Akhiri Kesengkarutan Hukuman Koruptor

oleh -32 Dilihat
Ilustrasi

SUDAH teramat lama rakyat berharap agar hukuman terhadap koruptor benar-benar bisa membuahkan efek jera. Harapan itu wajar, sangat wajar, karena faktanya para penegak hukum masih saja bermurah hati kepada para pelaku tindak pidana korupsi.

Kita semua sepakat bahwa korupsi termasuk kejahatan luar biasa. Namun, kita juga tak bisa menyangkal bahwa penyikapan para penegak hukum terhadap korupsi masih biasa saja.

Solidaritas Kemanusiaan Hukuman yang ditimpakan kepada para perampok uang rakyat pun cenderung ringan dan terang benderang melukai rasa keadilan.
Data Indonesia Corruption Watch atau ICW, misalnya, menunjukkan rata-rata vonis penjara bagi koruptor sepanjang 2019 cuma 2 tahun 7 bulan.

Belum lagi ada disparitas yang sangat mencolok antara kasus yang satu dan yang lain. Meski perkaranya serupa, tak jarang para hakim menjatuhkan vonis yang jauh berbeda. Yang agak mirip hanyalah besaran hukuman yang kebanyakan justru berseberangan dengan semangat melawan korupsi.

Dalam situasi itulah kabar baik berembus dari Mahkamah Agung. Lewat Peraturan MA (Perma) No 1/2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mereka berikhtiar untuk mengakhiri kesengkarutan hukuman bagi koruptor.

Dalam Perma yang diteken Ketua MA M Syarifuddin itu, MA memberikan pedoman kepada para hakim yang mengadili perkara korupsi untuk mengetukkan palu hukuman dalam lima kategori kerugian negara. Kategori paling berat ialah merugikan keuangan negara atau perekonomian negara lebih dari Rp100 miliar.

Untuk kategori berat, kerugian negara mencapai Rp25 miliar-Rp100 miliar, kategori sedang Rp1 miliar-Rp25 miliar, kategori ringan Rp200 juta-Rp1 miliar, dan paling ringan kurang dari Rp200 juta.

Selain kerugian negara, vonis juga harus mempertimbangkan tingkat kesalahan, dampak, dan keuntungan terdakwa korupsi. Jika semuanya masuk kategori berat, hakim dapat menjatuhkan pidana penjara 16 tahun hingga 20 tahun atau seumur hidup.

Kita menyambut baik terbitnya Perma 1/2020 tersebut. Aturan dan pedoman yang mereka keluarkan relevan dan signifikan dengan situasi pemidanaan para pelaku korupsi selama ini. Ia juga responsif, bahkan progresif, dan sangat kita butuhkan untuk mengakhiri kekacauan hukuman terhadap koruptor.

Dengan aturan itu, semestinya tidak ada lagi disparitas hukuman bagi koruptor. Dengan aturan itu, seharusnya tidak ada lagi perbedaan perlakuan kepada pelaku korupsi. Mereka mutlak diperlakukan sama, sama-sama pelaku kejahatan luar biasa yang harus dihukum berat.

Dengan aturan itu pula, tidak ada lagi alasan bagi seluruh hakim yang mengadili perkara korupsi untuk bermurah hati kepada koruptor. Betul bahwa perma tersebut belum paripurna. Masih ada sejumlah kekurangan, termasuk tidak dimasukkannya pasal suap dan pemerasan yang juga serumpun dengan korupsi.

Begitu juga soal batasan kerugian negara yang dinilai terlalu tinggi untuk divonis seumur hidup. Kendati begitu, perma tersebut setidaknya bisa menjadi rambu-rambu agar hakim tidak seenaknya memvonis koruptor. Yang terpenting, MA harus memastikan agar peraturan yang mereka buat itu tidak hanya gagah sebatas narasi, tetapi mandul dalam implementasi.

Memastikan para hakim untuk mematuhi Perma No 1/2020 menjadi tugas berat MA. Harus ada sanksi dan konsekuensi yang jelas bagi para hakim yang abai meski undang-undang menggariskan bahwa mereka independen dan bebas dari intervensi siapa pun.

Perma tersebut akan lebih memberikan manfaat jika jaksa penuntut umum satu sikap. Kita mendorong KPK dan Kejaksaan Agung membuat pedoman serupa sehingga disparitas tuntutan yang rata-rata juga ringan selama ini bisa disudahi. Dengan begitu, tuntutan dan vonis segendang sepenarian, sama-sama menjadikan pelaku korupsi sebagai musuh besar yang harus dilawan dengan sepenuh hati.

Dengan begitu pula, rakyat masih layak berharap bahwa negeri ini suatu saat akan mampu mencundangi korupsi. (e-mi/jdz)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *