Oleh : Bernardus T. Beding
Dosen di Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng
DUNIA kini hangat dengan ‘perdagangan uang’ di tengah kehidupan masyarakat yang dihimpit Covid-19. Berbagai kegiatan penjualan saham oleh para pemilik perusahan karena bangkrut akibat terpaan covid-19. Akhirnya, jalan yang ditempuh adalah melalui perdagangan uang.
Berbicara tentang perdagangan uang, tidak sedikit masyarakat yang menganggapnya sebagai aktivitas ‘tidak bermoral’ atau tidak etis (anasionalis), bahkan sebagai bentuk ‘nasionalisme baru’. Namun, pernyataan tersebut dapat menjadi kontra bagi masyarakat lain, karena hakikat konsepsi etika bisnis belum didefinisikan secara baik.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V (KBBI V), istilah etika terdiri dari dua kata, yakni etika dan etiket. Etika diartikan sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban morak (akhlak). Artinya, adanya kumpulan asas atau nilai mengenai benar atau salah yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat. Sementara itu, etiket memiliki arti “tata cara (sopan santun dan sebagainya) masyarakat beradab dalam memelihara hubungan baik sesama manusia”. Dengan demikian, etika bisnis diartikan sebagai tata cara pengaturan dan pengelolaan bisnis yang ideal dengan memperhatikan norma dan moralitas yang berlaku.
Pengertian tersebut menunjukkan bahwa etika memiliki sifat kelokalan (dianut oleh segolongan atau masyarakat tertentu) dan tujuannya untuk memelihara hubungan baik sesama manusia. Hal ini berarti konsep etika termasuk di dalamnya etika bisnis menjadi sangat subjektif dan relatif.
Sesuatu yang dianggap etis (baik) menurut sebuah masyarakat, belum tentu dianggap etis (baik) oleh masyarakat lain. Selain itu, etika bisnis berkaitan dengan peraturan formal, bisa juga tidak. Sesuatu bisa saja tidak melanggar peraturan (formal), tetapi oleh masyarakat dinilai tidak etis.
Suatu aktivitas memerlukan keberadaan etika, jika aktivitas tersebut dianggap tidak bebas nilai. Jika tidak bebas nilai, maka ada acuan-acuan normatif yang ikut “mengatur” aktivitas tersebut.
Kerangka seperti itu juga belaku untuk kegiatan bisnis, baik offline maupun online. Jadi, di mana bisnis dianggap sebagai aktivitas yang tidak bebas nilai, di sana pula keberadaan etika mutlak diperlakukan.
Berbicara mengenai bisnis merupakan kegiatan mencari uang. Karena itu, ketika ada orang yang terjun ke dunia bisnis, maka uanglah yang menjadi tujuan utamanya. Kalau bukan uang yang menjadi tujuannya, meskipun mungkin secara umum aktivitas tersebut mungkin memiliki ciri-ciri bisnis, maka hakikatnya kegiatan tersebut bukanlah kegiatan bisnis.
Tentu, muncul pertanyaan, rambu-rambu apakah yang membatasi kegiatan mencari uang tersebut? Pertama adalah peraturan (formal), baik yang belaku secara umum maupun yang khusus untuk dunia bisnis. Kedua, kalkulasi untung rugi. Suatu aktivitas bisnis, meskipun tidak melanggar peraturan, tidak akan dilakukan jika aktivitas tersebut mendatangkan kerugian yang tak tertutupi oleh aktivitas lain dan dalam jangka waktu yang panjang. Ketiga, nilai-nilai yang dianut secara pribadi oleh para pelaku bisnis.
Sebuah aktivitas bisnis bisa saja sangat menguntungkan dan tidak melanggar peraturan, tetapi tidak dilakukan karena secara pribadi pelaku bisnis tersebut memiliki nilai-nilai tertentu yang melarangnya.
Lantas, di mana letak etika bisnis? Tentu saja, pertanyaan ini dicuatkan ketika ada nilai-nilai (etika) tertentu dalam masyarakat tidak atau belum tercakup dalam peraturan formal, tidak mendatangkan kerugian usaha, serta ternyata berbeda dengan nilai-nilai yang dianut oleh para pelaku bisnis. Misalnya, pertama, keberadaan usaha yang bersifat monopoli.
Di Indonesia, keberadaan monopolis (pelaku monopoli) sama sekali tidak melanggar peraturan dan sekaligus mendatangkan keuntungan. Monopolis juga ternyata tidak mempunyai nilai-nilai yang mencegahnya menjadi monopolis. Opini publik berlandaskan logika etika bisnis pun ternyata tidak mampu mendatangkan kerugian secara riil bagi monopolis. Kedua, “etika” yang menyatakan bahwa penguasa besar hendaknya menyisihkan sebagian kekayaannya untuk penduduk miskin atau pengusaha kecil. Redistribusi pendapatan di luar pajak ini tidak ada peraturannya serta tidak menguntungkan, sehingga pelaksanaannya sangat tergantung pada nilai-nilai yang dianut oleh pengusaha besar.
Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa secara institusional etika bisnis sebenarnya tidak ada. Kalau ada, sifatnya sangat individual. Sejauh kegiatan bisnis menguntungkan, tidak dilarang dan pelaku bisnis mau melakukannya, tidak ada satu upaya pun yang mampu menghentikan kegiatan tersebut. Artinya, etika bisnis tidak lebih merupakan gerakan moral untuk mengarahkan pelaku bisnis yang efektivitasnya sangat diragukan.
Meskipun demikian, tidak berarti opini publik sebagai implementasi etika menjadi tidak berarti sama sekali. Etika bisnis tidak ada, tetapi pelaku bisnis bisa “dipaksa” untuk bertindak etis melalui opini publik. Kunci ini terletak pada kemampuan kita untuk mengimplementasikan aspek etika ke dalam peraturan formal atau menginternalisasikannya dalam kalkulasi untung rugi.
Jadi, kalau memang pemerintah (sebagai representasi masyarakat) ingin pelaku bisnis melakukan atau tidak melakukan sesuatu, maka mereka harus membuang peraturan yang mengharuskan atau melarang kegiatan tersebut. Kalau tidak, maka terciptanya risiko terjadinya monopoli kebenaran oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan dan/atau kekuatan lebih besar.
Dengan alur berpikir demikian, larangan kegiatan perdagangan uang yang dianggap tidak etis merupakan tindakan di “jalan yang benar”. Orang-orang tidak berhenti pada menghimbau agar orang atau sesamanya tidak terjun ke perdagangan uang, karena tahu imbauan seperti ini akan sangat tidak efektif.
Jika tidak diimplementasikan ke dalam peraturan formal, maka opini publik (sebagai cermin etika) dapat ditransformasikan menjadi sebuah gerakan massal untuk memengaruhi kalkulasi untung rugi. Kegiatan boikot terhadap produk-produk industri yang dianggap tidk etis merupakan salah satu bentuk gerakan yang dimaksud. (***)