PT AGG Punya Ijin OP Hingga 2021, Ijin AMP Bukan Otoritas Provinsi

oleh -29 Dilihat

KUPANG, mediantt.com – Pernyataan sepihak bahwa PT Agogo Golden Grup (AGG) tidak memiliki ijin AMP, bisa disebut upaya sistematis membohongi publik. Sebab, perusahaan sekelas PT AGG yang sudah sekian lama tahun kerja, tidak mungkin tanpa ijin AMP. Apalagi ini adalah syarat prinsip dalam tender proyek. Karena itu, Kepala Bidang Pertambangan pada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM & PTSP) NTT, Sunardi, memastikan bahwa pihaknya tidak punya otoritas mengeluarkan ijin AMP. Yang punya wewenang adalah pemerintah pusat. Tapi PT AGG punya ijin Operasi Produksi (OP) yang berlaku hingga tahun 2021.

“Soal ijin AMP PT AGG, itu bukan kewenangan kami. Bukan kewenangan DPM dan PTSP Provinsi atau Gubernur yang menerbitkan ijin. Sebab AMP adalah kewenangan pusat. Jadi untuk semua AMP, pengurusan harus ke pusat,. Tapi PT AGG punya ijin Operasi Produksi dan kami pujlnya file itu,” tegas Sunardi saat bersama Kepala DPM dan PTSP, Marsianus Jawa, ketika diwawancara di Kupang, Rabu (26/2) terkait ijin Aspalt Mixing Plant (AMP) di Nangapanda, Kabupaten Ende.

Ia mengaku bahwa AMP milik PT AGG bukan kewenangan DPM & PTSP NTT. “Kami tidak tahu menahu soal ijin tersebut,” ujarnya.

Menurut dia, dalam melakukan aktivitas di Ende, PT AGG memiliki ijin Operasi Produksi (OP). “Ijin OP milik PT AGG itu diterbitkan oleh kantor KPPSP di tahun 2016, dengan masa berlaku lima tahun hingga 2021,” tegasnya.

Untuk itu, jelas Sunardi, jika PT AGG melakukan kegiatan di luar Ende, misalnya di Manggarai Timur, maka wajib mengurus ijin Operasi Produksi Khusus (OPK) yang diterbitkan oleh Gubernur NTT yang ditandatangani Kadis DPM dan PTSP.

“Kalau PT AGG ingin melakukan kegiatan di luar ijin OP-nya, maka PT AGG harus miliki OPK, kemudian melakukan MoU kerjasama dengan perusahaan penyedia AMP di Manggarai Timur yang punya izin OP agar dapat mengelola material di sana,” terang Sunardi.

Sunardi juga menjelaskan, jika perorangan maupun corporate (perusahaan) ingin mengurus OP, sebelumnya harus memiliki Wilayah Ijin Usaha Pertambangan (WIUP) yang diterbitkan oleh Gubernur sesuai Undang-undang Nomor 23. Namun bagi pemegang WIUP lama, yang diterbitkan Bupati/Walikota, dapat dilakukan penyesuaian.

“Setelah miliki WIUP, harus mengurus lagi ijin eksplorasi. Ijin ini hanya membolehkan agar material batu pasir itu diteliti. Sesuai Peraturan Menteri (Permen) yang lama, ijin itu berlaku selama satu tahun dan bisa diperpanjang selama tiga kali. Namun sesuai Permen ESDM yang baru maka berlaku selama tiga tahun,” katanya.

Setelah semua dinilai pas, lanjut Sunardi, maka perorangan maupun corporate (perusahaan) sudah dapat mengurus ijin operasi produksi. Artinya dia sudah punya hak untuk mengelola.

Dikatakan, bila perusahaan itu sudah memiliki penghancur batu atau stone breaker, dan penghancur batu itu berada di dalam wilayah WIUP, maka tidak perlu mengurus ijin lagi untuk pemecah batu karena sudah melekat dengan ijin OP, kecuali pemecah batu itu berada di luar wilayah WIUP.

“Jadi kami membenarkan bahwa PT AGG itu sudah miliki ijin. Tapi itu namanya ijin OP. Di kami file ijinnya ada. Ijinnya itu masih berlaku sampai 2021. Tapi kalau soal AMP, itu bukan kewenangan kami. Sebab dalam Peraturan Gubernur (Pergub) pendelegasian urusan AMP bukan menjadi kewenangan daerah melainkan kewenangan pusat,” tandas dia.

Disinggung soal Kuari, Sunardi menjelaskan, masyarakat yang punya lahan yang ingin bekerjasama dengan kontraktor, sebelumnya harus mengurus WIUP terlebih dahulu. Artinya, jika PT AGG ingin mengelola Kuari di Manggarai Timur, maka harus mencari penyedia lahan yang miliki WIUP. Atau, PT AGG bisa berkoordinasi langsung dengan pemerintah untuk mendapatkan ijin dengan cara membayar retribusi.

“Atau jika tidak ingin bekerjasama dengan pihak lain atau pemerintah, maka PT AGG bisa saja membawa materialnya dari Nangapanda – Ende ke Matim, karena dia memiliki ijin OP,” jelasnya.

Sementara itu, Kadis Marsianus Jawa menambahkan, dalam minggu ini pihaknya turun lapangan untuk memastikan soal polemik penggunaan material oleh PT AGG di Matim. Sebab, menurutnya, bisa saja PT AGG membeli material di Matim yang direkomendasikan pemerintah. “Jadi kami dari DPM dan PTSP Provinsi NTT perlu melakukan pengecekan ke daerah setempat,” katanya. (yanto/lidya/jdz)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *