Teror di Mabes Polri

oleh -21 Dilihat

Pelaku teror di Mabes Polri yang tetgeletak usai ditembak aparat polisi.

TEROR bom yang mengguncang Gereja Katedral di Makassar, Minggu (28/3), belum juga lenyap dari benak publik. Kemarin, serangan yang diduga dilakukan teroris kembali terjadi. Kali ini tidak tanggung-tanggung, di luar dugaan kita, sasarannya ialah Markas Besar Polri di Jakarta.

Belum bisa dipastikan apakah kedua peristiwa teror itu berkaitan atau tidak. Pola serangannya pun berbeda. Teror di Makassar seperti halnya beberapa teror sebelumnya di Surabaya (2018) dan Medan (2019), pelaku menggunakan metode pengeboman.

Adapun penyerang Mabes Polri tidak menggunakan bom, tetapi pistol. Ikhwal keterkaitan itu tentunya perlu ditelusuri lebih dalam.

Namun, ada fakta menarik yang barangkali penting juga sebagai bahan penyelidikan polisi. Pertama, para terduga teroris itu berusia muda, bahkan masuk golongan milenial. Pelaku pengeboman gereja di Makassar dan pelaku penyerangan Mabes Polri sama-sama lahir pada 1995 atau baru berusia 26 tahun.

Sesungguhnya fenomena teroris muda bukan hal yang betul-betul baru. Sejak beberapa tahun terakhir, anak-anak muda memang menjadi target khas dari kelompok teroris. Anak muda, terutama yang spiritualnya kosong, tidak punya basis keagamaan kuat, dianggap sebagai sasaran empuk karena sangat mudah dipengaruhi dan dibujuk rayu tentang jalan pintas menuju surga.

Negara semestinya tak boleh menganggap sepele fakta ini. Anak-anak muda sesungguhnya ialah aset bangsa, tidak seharusnya dibiarkan memilih jalan yang melenceng. Pemerintah mesti bekerja ekstrakeras untuk melindungi aset bangsa itu, utamanya segera menemukan formula efektif demi membendung paham radikal melalui konten-konten di internet dan media sosial.

Ekstra effort mesti dilakukan karena musuhnya tidak bisa dianggap enteng. Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang merupakan jaringan teroris tempat pasutri pengebom Gereja Katedral Makassar bernaung, misalnya, dikenal hebat di dunia media sosial. Polisi bahkan mengakui jaringan itu lebih terstruktur di dunia maya daripada di lapangan.

Tidak bisa tidak, strategi pemerintah dalam kontra wacana ideologi kelompok-kelompok teroris harus lebih intensif dan efektif. Jangan pula kita kalah gesit di dunia maya, kecolongan pula di lapangan.

Fakta menarik kedua dari kejadian penyerangan di Mabes Polri ialah bahwa teroris saat ini semakin ‘berani’. Mereka tak lagi hanya mengincar tempat ibadah atau orang asing dan simbol asing. Markas polisi dan aparat polisi pun jika kita perhatikan sejak 10 tahun terakhir kerap menjadi sasaran.

Publik tentu tak ingin melihat sebegitu mudahnya markas besar kepolisian diterobos terduga teroris. Secara psikologis akan muncul kekhawatiran, kalau polisi saja dengan gampang bisa diserang, apalagi rakyat biasa? Kalau markas polisi saja mudah ditembus, mungkin bukan perkara sulit pula menerobos objek-objek vital negara yang lain.

Polisi harus cepat bertindak. Pertama, jalankan prosedur pengamanan untuk markas dan personel dengan benar. Tidak boleh lagi ada kecolongan atau keteledoran. Bila perlu lipat gandakan pengamanan untuk objek-objek vital milik negara dari ancaman teroris. Kedua, polisi dituntut lebih cepat dan bernas dalam menguak sekaligus menindak tegas jejaring yang terkait dengan pelaku teror. Sistem deteksi mau tidak mau mesti diperkuat.

Teroris bukanlah virus yang karena saking mikronya menjadi sulit dideteksi. Semua langkah itu sesungguhnya bermuara pada satu hal, bahwa pengelola negeri ini tidak boleh sekali pun mengendurkan kewaspadaan terhadap ancaman terorisme.

Menumpas Sel Teroris

Dua terduga pelaku bom bunuh diri di depan Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, ialah suami-istri yang baru enam bulan menikah. Fakta itu menambah panjang daftar keluarga yang terlibat aksi pengeboman.

Keterlibatan warga negara Indonesia pasangan suami-istri ataupun anak tidak hanya terjadi di dalam negeri. Mereka juga beraksi jauh sampai ke luar negeri. Masih lekat dalam ingatan, pengeboman tiga gereja di Surabaya pada 13 Mei 2018 yang dilakukan Dita Oepriarto dengan melibatkan juga istri dan empat anaknya. Peristiwa itu menelan total 18 nyawa, termasuk Dita dan keluarganya.

Seolah Surabaya belum cukup berdarah, sehari setelahnya Tri Murtiono membawa istri dan ketiga anaknya untuk meledakkan bom di Polrestabes Surabaya. Di peristiwa itu hanya 1 anak Tri yang selamat dari maut. Pada Juli 2018, bom panci di Kantor Polres Indramayu, Jawa Barat, juga dilakukan pasutri. Pun pada 2019, istri Abu Hamzah memilih meledakkan diri bersama anaknya setelah sang suami tertangkap polisi.

Pada 2019 pula Rabbial Muslim meledakkan diri di Kantor Polrestabes Medan. Sang istri yang diamankan sehari kemudian diketahui juga terpapar terorisme dan pernah berkomunikasi dengan napi terorisme untuk rencana aksi teror di Bali. Aksi bomber keluarga Indonesia bahkan hingga mencapai Filipina. Rullie dan istrinya meledakkan bom bunuh diri di Gereja Katedral, Jolo.

Dari sederet kejadian itu diketahui pula, meski peran suami lebih mayoritas, ada istri yang terpapar lebih dulu dan ada yang lebih radikal ketimbang suami. Dengan kondisi itu amat sulit membentengi keluarga dari menjadi serdadu ‘pengantin’.

Berkaca dari pasutri bomber Makassar yang dinikahkan oleh anggota Jamaah Ansharut Dau­lah (JAD), bernama Rizaldi, yang terkait dengan bom Filipina, terlihat bahwa sel keluarga sudah dibentuk sejak dini. Pola rekrutmen teroris seperti biro jodoh. Pola relasi yang diciptakan jelas eskalasi pada ancaman teror. Dengan kondisi teman hidup yang sepaham, penganut paham radikal akan semakin percaya diri dan berani dalam segala tindakannya. Kalaupun tidak segera menjadi pengantin, kemampuan mereka dalam menyebarkan paham ke anggota keluarga lainnya ataupun rekan dan sejawat akan berlipat.

Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSDA), Dr Ihsan Ali Fauzi, pada 2018 sudah mengingatkan bahwa sel keluarga semakin berbahaya karena mengaburkan batas-batas radikalisme. Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga yang sudah radikal tidak akan lagi merasa keanehan dalam paham yang diajarkan orangtua mereka.

Harus menjadi perhatian setiap warga, bukan hanya aparat, bahwa penyebaran paham radikal dan terorisme kian terstruktur, sistematis, dan masif. Tidak hanya dilakukan lewat perkumpulan tertutup, juga menggunakan kemajuan teknologi komunikasi.

Bisa jadi, pelaku teror ada di sekitar kita. Penumpasan segala bentuk sel terorisme harus dilakukan secara menyeluruh. Bukan saja lewat tracing mendalam dan penangkapan setiap anggota jaringan, sosialisasi bahaya radikalime perlu lebih digencarkan lagi. Pemahaman tentang bahaya radikalisme harus dilakukan lewat semua lini, termasuk dunia pendidikan.

Tidak kalah penting ialah revisi regulasi terkait pemberantasan tindak pidana terorisme, terakhir diatur dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018. Undang-undang itu telah lama disebut sebagai titik lemah dalam tindak penanggulangan terorisme. Disebut titik lemah karena undang-undang tidak bisa menjangkau kegiatan pelatihan militer, rekrutmen, pembaiatan, dan orang-orang yang dideportasi dari Suriah. Ia juga belum bisa dijadikan payung hukum untuk penanganan media sosial terkait ideologi radikal. Sudah lama tahu titik lemahnya, kenapa tidak direvisi? (e-mi/jdz)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *