Oleh : Yoseph Bruno Dasion, SVD
Praktisi Pendidikan, tinggal di Nagoya-Jepang.
MANUSIA dan sejarahnya selalu mencatat adanya persoalan-persoalan besar dan kelam yang sangat menakutkan. Tetapi, sebaliknya, banyak terang kemajuan justeru muncul dari yang kelam dan menakutkan ini.
Kita Suci Kristen, tidak hanya berawal tetapi juga penuh dengan catatan kelam sejarah manusia. Chaos di awal penciptaan, air bah dan bahtera Nuh, perbudakan ke Mesir dan pembuangan ke Babilonia. Dan bahkan Kitab pamungkasnya Wahyu Yohanes pun bicara soal runtuhnya Yerusalem Lama (Kekaiseran Romawi) dan lahirnya Yerusalem Abadi. Semua kisah kelam, kapan pun terjadi, menantang manusia untuk mecerdaskan diri dan mencari tata kehidupan, termasuk tata pendidikan, baru yang lebih baik, bergengsi dan manusiawi.
Wabah Corona termasuk dalam nominasi yang kelam dan menakutkan ini. Ia menebarkan semacam awan hitam yang tebal mengacaukan, dan bahkan mengoyak hancur tata kehidupan yang sejak lama mendarah-daging.
Infrastruktur yang Tidak Siap(?)
Ada dua faktor yang menjadi alasan ketidaksiapan ini.
Pertama, karena corona datang tanpa kabar. Sebuah kondisi pandemi tidak bisa diramal. Virus dan penyakit ini datang pada saatnya, yang tidak bisa dideteksi ilmu pengetahuan dan teknologi manusia. Alam semesta kita penuh dengan virus dan bakteri, yang rahasianya maha dalam. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dicapai manusia pun hanya sebatas untuk “membuktikan” sesuatu yang telah terjadi. Kita tidak kenal corona, kita tidak kenal influenza, kita tidak kenal Ebola, sebelum mereka tersebar dan mengganggu kesehatan manusia. Kita hanya memberi nama pada jenis virus yang bisa dideteksi dengan device teknologi kita yang sangat terbatas. Sebut saja, apabila benar bahwa sebuah virus corona sudah dideteksi jauh-jauh hari sebelum pandemi, maka sudah pasti para ahli sudah bekerja keras mempersiapkan vaksin dan obat penangkalnya. Tapi ternyata, tidak, kan? Pembuatan vaksin dan obat, baru mulai digiatkan setelah merebaknya pandemi.
Jadi janganlah kita segampangnya mempersalahkan pihak tertentu. Sebab, pemerintah sebuah negara sekali pun, tidak bisa berbuat banyak ketika berhadapan dengan corona. Negara-negara maju seperti Amerika dan Jepang, yang punya pusat dan laboratorium penelitian penyakit-penyakit pun, saat ini belum memiliki jurus jitu menaklukkan corona. Hajatan seakbar Olimpik Tokyo 2020 saja ditundah ke tahun depan. Yang bisa dilakukan saat ini untuk menyelamatkan rakyat dari virus corona, adalah dengan menyerukan New Normal, jarak sosial, menggunakan masker, cuci tangan, rajin makan, rajin tidur, dan rajin berdoa.
Kedua, Pendidikan sekolah, di negara manapun selalu “mengutamakan” aktivitas pendidikan tatap muka dan pendidikan dalam kelompok.
Mengapa demikian, sebab, Negara dan Pemerintah kita melihat sekolah tidak hanya menjadi tempat “mengajarkan” pengetahuan berbasis buku-buku pelajaran, tetapi sekolah lebih sebagai ruang kemasyarakatan-mikro, tempat “mendidik” para peserta didik tentang nilai-nilai sosial dan kemanusiaan. Sosial, menekankan pendidikan yang mengajarkan peserta didik dan juga pada pendidik untuk membangun relasi resiprokal-mutual dengan teman kelas (orang lain), khususnya dalam hal bekerjasama untuk mewujudkan tujuan bersama. Sedangkan kemanusiaan, adalah menyadari diri dan orang lain sebagai “persona” yang memiliki keunikan diri, tetapi yang harus saling menerima dan saling menghargai.
Pendidikan yang bertujuan mengajarkan pengetahuan berbasis buku-buku pelajaran sangat mungkin untuk memanfaatkan pembelajaran jarak jauh (PJJ online), tanpa tatap muka. Sedangkan, pedidikan yang bertujuan membangun kesadaran sosial dan kemanusiaan, hanya bisa dilakukan dalam interaksi langsung para peserta didik, misalnya dalam sebuah kelas.
Mengartikan pendidikan dalam perannya membangun pribadi manusia yang sehat jiwa-raga dan seutuhnya, kita tidak akan dengan serta-merta mengalihkan begitu saja tata pendidikan tradisional (atau tata pendidikan yang berlaku hingga corona merebak) kepada pendidikan dalam bentuk PJJ (tanpa tatap muka atau on-line).
Sejauh yang saya pahami, PJJ (aktivitas pendidikan on-line) hanyalah merupakan satu bentuk usaha untuk menanggapi situasi darurat dan bukannya menjadi modus pendidikan yang dilegitimasi sebagai alasan untuk menolak modus pendidikan pra-corona. Dengan alasan apapun, kita tidak boleh menjadikan kemajuan teknologi digital untuk memandang aktivitas pendidikan dalam bentuk pertemuan langsung, sebagai yang rendah dan tidak berarti.
Meskipun demikian, kita juga harus melihat pandemi corona sebagai sebuah ground-breaking moment yang memacu kita untuk membangun infrastruktur internet (IT dan ICT), khususnya untuk menunjang aktivitas pendidikan sekolah yang lebih maksimal.
Situasi kehidupan dunia yang semakin meng-global, yang menyebabkan hilangnya sekat-sekat informasi antar negara dan bidang keahlian, juga menuntut kita untuk berelasi dan berinteraksi secara global pula. Hal ini dimungkinkan oleh infrastruktur IT dan ICT yang lebih baik, agar ke depan, membuka kesempatan yang lebih luas bagi anak-anak kita, misalnya, untuk mengikuti pelajaran bersama anak-anak di sekolah-sekolah luar negeri. Selama liburan sekolah karena corona, banyak murid di sekolah saya mengakses pelajaran dari sekolah-sekolah di Amerika dan negara-negara Eropa. Hal ini mungkin karena infrastruktur jaringan internet yang baik, didukung kemampuan ekonomi orangtua, atau subsidi pendidikan dari negara, yayasan persekolahan, dll).
Jadi, fasilitas PJJ harus semakin dikembangkan untuk dimanfaatkan sebagai modus pendidikan alternatif pada situasi darurat seperti ini, tetapi juga sebagai modus “pendukung” yang membantu memproyeksi horizon pengetahuan para peserta didik.
Menunda Awal Tahun Sekolah
Sebagaimana diberitakan akhir-akhir ini, bahwa banyak orangtua murid resah dengan ide pemerintah untuk membuka tahun ajaran 2020. Di mana-mana semua orangtua-wali murid cemas mengirim anaknya ke sekolah. Pihak sekolah dan atau pemerintah harus menerima kecemasan ini sebagai hal yang wajar.
Dalam situasi pandemi corona, dasar kecemasan terbesar semua orang saat ini adalah belum tersediakannya vaksin dan obat penangkal corona. Di beberapa negara kita dengar nama beberapa obat yang “diperkirakan” bisa menyembuhkan pasien corona, tetapi belum menjadi obat definitif, karena masih sedang dalam tahapan uji coba klinis, yang membutuhkan jangka waktu yang sangat lama.
Di Jepang, kami mengambil langkah untuk memulai kembali aktivitas sekolah, tetapi dengan memberikan informasi tertulis (berdasarkan petunjuk pemerintah pusat dan lokal) kepada semua orangtua-wali murid lengkap dengan daftar-cek yang harus diisi. Di dalamnya memuat satu point penting, yakni, memberi kebebasan kepada setiap orangtua murid untuk memutuskan, apakah anaknya boleh datang ke sekolah atau tidak. Untuk murid yang tidak diijinkan oleh orangtuanya ke sekolah, sekolah memanfaatkan jaringan on-line untuk mengirimkan bahan-bahan pelajaran, PR dan tugas-tugas lain. Wali kelas bertugas untuk mengunjungi para siswa ke rumahnya, tentunya dengan persetujuan orangtua-wali murid.
Penundaan awal tahun ajaran tentu saja berdampak pada perubahan akhir tahun ajaran itu sendiri. Misalnya, kalau awal tahun ajaran 2020 itu terjadi pada bulan September nanti, maka tahun ajaran 2020 baru berakhir pada September 2021. Saya memilih untuk berpihak pada penundaan ini. Hal ini tentu saja menjadi beban psikologis sendiri bagi siswa dan orangtua-wali murid, tetapi harus diterima sebagai the best.
Tentang perubahan awal tahun ajaran ini, saya ingat kembali pengalaman pribadi, ketika masuk SMA pada tahun 1978. Waktu itu, tahun ajaran berawal pada bulan Januari dan berakhir bulan Desember. Tetapi, yang terjadi tahun itu, tahun ajaran diganti ke pertengahan tahun. Dengan demikian, angkatan kami harus menyelesaikan pendidikan SMA selama tiga setengah tahun.
Dalam masa pandemi ini, perubuhan awal tahun ajaran bisa kita terima sebagai salah satu alternatif terbaik menyikapi situasi yang tengah berlangsung. Tetapi yang harus dilakukan oleh pemerintah dan sekolah adalah mendampingi para siswa dan orangtua-wali murid dengan memberikan penjelasan dan pendampingan psikologis yang baik.
Hal lain, menunda awal tahun ajaran, tidak hanya diartikan menunggu saat dimulainya awal tahun ajaran (katakan saja menunggu datangnya bulan semptember), tetapi masa tunggu ini harus diartikan oleh pemerintah dan sekolah atau pun Yayasan Persekolahan untuk menyempurnakan fasilitas internet di sekolah-sekolah demi mendukung PJJ, apabila kecemasan corona ini masih terus berlanjut hingga tahun depan.
Guru Datang ke Tempat Siswa
Keluhan tentang tidak siapnya jaringan internet yang baik untuk setiap anak, sekolah dan keluarga patur kita pahami dengan kondisi, sebagaimana yang telah saya paparkan di atas. Keluhan-keluhan tentang ketidak-siapan fasilitas, pada sisi tertentu disebabkan oleh modus pendidikan kita, yang boleh dikatakan menerapkan sistem “guru tunggu murid berkumpul di sekolah”.
Tetapi dalam musim pandemi ini barangkali juga merubah modus pendidikan seperti di masa Sokrates, Yesus, Gautama dan Konfusius. Guru-guru masa ini berjalan keliling mencari murid. Ini zaman baheula, kan? Kuno? Tapi bisa jadi pemecah masalah dan kecemasan “tak ada internet.”
Kalau jaringan internet tak bisa menghubungkan guru dan murid, kontak sosial langsung antara guru, siswa dan orangtua-wali murid tentulah sangat dibutuhkan. Ini juga sebentuk cara mewujudkan pendidikan yang humanis yang menghangatkan dan membesarkan hati siswa di tengah gelisah corona.
Ada banyak hal yang harus dipikirkan ketika para guru datang ke tempat siswa, seperti menjaga jarak, penggunaan masker dan membatasi komunikasi verbal yang bebas terbuka. Jumlah siswa dibatasi per-wilayah tinggal dan mereka dikumpulkan di dalam sebuah ruangan besar, seperti aula paroki atau kalau cuacanya bagus, ya, bisa di alam bebas. Ini hanyalah ide-ide tambahan buat kita semua, agar tidak menangisi gelapnya malam dan lupa menyalakan damar lilin yang ada di dalam tangan sendiri.
Mari kita sehati-sejiwa menghadapi badai corona.
Tuhan memberkati.