Oleh Robert Bala
HEBOH pengumuman Catar di NTT tentu bukan sekadar viral biasa. Lebih lagi kemudian diikuti demo di Mabes Polri (12/7), maka bukan mustahil bisa berujung panjang. Terutama bila ditemukan keanehan saat proses rekrutmen.
Yang jadi pertanyaan, mengapa hal itu bisa terjadi? Apakah hal itu juga terjadi di daerah lain juga ataukah hanya NTT saja? Kalau hanya di NTT, maka apa yang menjadi alasan sehingga NTT begitu mudah ‘diterobosi’ penumpang gelap seperti ini?
Terhadap persoalan ini, banyak tulisan yang telah mengarahkan tanggungjawab itu ke Kapolda. Rasanya sudah cukup. Tulisan ini justru mengajak untuk melakukan refleksi, mengapa hal ini bisa terjadi di NTT.
Tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Tetapi pengalaman kecil ini bisa menjadi pintu masuk. Beberapa bulan sebelum tes taruna, saya pernah ajukan pertanyaan ke abang seorang jenderal polisi Bintang 2 asal NTT. Pertanyaan saya sederhana saja: bagaimana bisa test agar bisa lolos jadi bintara polri.
Sang abang itu melihat saya dengan tatapan aneh. “Mengapa test bintara? Mengapa tidak test perwira?” Menurutnya setiap tahun, banyak tempat untuk calon perwira tidak diisi dan akhirnya diisi oleh orang lain.
Saya terdiam dan mengingat apa yang disebut budaya ‘nrimo’. Rasanya orang NTT (khususnya saya), dari kecil hanya melihat polisi berpangkat ‘kecil’ dengan balok panah perak (satu, dua, tiga, empat, bahkan balok bergelombang perak (satu dan dua) di lengan. Karena sejak kecil hanya terlihat seperti itu, maka kita (maksudnya saya) sudah terbiasa untuk membayangkan bahwa pangkat tertinggi seorang polisi ya, hanya sebatas ‘perak’. Kalau pun kemudian muncul kesadaran akan adanya pangkat lebih dari itu, maka bisa saja terbentuk pemahaman bahwa itu ‘jatah’ orang lain punya.
Dulu saat masih di Hokeng, saya malah mengenal seorang polisi yang kata orang cukup pupuler. Kalau di era sekarang ia bisa saja sangat viral oleh tingkahnya. Di lengannya terpampang pangkat balok miring merah beberapa kemudian dikurangi. Itu jabatan tamtama yang paling rendah. Tetapi bagi kita (maksudnya saya), yang penting jadi polisi. Mau pangkat apa, itu tidak penting. Yang penting jadi polisi.
Di sinilah bisa jadi awal dan sekaligus menjadi jawaban, mengapa ‘titipan’ dari luar itu begitu mudah menguasai medan NTT. Kita sudah membataskan mimpi kita untuk hanya sampai pada tingkatan tamtama. Itu sudah cukup. Untuk yang lain itu bukan jatah kita.
Tetapi apakah NTT serendah itu? Ternyata ada banyak orang NTT yang bahkan bisa meraih Bintang. Gories Mere di Bintang 3. Anton Enga Tifaona kalau pada masanya Polri berdiri sendiri seperti sekarang, tentu ia bisa mencapai puncak tertinggi. Terobosannya mengagumkan. Bayangkan di usia 40 tahun sudah perwira menengah (letkol). Gebrakannya kemudian luar biasa dan itu diakui secara internal polri. Sayangnya saat itu Polri berada di bawah ABRI dan sosok itu pun dengan tertatih-tatih dan baru dapat bintang, hanya beberapa bulan sebelum pensiun.
Alfons Loemau menjadi anggota polri asal NTT yang di puncak karirnya berani melawan pimpinannya yang tidak menjiwai nilai-nilai polisi. Ia bersama 8 kombes lainnya berani melawan demi ketatan pada konstitusi. Bahwa ia ‘parkir’ jadi ‘kombes’ itu sudah sebuah resiko yang harus diterima dari sebuah perjuangan. Tetapi di luar karir ia meniti pendidikan hingga S3 untuk menunjukkan bahwa emas akan tetap emas meski dicoba berulang kali di perapian.
Sampai di sini kita melihat dua fakta bertentangan. Sebagian besar polri atau lebih tepat masyarakat cukup dengan balok perak (tamtama dan bintara). Tetapi yang lain menuju bintang meraih emas. Lalu bagaimana menafsir hal ini?
Pertama, kualitas SDM orang NTT memang tidak kalah. Keberadaan para jenderal mengingatkan bahwa alam NTT memungkinkan lahir para bintang. Kondisi alam yang keras memotivasi kita untuk bisa keluar dari keterpurukan. Sejarah ‘para bintang’ selalu menguatkan hal ini. Otak NTT juga selalu ‘dikaitkan’ dengan konsumsi ikan yang kaya akan protein berkualitas tinggi tetapi rendah lemak. Seseorang pemilik warung makan di Bandung merasa heran dan berkesimpulan bahwa saya yang meminta ikan bukan orang Jawa. Ikan di rumah makannya bisa habis dalam 4 hari karena tidak ada yang berminat.
Tetapi kercerdasan itu kerap tidak mudah menemukan ruang aktualisasi. Banyak yang berjuang sendiri atau secara kebetulan ‘ditangkap’ oleh orang baik. Mereka bersyukur karena berada di bawah pipimpinan Polri (Kapolda) yang taruna itu dibentuk bukan dilahirkan. Karena itu Kapolda, misalnya perlu mengulurkan tangan untuk membentuk calon taruna dan bukan menunggu saja inisaitif (yang minim). Atau malah memberi ruang untuk ‘orang asing’ yang sudah tahu kelemahan NTT lalu memanfaatkannya. Sayangnya tetapi barangkali hal inilah yang terjadi.
Kedua, mudahnya orang luar dititipkan di NTT, bisa juga karena kesalahan orang NTT sendiri. Seorang wartawan senior di sebuah harian ternama Indonesia pernah menggunakan analogi yang tidak ‘mengenakkan’ ini. Baginya, orang NTT itu seperti pasir: jumlahnya banyak tetapi tidak bersatu. Analogi itu mengejutkan tetapi terpaksa diterima karena memang ‘begitu sudah’.
Ketakbersatuan seperti ini yang menjadi sasaran empuk bagi orang luar untuk masuk. Lalu apakah salah mereka termasuk Kapolda? Ya, mereka ada bagian salahnya. Tetapi mereka tidak akan masuk kalau secara ke dalam kita memiliki kekompakan. Kekompakan tentu dalam banyak hal termasuk bagi yang telah sukses agar bisa memfasilitasi sehingga yang dari bawah bisa tahu. Minimal mereka sadar bahwa jadi anggota polisi itu tidak hanya sekadar berpangkat balok perak melainkan harus sampai emas.
Ketiga, agar tidak ‘terkecoh’ seperti ini dan karena semuanya bersifat online (yang katanya tidak ada peluang untuk ‘main uang’ (katanya), maka putera dan puteri NTT perlu siapkan diri: intelektualitas, mental, dan fisik. Kecerdasan itu sebenarnya bukan hal baru bagi putera-puteri NTT yang terkenal otaknya ‘encer’. Tetapi perlu mental dan fisik. Mentalitas bisa berupa rasa percaya diri dan tenang mengungkapkan kualitas diri yang dimiliki seperti kejujuran, tanggungjawab. Yang tidak kalah penting adalah latihan fisik secara teratur. Kalau kita sudah miliki ketiga hal ini maka siapapun dari luar tidak akan mudah masuk apalagi mau jadi titipan di sini. Tidak. Ini bukan Nusa Titip Taruna. Ini Nusa Tenggara Timur. (***)
Robert Bala; Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik Universidad Complutense de Madrid Spanyol. Direktur Akademi Perhotelan Tunas Indonesia (Prodi D4 Manajemen Perhotelan) Tangerang Selatan.