Ketika Rakyat Kecil di Wilayah Selatan Merasa Tidak Ada Pemerintah

oleh -23 Dilihat

Komunitas Taman Daun bersama warga dan anggota Koramil sedang perbaiki jalan menuju Lamalera.

LEWOLEBA – “SAYA sangat terharu ketika banyak warga mau menyumbang dari kekurangan untuk bersama memperbaiki jalan rusak yang parah di titik-titik kritis, mulai dari Puor ke Lamalera”.

Begitulah ungkapan hati Kordinator Komunitas Taman Daun, John S. Batafor, kepada mediantt.com, Selasa (23/3).

Ia mengaku menginisiasi kerja swadaya ini bukan karena mau pencitraan apalag untuk mengkambing-hitamkan pihak lain, terutama pemerintah dan DPRD Lembata. “Tapi semata karena kepedulian akan nasib warga yang setiap hari melintasi jalur jalan yang amat memprihatinkan itu,” tutur John Batafor.

Soal sumber dana, sebut dia, pola yang diiterapkan adalah sistem gemohing atau gotong royong. “Sumber dana, semua kita pake gemohing juga. Ada beberapa orang tua datang membawa semen 1 zak, ada yang uang Rp 50 ribu, ada yang bawa pisang, ubi. Mereka memberi dari kekurangan mereka, hanya demi jalan yang juga menjadi jantung kehidupan rakyat dan pemerintah daerah. Warga begitu tulus membangun daerahnya,” jelas aktifis sosial ini.

Ia juga mengatakan, gemohing merupakan senjata paling ampuh, warisan luhur nenek moyong. “Jika semua wilayah terapkan sistem gemohing ini maka kita akan merdeka secara mandiri. Ini juga adalah bentuk nyata partisipasi masyarakat meringankan beban negara, tanpa selalu berharap penuh dari pemerintah,” tandas Batafor.

Menurut dia, perbaikan jalan ini sesungguhnya untuk memudahkan akses warga dari desa ke desa dan dari desa ke kota. “Ketika akses infrastruktur dalam hal ini jalan, baik dari desa ke desa maka mobilisasi ekonomi akan lancar,” ujarnya, dan menambahkan, jalan rusak ini adalah pembiaran penderitaan rakyat yang dilakukan pemerintah karena salah menentukan prioritas anggaran,” katanya.

Ia juga menjelaskan, perbaikan jalan ke Lamarera tidak saja karena sebagai destinasi wisata dunia, tapi jalur jalan tengah menuju selatan itu merupakan jalur yang melewati beberapa desa yang menjadi lumbung komoditi seperti hasil kebun, pertanian dan ternak.

“Namun semua itu selalu terhambat dengan akses mobilisasi dan pasar yang tidak disediakan pemerintah.
Sebaikanya pemerintah harus menjadi jembatan yang baik untuk kesejahteraan rakyat,” saran dia.

Ia juga mengaku kesulitan saat kerja jalan adalah air. Namun karena semangat gemohing yang begitu tinggi, akhirnya ibu-ibu dan anak kecil rela jalan kaki menempuh jarak yang lumayan jauh bersama ember dan jerigen di kepala masing-masing. Tugas obu-ibu selain ambil air, juga masak dan siapkan makan untuk para lelaki. Ini terlihat jelas pembagian tugas yang merata dalam gemohing,” sebut John.

Tidak Ada Pemerintah

Ada pengakuan polos warga saat kerja swadaya itu, yang mengaku tidak ada pemerintah. “Kami masyarakat kecil di wilayah selatan ini merasa hari ini seperti tidak ada pemerintahan. Jalan dari dulu seperti ini dan makin rusak. Tidak ada perhatian dari pemerintah termasuk DPRD. Saya beberapa kali ikut mobil umum untuk jualan di pasar Lewoleba, nyawa kami terancam karena mobil selalu nyaris terbalik pada lubang-lubang jalan yang mengerikan. Selain itu fer mobil juga sering patah karena guncangan akibat jalan rusak itu,” ungkap warga Posiwatu, Bala Narek (41).

Ia melanjutkan, “Kalau pakai sepeda motor juga sama, sering orang celaka. Pengendara sering turun dorong motor hingga melewat titik-titik parah baru naik lagi. Banyak orang tua di kampung kami sering kecelakaan kalau lewat jalur itu. Selain itu juga hasil kebun/hasil tani yang mau dijual ke pasar Lewoleba sering terhambat”.

Setelah dua hari bersama prajurit TNI dari Koramil Nagawutung dan waega, menambal jalan dr Puor ke Lamalera, menurut John, masih ada beberapa titik yang perlu perbaikan. “Besok kami akan selesaikan di Lamalera, selanjutnya mulai bergerak dari Puor ke Boto,” kata John Batafor. (jdz)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *