Bongkar Korupsi Agraria di Indonesia, Konsorsium Pembaruan Agraria Datangi KPK

oleh -26 Dilihat

JAKARTA, mediantt.com – Senin, 23 September 2024, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bersama Serikat Petani Pasundan (SPP) sebanyak 500 massa mewakili 80 organisasi petani di berbagai daerah mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI untuk menyampaikan aspirasi terkait urgensi pembongkaran dan pemberantasan korupsi agraria di Indonesia. Aksi ini, merupakan bagian dari Peringatan Hari Tani Nasional (HTN) 2024 yang diperingati setiap 24 September.

Selasa besok (24/09), 15.000 petani akan merayakan HTN di Jakarta dan berbagai daerah. Hari Tani merupakan momentum sakral dan hari mulia bagi kaum tani, masyarakat agraris dan seluruh rakyat yang mendambakan terciptanya keadilan dan kedaulatan agraria bagi segerap rakyat dan bangsa.

Berikut Pernyataan Sikap Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan Serikat Petani Pasundan (SPP).

Agraria adalah segala hal yang berkaitan dengan bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, baik yang di atas maupun di bawah permukaan bumi. Pengertian ini tercermin dalam Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 (UUPA), yang merupakan landasan hukum utama dalam pengaturan agraria di Indonesia. UUPA secara eksplisit menjelaskan apa itu hak agraria, Dapat disimpulkan jika hak-hak agraria meliputi hak atas tanah, hak atas air, hak ulayat dan hak memanfaatkan hutan. Penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber agraria diatur oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Berdasarkan penjelasan di atas, sumber-sumber dan hak agraria erat kaitannya kondisi sosial, ekonomi dan budaya rakyat Indonesia terutama Petani, Buruh Tani, Nelayan, Masyaraat Adat dan Perempuan. Sehingga pemenuhan hak agraria merupakan kewajiban konstitusi, yang tidak dapat dikurangi atau dihilangkan sebagaimana mandatkan Negara dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Apa yang terjadi jika kebijakan para pejabat publik dan kementerian/lembaga (K/L) memberikan prioritas tanah dan kekayaan alam (sumber-sumber agraria) bagi pengusaha (konglomerat), yang kawin-mawin dengan perilaku korup birokrat, aparat keamanan dan politisi? Yang terjadi adalah, ketimpangan struktur agraria yang semakin lebar dan kemiskinan strukturl yang semakin mendalam akibat petani dan rakyat kecil lainnya mengalami perampasan tanah, konflik agraria, penangkapan dan akhirnya rakyat tertembak dan terbunuh secara mengenaskan dalam kejadian-kejadian konflik agraria tersebut.

Dalam struktur ekonomi nasional yang bersandarkan pada ekspansi perkebunan skala luas dan pengerukan kekayaan sumber-sumber agraria, maka tidaklah mengherankan jika episentrum utama korupsi ada dalam tubuh pemerintah yang menerbitkan hak atas tanah, izin dan pengelolaan langsung sumber-sumber agraria-SDA. Perilaku tersebut juga dapat dilihat dari mudahnya kekuasaan mengobral penerbitan/perpanjangan/pembaruan/tukar-guling HGU, HGB, HP, HTI, IUP, HPL, ijin lokasi, dll izin pengusaaan dan pengusahaan sumber-sumber kekayaan alam kepada perusahaan perkebunan (sawit) dan industri ekstraktif lokal, nasional hingga perusahaan asing.
Sementara itu, ketika konsesi perkebunan dan izin-izin monopoli hutan serta land clearing hutan-hutan alami tersebut ternyata telah mengakibatkan konflik agraria di lapangan.

Selama dua periode pemerintahan Joko Widodo, tercatat telah terjadi 2.939 letusan konflik agraria dengan luas mencapai 6,3 juta hektar dan korban terdampak sebanyak 1,75 juta rumah tangga di seluruh wilayah di Indonesia (KPA, 2023). Fakta ini menunjukan selama berpuluh tahun telah terbukti tidak ada keinginan secara sungguh-sungguh untuk melakukan review dan pencabutan terhadap konsesi hak atas tanah dan izin-izin yang telah diberikan tersebut. Apalagi mengharapkan ada corrective action pemulihan hak bagi rakyat yang terampas, atau pun pemulihan bagi alam yang telah dirusak.

Bagi petani, masyarakat adat, nelayan dan kaum perempuan, tanah, air dan kekayaan alam adalah penunjang pokok hidup, sumber pangan, hingga identitas, simbol nilai-nilai luhur dan kemuliaan hidup, harkat dan martabat. Akan tetapi sumber-sumber agraria dilihat sama sekali berbeda oleh kelompok pemodal, pemerintah pusat dan daerah. Tanah diposisikan sebagai barang komoditas yang dapat dieksploitasi, diperjualbelikan hingga alat transaksional politik demi mencapai akumulai keuntungan ekonomi atau pun kekuasaan. Akibatnya, petani dan kelompok marjinal di pedesaan dan wilayah adat menjadi korban dan berada dalam situasi konflik agraria, hingga tergusur dari tanahnya.

Faktanya, sumber-sumber agraria terutama tanah, air dan hutan kini dikuasai oleh segelintir orang saja. Hingga saat ini sudah 25 juta hektar tanah dikuasai oleh pengusaha sawit, 10 juta hektar tanah dikuasai pengusaha tambang dan 11,3 juta hektar tanah dikuasai oleh pengusaha kayu (Catahu KPA, 2023). Di waktu bersamaan ada 17,24 juta petani gurem yang hanya menguasai tanah di bawah 0,1 s/d 0,5 hektar, sisanya buruh tani dan tidak bertanah. Parahnya kemiskinan struktural ini berada dalam sistem ekonomi-politik agraria yang diskriminatif kepada rakyat, tanpa kepastian hukum, rentan menjadi korban mafia tanah dan koruptor.

Ketimpangan dan konflik agraria akibat perampasan tanah dan penjarahan kekayaan alam yang terjadi saat ini merupakan bentuk dan hasil dari penyalahgunaan kekuasaan. Penyalahgunaan kekuasaan terjadi ketika otoritas atau pemerintah melampaui batasan hukum yang ditetapkan dan melawan konstitusi. Ketika UUPA telah melarang dan memerintahkan pemerintah agar mencegah monopoli tanah oleh kelompok swasta, pemerintah secara terang-bendeang melanggarnya demi menguntungkan pihak pengusaha dan jaringan konglomerat, termasuk para mafia tanah, mafia sawit dan tambang.

Ditambah Negara belum membentuk kelembagaan negara khusus yang otoritatif untuk mengatur, mengontrol bahkan menindak pelanggaran monopoli tanah, penguasaan sumber-sumber agraria yang bertentangan dengan Konstitusi dan UUPA 1960. Kementerian ATR/BPN, KLHK, Kementerian ESDM & Investasi, Kementan, Kemenko Perekonomian, Kementerian Perdagangan, KKP, Polri, TNI dan Pemda adalah bagian dari biang keladi semakin mengguritanya perilaku-perilaku kolusi dan korupsi agraria, sekaligus penjarahan kekayaan alam Indonesia secara sistematis dan terstruktur.

Bertemunya kepentingan elit bisnis, elit politik dan pemerintah, dilakukan dengan tujuan memperkaya diri dan kelompoknya, dan dilakukan dengan cara manipulatif dan melanggar hukum maka timbulah korupsi agraria. Gunawan Wiradi, Pakar Agraria Indonesia, menyatakan bahwa korupsi agraria terjadi ketika sistem penguasaan dan distribusi tanah tidak dikelola dengan adil dan transparan. Hal ini seringkali melibatkan aktor yang memiliki akses ke kekuasaan politik dan ekonomi yang menyalahgunakan posisinya untuk memperoleh keuntungan pribadi atas penguasaan lahan yang seharusnya diperuntukkan bagi petani dan masyarakat lainnya. Korupsi agraria sering kali menjadi penyebab utama konflik agraria, di mana masyarakat yang tergantung pada tanah dan sumber daya alam terpinggirkan, sementara segelintir pihak mendapatkan keuntungan.

Celakanya di Indonesia, korupsi agraria masih dimaknai kasuistik dan penindakannya tebang-pilih karena motif politik, seperti seorang kepala daerah menerima suap agar izin tambang bisa cepat diperoleh atau kasus serupa lainnya. Jika KPK masih bepandangan demikian, maka KPK bersama DPR dan Presiden ke depan perlu segera melakukan reorientasi arah, tujuan dan kemanfaatan institusi KPK, bahkan memperbaharui modul-modul pendidikannya sesegera mungkin. Selama ini, pembongkaran korupsi agraria di lokasi-lokasi konflik agraria masih diabaikan dan sulit ditangani KPK, Kejaksaan dan Kepolisian sebab kalangan birokrat dan penegak hukum ini belum dapat memisahkan mana bentuk abuse of power dengan mandat undang-undang. Contohnya UU Cipta Kerja, melalui kebijakan “keterlanjuran”, secara eksplisit dan vulgar melakukan pembenaran terhadap penyalahgunaan kewenangan untuk pemutihan para pengusaha illegal di bisnis sawit, tambang dan kayu, padahal telah merugikan keuangan negara serta menimbulkan penderitaan kepada masyarakat setempat.

Kalangan birokrat, elit politik dan akademisi banyak pula yang beranggapan jika monopoli tanah adalah hal yang lumrah, mengingat tanah adalah komoditas yang penting bagi bisnis dan investasi. Sehingga penguasaan tanah berjuta-juta hektar oleh segelintir kelompok dibiarkan begitu saja tanpa bisa ditertibkan dan dipidanakan. Padahal monopoli tanah selain salah satu hasil korupsi agraria, hal itu juga merupakan kejahatan konstitusional.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menemukan jika korupsi agraria kini berkembang semakin buruk, baik dari segi modus dan penyiasatan hukum agraria-SDA. Beberapa contoh diantaranya adalah:

Pertama, Menteri dan jajaran birokrat di KLHK yang menetapkan kawasan hutan tanpa memperoleh persetujuan masyarakat di sekitarnya, agar bisa cepat diterbitkannya izin usaha kehutanan bagi pengusaha. Hal ini adalah bentuk korupsi dan kejahatan agraria karena dengan ditunjuk sepihak sebagai izin perusahaan, Menteri LHK bisa menagih pajak dan pemasukan lain tanpa perlu mengganti tanah-tanah petani tersebut. belum lagi Menteri LHK tidak menghitung berapa besar kerugian negara yang muncul akibat dampak sosial, lingkungan dan ekonomi masyarakat.

Contoh korupsi agraria yang dilakukan Menteri LHK di lapangan adalah penunjukan kawasan hutan dengan pengelolaan khusus (KHDPK) di Pulau Jawa. Pada tahun 2022, Menteri LHK membagi 3,4 juta hektar tanah rakyat menjadi dua bagian, 1,1 juta hektar tanah dikuasai kementerian LHK sisanya 1,3 penguasaan diberikan kepada Perum Perhutani. Seluruh penunjukan hingga pengukuhan hutan tersebut dilakukan sepihak tanpa memeriksa kondisi tanah di lapangan.

Akhirnya tanah pertanian, kampung dan desa diklaim sebagai kawasan hutan. Korupsi agraria yang dilakukan Menteri LHK tentu dapat dihitung dampak ekonominya, jika satu hektar tanah petani senilai dengan Rp. 100 juta saja, artinya Rp 340 triliun uang rakyat hilang begitu saja, karena ditetapkan sebagai hutan. Lantas bagaimana dengan tanah rakyat di berbagai daerah yang mengalami hal serupa dengan petani di Jawa? Berapa banyak kerugian rakyat dan negara akibat tindakan penyalahgunaan kekuasaan Menteri LHK selama ini.

Kedua, Korupsi agraria oleh Menteri dan jajaran Kementerian ATR/BPN, dengan membiarkan bisnis sawit ilegal tetap beroperasi. Meskipun pemerintah mewajibkan setiap perusahaan sawit mengantongi hak guna usaha (HGU), faktanya dari 25 juta hektar sawit yang dikuasai pengusaha (Sawit Watch, 2024), hanya 10,13 juta hektar sawit yang ber-HGU. Anehnya berdasarkan daftar resmi HGU yang dimiliki ATR/BPN, luas seluruh HGU hanyalah 10,13 juta hektar (Sofyan Djalil, 2019). Artinya ada 15 juta hektar sawit tanpa HGU (ilegal) yang dibiarkan tetap beroperasi oleh Kementerian ATR/BPN dari masa ke masa. Di banyak kasus para pengusaha sawit setelah merampas tanah rakyat, tidak membayar ganti rugi tanah rakyat, tidak membayar pajak dan pemasukan negara lainnya. Kerugian rakyat dan negara terlampau besar ketimbang jumlah devisa dari sawit selama ini.

Contoh berikutnya adalah membiarkan pengusaha tetap mengklaim menguasai tanah 7,24 juta hektar meski masa berlakunya HGU sudah habis atau pun statusnya tanah terlantar. Jika taat pada UUPA dan aturan pertanahan lainnya, pengusaha wajib menyerahkan tanahnya ketika HGU sudah habis masa berlakunya atau tidak diproduktifkan alias diterlantarkan. Dimana tanah-tanah tersebut harus diredistribusikan sebagai obyek Reforma Agraria bagi petani dan buruh tani di sekitarnya, atau bagian dari pemulihan hak masyarakat adat. Dari 7,24 juta hektar tanah bekas HGU yang masih dikuasai pengusaha, negara merugi lebih dari Rp. 26 triliun (asumsi kehilangan pemasukan dari PPH dan PPN). Belum lagi kerugian yang diderita petani akibat tanahnya dirampas ketika Menteri ATR/BPN memperbarui eks HGU/HGB di atas tanah petani. Bekas-bekas HGU ini bahkan kini dapat diberikan secara manipulatif dan kolutif kepada Bank Tanah oleh Menteri ATR/BPN, sebelum diberikan kembali kepada pengusaha.

Ketiga, Korupsi agraria dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan Proyek Strategis Nasional (PSN). Selama dua periode rezim Joko Widodo, berdasarkan Catatan KPA, per Juli 2024 PSN telah menyebabkan 134 konflik agraria seluas 571 ribu hektar. Korupsi agraria yang dilakukan Panitia Pengadaan Tanah, Pemerintah Daerah, Kementerian PUPR, Kementerian ATR/BPN dan Pengadilan adalah memanipulasi data tentang kondisi tanah, penambahan luas tanah, penambahan jumlah penerima ganti rugi dan pengurangan uang ganti rugi. Kasus yang KPA temui misalnya di PSN Bandara Kertajati, Penitia Pengadaan Tanah memotong paksa uang ganti rugi sebesar 50% tanpa sepengetahuan petani. Jika modus semacam ini dilakukan di 500 ribu hektar PSN, dengan rata-rata satu hektar diganti rugi Rp. 200 juta. Artinya Negara mengalami kerugian sebesar Rp. 100 triliun akibat korupsi dan pemotongan uang ganti rugi saja.

Contoh korupsi agraria yang dilakukan pengusaha dan pemerintah adalah penentuan proyek bisnis pengusaha sebagai PSN. Misalnya demi meningkatkan investasi di Ibu Kota Nusantara (IKN) Presiden Joko Widodo mengundang Agung Sedayu Group, Salim Group, Sinarmas, Barito Pacific, Astra Group, dll, membangun pusat-pusat perhotelan hotel, kawasan bisnis dan perbelanjaan di IKN. Kabarnya, sebagai politik balas jasanya, Pemerintah melalui Menko Perekonomian menetapkan PIK 2 sebagai PSN – sebuah proyek kelas premium yang sempat lama mangkrak. Hal ini tentu menguntungkan Agung Sedayu Group karena PIK2 seluas 2.650 hektar, dapat menikmati berbagai insentif keuangan, percepatan pengadaan tanahnya, dukungan regulasi sebab sudah berstatus PSN.

Keempat, Korupsi agraria oleh Kementerian ESDM dan Investasi melalui pengampunan bisnis ilegal tambang, sawit dan kayu di kawasan hutan. Berdasarkan temuan KPA, pemerintah telah mengampuni bisnis ilegal di kawasan hutan seluas 8,81 juta hektar, berdasarkan berbagai keputusan Menteri Investasi, ESDM dan LHK. Perhitungan sederhana kerugian negara akibat kehilangan PNBP penggunaan hutan saja mencapai Rp 35,3 triliun (asusmsi tarif PNBP sebesar Rp. 4 juta rupiah/hektar). Hal ini belum terhitung kerugian lingkungan akibat operasi bisnis ilegal selama puluhan tahun oleh mafia tambang, sawit dan kayu. Padahal menurut UUPA seharusnya tanah-tanah tersebut harus ditetapkan sebagai objek reforma agraria sesuai Pasal 17 UUPA.

Korupsi di sektor agraria memiliki berbagai modus operandi, modus-modus ini melibatkan pejabat pemerintah, pengusaha, dan pihak-pihak yang memiliki kekuatan politik dan ekonomi. Dari banyak contoh korupsi agraria yang gagal ditangani KPK menunjukan bahwa sistem penanganan korupsi di Indonesia masih primitif, sama sekali tidak berkembang sejak dibentuk tahun 2002 silam. KPK luput melihat jaringan antara pelaku bisnis (koruptor) dan pejabat pemerintah yang bertindak untuk saling menguntungkan.

Proses ini sering disebut sebagai state capture, di mana pengambil kebijakan dipengaruhi oleh kepentingan pribadi atau korporasi untuk memuluskan jalan dalam monopoli tanah dan sumber agraria lainnya. Korupsi yang berani ditangani hanya sekitar suap, gratifikasi dan over pricing proyek-proyek kementerian, tanpa bisa menjerat mafia dan koruptor yang lebih tinggi. Kolaborasi ini menciptakan korupsi struktural yang merugikan masyarakat, terutama petani, nelayan, buruh, masyarakat adat dan perempuan dalam jangka panjang. Berdasarkan masalah tersebut, KPA menuntut KPK ke depan agar segara:

1. Mengusut tuntas penyalahgunaan wewenang yang menghasilkan perilaku kejahatan dan korupsi agraria oleh pemerintah, pengusaha dan mafia tanah, yang telah merugikan negara bahkan merampas kebebasan, hak hidup dan hak atas tanah rakyat;

2. Mendukung agenda Reforma Agraria Sejati sebagai jalan untuk menyelamatkan kekayaan negara sekaligus memulihkan dan menjamin hak atas tanah bagi petani, masyarakat adat, nelayan dan perempuan;

3. Mendorong transparansi informasi dan data konsesi agraria HGU/HBG/HTI/IUP/HPL termasuk penguasaan tanah skala luas (monopoli tanah), sebagai bagian dari usaha sistematis untuk memperbaiki kebijakan secara paradigmatik, sistem tata kelola dan sistem pencegahan, pengawasan serta penindakan korupsi agraria; dan

4. Melakukan evluasi dan rekomendasi pencabutan menyeluruh undang-undang yang mengatur sumber agraria seperti UU Cipta Kerja, UU Minerba, UU IKN, UU SDA, UU Kehutanan dll untuk mewujudkan haromisasi hukum agraria yang sesuai dengan Konstitusi UUD 1945.
5. Bersama Gerakan Reforma Agraria dan gerakan rakyat lainnya, KPK mendukung penyusunan RUU Reforma Agraria agar Indonesia bisa memiliki regulasi yang jelas tentang tata kelola agraria dan kehutanan yang berkeadilan, kredibel dan akuntabel, tegas terhadap pembatasan penguasaan dan penggunaan tanah untuk mencegah penyalahgunaan hak atas tanah dan kawasan hutan sehingga praktik-praktik monopoli dan mafia tanah yang merugikan negara dan rakyat dapat ditangani bersama-sama.

Demikian desakan dan rekomendasi solusi bagi KPK ke depan, sehingga marwah, kesejarahan, arah dan tujuan dasar keberadaan KPK di Republik ini dapat dikembalikan sesuai cita-cita kemerdekaan bangsa, Konstitusi dan UUPA 1960. Melalui aksi ini kami juga hendak menyerahkan beberapa dokumen dan contoh lokasi yang telah menjadi ladang korupsi agraria pemerintah selama ini, diantaranya: 1.Pangandaran, Kasus Stratrust. 2. Ciamis, kasus Eks HGU PT Raya Sugarindo dan Eks HGU Bukit Jonggol Asri. 3. Garut, kasus lokasi Sagara, klaim BKSDA dan Perhutani.

KPK ke depan, penting menjadi bagian dari usaha bersama-sama rakyat dalam membangun tatanan agraria yang adil, berdaulat, akuntabel dan transparan sehingga tanah dan kekayaan alam kita dapat diurus dengan cara-cara beradab dan bermartabat, memastikan model-model pembangunan di pedesaan dan perkotaan bersifat memanusiakan manusia atas sumber-sumber agrarianya.

Selamat Hari Tani Nasional, jayalah kaum tani dan perjuangan rakyat. Sesungguhnya tiada keadilan soasial dan demokrasi tanpa Reforma Agraria Sejati.

Jakarta, 23 September 2024
Hormat Kami,

Serikat Petani Pasundan
Konsorsium Pembaruan Agraria

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *