Rekonsiliasi di Seminari BSB, Mgr Edwal: Saatnya Berpelukan dalam Kasih

oleh -47 Dilihat

MAUMERE – Peristiwa 19 Februari yang mencoreng wajah pendidikan di Sikka dan NTT, khususnya di Seminari Bunda Segala Bangsa (BSB), akhirnya berakhir sejuk-damai dengan misa rekonsiliasi yang dipimpin Uskup Maumere, Mgr Edwaldus Martinus Sedu, Pr, Kamis (5/3).

“Rantai kekerasan yang kadang melembaga dan mentradisi adalah kegagalan dan kerapuhan kita. Sudah saatnya kita saling berjabatan tangan, berhadapan muka dan berpeluk erat dalam semangat kasih,” tegas mantan Vikjen Keuskupan Maumere ini.

Misa rekonsiliasi di Kapela Seminari Bunda Segala Bangsa Maumere itu dihadiri orang tua 77 peserta didik korban kasus 19 Februari 2020 yang viral beberapa waktu lalu, perwakilan pemerintahan dari kelurahan hingga dinas PKO Sikka, Polres Sikka, Kodim 1603 Sikka, dan para undangan.

Mgr Edwal bertindak sebagai konselebran utama didampingi Praeses Seminari BSB, Deodatus Du’u, Pr, Kepala SMP Seminari BSB Felix Dari, Pr, Kepala SMA Seminari BSB Raymond Minggu, Pr, Bapak Asrama SMP Seminari Frem Maget, O.Carm, Bapak Asrama SMA Seminari Agustinus Pitang, Pr dan Ketua Yayasan Persekolahan Umat Katolik (Sanpukat) Domi Dange, Pr.

Mgr Edwaldus juga mengajak semua pihak untuk bersama-sama memperjuangkan rekonsiliasi dalam pengalaman kerapuhan dan kelemahan. “Sebagai pribadi dan lembaga, pasti pernah dan akan jatuh dalam kelemahan, kerapuhan dan kegagalan, namun dalam semangat iman kita terpanggil untuk terus melangkah maju dengan kepala tegak dan berani mengakui kelemahan dan kerapuhan,” kata Mgr Edwal.

Uskup mengingatkan, “Lembaga pendidikan seperti Seminari ini hendaknya terus-menerus melakukan hari refleksi bersama atas dokumen-dokumen gereja, mulai dari para pendamping di seminari maupun guru-guru di sekolah. Sharing kitab suci dan sharing ajaran Sri Paus Fransiskus menjadi sangat penting untuk lembaga sebesar ini”.

Menurut mantan Praeses Seminari Tinggi Ritapiret ini, sebuah lembaga pendidikan hendaknya mewartakan cinta kasih injil sebagaimana diamanatkan oleh visi misi pendidikan KWI. Sebuah kritikan yang amat pedas pasti datang pada monolitik kecerdasan yang kaku dan ketegasan yang menekan dan masuk dalam lingkaran agresi diri yang tidak terkontrol.

Uskup Edwal mengajak dalam semangat pembaharuan sejati untuk menjadi murid Yesus dengan hati penuh sukacita injili. “Marilah belajar untuk senantiasa mengampuni dan belajar dari kesalahan. Hanya hati yang terbuka dan rahim sajalah yang sanggup mengampuni serentak yang mampu mengakui segala kesalahan, kekurangan, kegagalan dan kejatuhan dalam hidup,” demikian uskup mengakhiri kotbahnya.

Orang tua juga meminta lembaga pendidikan Seminari tidak lagi mengangkat kakak kelas sebagai socius baik di asrama maupun di sekolah.

Yuvensius Avelinus wakil orang tua membacakan surat pernyataan. Kedua belah pihak orang tua murid; kelas VII yang anaknya menjadi korban dan orang tua kelas XII, sepakat menuntaskan kasus ini secara kekeluargaan dan tidak akan menuntut secara hukum. Orang tua meminta lembaga agar melakukan proses pemurnian batin korban melalui pola asah, asuh, asih.

Situasi yang mengharukan ketika keterwakilan dari orang tua, korban, pelaku, guru dan pendamping dengan lilin bernyala di tangan melantunkan doa rekonsiliasi di depan arca patung Bunda Maria.

“Peristiwa yang terjadi kami sadari sebagai tantangan sekaligus berkat bagi lembaga ini untuk berbenah diri membangun kebersamaan baru menuju cita-cita pendidikan yang lebih baik,” ujar Praeses Seminari BSB Pastor Deodatus Du’u, Pr. (ven)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *