Jakarta, mediantt.com — Kesepakatan islah alias damai antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) batal diteken. Pasalnya ada usulan baru dari kubu KIH mengenai perubahan pasal UU MD3. Begitu kata Koordinator Pelaksana KMP Idrus Marham saat menyambangi Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta (Kamis, 13/11).
“Memang sebelumnya telah ada kesepakatan yang sudah siap ditandatangani, terutama perubahan UU MD3 soal pimpinan AKD (alat kelengkapan dewan),” ujarnya. Namun, saat kesepakatan itu mau ditandatangani oleh kedua belah pihak, kubu KIH mengajukan usulan baru. Yaitu perubahan pasal 74 UU MD3 tentang tugas DPR dan pasal 98 UU MD3 soal tugas komisi.
“Sesuai dengan prosedur di KMP, koordinator pelaksana akan menyampaikan perkembangan terbaru ke ketua fraksi untuk kemudian disampaikan ke presidium,” lanjutnya. “Jadi, belum ada penandatanganan karena usulan baru akan dibahas KMP,” tandas Sekjen Partai Golkar itu.
Permintaan kubu KIH yang terlalu banyak itu menuai sindiran dari Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon. “Istilahnya dikasih hati minta jantung,” kata Fadli saat ditemui di Komplek Parlemen, Jakarta (Kamis, 13/11).
Wakil Ketua Umum Gerindra ini menjelaskan, KMP sudah membuka diri untuk berdamai dengan KIH yang membentuk DPR tandingan. KMP, lanjutnya, dengan legowo menyepakati kursi alat kelengkapan dewan (AKD) sebanyak 21 kursi melalui revisi UU MD3 untuk kubu KIH. Namun, kesepakatan yang tinggal ditandatangani itu kembali menggantung setelah KIH mengajukan permintaan baru yaitu menghapus pasal mengenai Hak Menyatakan Pendapat (HMP) di dalam UU MD3. Pasal ini menurut kubu KIH berpotensi mengancam posisi Presiden Jokowi.
“Mengenai hak-hak DPR tidak bisa diotak-atik, hak bertanya, hak interpelasi, hak menyatakan pendapat itu tidak bisa diganggu-gugat,” tegas Fadli. Ia mengatakan, tidak bisa karena ada celah merevisi UU MD3, KIH menambahkan permintaan dengan menambahkan menghapus pasal hak melekat pada anggota DPR.
Mengidap Dua Sindrom
Sementara itu, anggota DPR RI Fraksi PKS, Mahfudz Siddiq menyebut fraksi-fraksi Koalisi Indonesia Hebat (KIH) tengah dilanda sindrom kemarahan dan ketakutan. Akibatnya, kesepakatan damai dengan Koalisi Merah Putih (KMP) di DPR menjadi buyar. Terutama sejak munculnya keinginan KIH agar merevisi Hak Menyatakan Pendapat (HMP) yang dimiliki anggota DPR. “Ini menunjukkan KIH sedang mengidap dua sindrom. Pertama sindrom kemarahan terhadap presiden Jokowi (Joko Widodo) dari unsur-unsur KIH yang kecewa dengan formasi kabinet. Ada yang tidak terakomodir lalu ngambeknya ke DPR dengan buat DPR tandingan,” ujarnya, Kamis (13/11).
Kedua, kata Mahfudz, sindrom ketakutan. Bahwa ada pihak-pihak dari internal KIH ingin mengamankan kekuasaan Presiden Jokowi karena mereka mulai mengidentifikasi kelemahan-kelemahan serius di dalamnya. “Hak menyatakan pendapat DPR dipandang sebagai ancaman. Padahal hak tersebut dari dulu sudah ada. Jadi dua sindrom yang mewakili kepentingan dua kubu KIH inilah yang sebenarnya sumber masalah. DPR cuma kena imbasnya saja tapi KIH coba salahkan KMP,” jelas Ketua Komisi I DPR ini.
Dia menegaskan bahwa KMP solid dalam memberi ruang akomodasi dengan menyediakan 16 kursi pimpinan AKD dan revisi terbatas UU MD3 dan Tatib DPR. Tapi KMP juga solid menolak usul revisi hak dan kewenangan DPR yang tak terkait dengan jumlah pimpinan AKD. “Sebaiknya pimpinan partai-partai KIH segera selesaikan masalah dalam negerinya. Karena jika tidak yang akan sangat dirugikan adalah pemerintahan Jokowi,” tegasnya.
Siap Teken
Sebelumnya, pada Rabu, 12 November 2014, politikus PDIP Pramono Anung mengatakan, akan kembali menggelar rapat informal dengan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Hatta Rajasa. Pertemuan ini terkait penandatanganan draf kesepakatan islah Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat. “Kami akan kembali mengadakan pertemuan informal dengan Pak Hatta tentang draf kesepakatan ishlah KMP dan KIH,” kata Pramono.
Hal senada disampaikan Koordinator Nasional KMP Idrus Marham di Gedung DPR, Rabu (12/11). Ia menyatakan, Hatta Rajasa mewakili KMP akan menandatangani kesepakatan damai dengan KIH dan hal ini juga diamini Ketua DPR Setya Novanto yang mengatakan Hatta memang menjadi mediator perjanjian damai tersebut. (net/jdz)