikan tip-tip sebagai berikut.
Pertama, menurut Wuri, guru musti lebih sering memberikan dukungan pada proses bukan pada hasil. Evaluasi terhadap murid sebaiknya terfokus pada perencanaan, proses, usaha, kemajuan dan strategi siswa dalam menghadapi tantangan. Bukan kemampuan atau hasil yang dicapai. “Kalau kita lebih sering memuji perencanaan dan proses, maka siswa akan terbiasa merencanakan dan ikut dalam kegiatan pembelajaran dengan lebih baik,“ ujarnya.
Kedua, ciptakan lingkungan kelas yang menerima kesalahan. “Apabila kesalahan dianggap biasa, murid tidak akan takut untuk bertanya dan belajar sesuatu yang baru,” ujarnya
Ketiga, ajukan tantangan. “Pastikan bahwa para siswa cukup tertantang di kelas. Buat mereka memahami bahwa tugas yang sulit adalah kesempatan untuk melatih otak dan mempelajari hal baru,“ ujar Wuri.
Ke empat, pasang ekspektasi yang tinggi. Katakan secara jelas bahwa anda berharap banyak dari siswa-siswa anda, bahwa kritikan juga akan selalu mereka dapatkan untuk memperbaiki diri.
Sesi pelatihan growth mindset ini merupakan langkah awal untuk menjadikan para fasilitator mengetahui salah satu pendekatan yang penting ketika mereka bertugas di lapangan. “Dengan pendekatan ini, kita bisa lebih bijak dalam mendampingi kepala sekolah nanti. Kita tidak mudah menghakimi dan lebih banyak memfasilitasi perencanaan dan proses,” ujar Paulus, salah satu fasilitator daerah Sumba Barat.
Menurt Pauline, fasda INOVASI yang lain, menjadi salah satu tugasnya nantinya untuk berusaha mengubah pendekatan guru ke siswa, “Guru-guru yang galak biasa marah kalau siswa tidak berhasil menjawab pertanyaannya. Kondisi ini sering membuat siswa menjadi tidak percaya diri. Kita akan memfasilitasi bagaimana membuat kondisi ini berkurang,” ujarnya.
Menurut Wuri, pelatihan ini memang ditujukan agar fasda dapat menggali potensi para pemimpin sekolah lebih dalam, membuat mereka percaya bahwa setiap orang memiliki potensi untuk terus berkembang, melalui kerja keras dan menyukai tantangan.
Program INOVASI di NTT dimulai pada Juli 2017. Penandatanganan MoUnya dengan pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dilakukan November 2017. Program pendidikan yang didanai oleh pemerintah Australia in akan dilaksanakan sampai tahun 2019. (*/jdz)
Ket Foto : Bu Wuri (paling kanan) dan bu Pauline (tengah) bersama-sama dalam kelompok membahas masalah-masalah sekolah pada kegiatan rintisan INOVASI di Sumba Barat, 10 Maret 2018.