Jaga Lingkungan dari Ekosida, Indonesia Jadi Inspirasi Bagi Dunia

oleh -20 Dilihat

JAKARTA Karena pandemi Covid-19, pemerintah Indonesia memutuskan untuk melakukan refocussing anggaran nasional untuk jaring pengaman sosial, untuk mengelola Covid-19 dan melindungi rakyat dengan menyediakan fasilitas kesehatan, pasokan makanan, serta stimulus ekonomi bagi mereka yang terkena dampak Covid- 19, khususnya usaha kecil dan menengah dan untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan.

Dalam kondisi ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada konteks tema diskusi Global Landscape Forum, tetap melangkah bekerja melindungi hutan dari perambahan dan terus meningkatkan langkah-langkah penegakan hukum. Indonesia terus berupaya menjaga kawasan dan lingkungan sebaik-baiknya dan upaya terhindar dari ekosida (ecocide) dan di sisi lain mendorong prinsip keadilan restorative (restorative justice).

Demikian disampaikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, ketika berbicara pada sesi penutupan Global Landscapes Forum (GLF) Bonn 2020 Digital Summit yang dilaksanakan pada Jum’at (5/6) menjelang tengah malam Waktu Indonesia Barat melalui video conference.

Sesi penutupan yang bertajuk Building the Future We Want – Green Recovery from COVID-19 ini menyoroti peluang langkah-langkah stimulus ekonomi dan reformasi kebijakan untuk mendukung ekonomi hijau dan solusi berbasis alam, menjelaskan langkah-langkah prioritas untuk “building back better” dari keterpurukan ekonomi akibat pandemic serta mengeksplorasi hubungan antara pemulihan ekonomi berkelanjutan, perubahan iklim, dan keanekaragaman hayati.

Selain Menteri LHK, panelis yang memberikan pandangannya pada sesi diskusi penutupan GLF ini adalah Inger Andersen, Executive Director of UNEP, Prof. Edward B. Barbier, Colorado State University, Ibrahim Thiaw, Executive Secretary of UNCCD, Achim Steiner, Administrator of UNDP, Naoko Ishii, CEO and Chairperson of Global Environment Facility dan Yugratna Shrivastava dari UN Major Groups Youth Representative.

Profesor Edward Barbier dari Colorado State University pada sambutan pembukaan sesi menyatakan, untuk solusi iklim berbasi alam di negara berkembang perlu diiplementasikan tiga kebijakan utama yang merupakan strategi jangka panjang yang meliputi: menghilangkan subsidi bahan bakar fosil dan merealokasikannya untuk mendorong pengembangan energi berkelanjutan, menghilangkan subsidi irigasi dan merealokasikannya untuk meningkatkan sanitasi perkotaan dan penyediaan air minum, dan mengenakan pajak karbon. Selanjutnya Achim Steiner dari UNDP menyatakan, kita tidak dapat melangkah melakukan transformasi menuju ekonomi hijau tanpa dukungan masyarakat.

Inger Andersen dari UNEP menyatakan, stimulus ekonomi dapat diarahkan pada upaya-upaya menuju ke arah perbaikan lingkungan dan kelestarian alam, terutama konservasi keanekaragaman hayati. Keseimbangan alam salah satunya ditentukan oleh keanekaragaman hayati. Untuk itu kita harus bergerak bersama. Kita harus mengganti keseharian kita menuju masa depan yang lebih hijau.

Sementara itu, Naoko Ishii, CEO dan Ketua GEF, menyatakan bahwa ketidakseimbangan ekosistem merupakan akar masalah merebaknya Pandemi Covid-19. Dalam hal ini kita harus memfokuskan pada transformasi sistem pangan sebagai dampak Covid-19 dengan meningkatkan kemitraan di sepanjang rantai pasokan pangan.

Yugratna Srivasta, perwakilan dari youth community menegaskan, kita tidak dapat kembali ke kenormalan sebelumnya karena sistem sebelumnya tidak dapat lagi dipertahankan akbiat Covid-19. Untuk itu kita harus melakukan penyesuaian-penyesuaian yang mendorong pada kehidupan yang lebih ramah lingkungan.

Ibrahim Thiaw dari UNCCD menyatakan bahwa kita memerlukan kerja sama yang semakin erat di tingkat internasional. Kita tidak dapat mengatasi masalah dunia, terutama terkait Covid-19, tanpa dukungan semua pihak.

Lebih lanjut, Menteri Siti Nurbaya menegaskan, upaya Indonesia untuk meningkatkan sumber daya alam dan lingkungan telah menunjukkan kemajuan yang signifikan, dan upaya ini serta pembaruan masih terus dilakukan. “Komitmen dan upaya kami bahkan lebih kuat dari sebelumnya, termasuk pengaturan carbon pricing yang sedang dalam godokan dan segera dibahas pada tingkat rapat kabinet,” katanya.

Penerimaan dari carbon akan identik dan selaras dengan langkah-langkah green econony yang dijalankan oleh suatu negara, sebagaimana ditegaskan Prof Esward Barbier.

“Ketika FAO memperingatkan dunia tentang kelangkaan pangan karena Covid-19, maka negara-negara berusaha mengembangkan lahan yang subur untuk tanaman pangan. Namun, praktik pertanian di zona ekologis yang rentan harus dikelola dengan baik ketika itu tidak dapat dihindari,” demikian ditegaskan MenLHK, Siti Nurbaya.

“Karena itu, pendekatan dan pemenuhan syarat budidaya, syarat manajemen atau pengelolaan, dan syarat konservasi secara tepat menjadi langkah sangat penting untuk dipraktikkan dalam pembangunan pertanian secara berkelanjutan,” lanjutnya lagi.

Ini bukan hal mudah, perlu dukungan komprehensif. Untuk itu Indonesia menyambut kerja sama yang lebih erat dan memastikan dengan memperhatikan masyarakat dalam hal kesehatan, pangan, dan ekonomi, sambil mengelola hutan dan bentang alam secara berkelanjutan menuju masa depan yang kita inginkan.

“Pandemi Covid merupakan persoalan multi-facet dan perlu ditangani dengan penegasan orientasi pembangunan berkelanjutan, inklusif, seraya membangun kohesi sosial masyarakat dalam solidaritas global,” demikian Menteri Siti dalam mengakhiri pandangannya pada forum internasional bergengsi tersebut. (*/jdz)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *