Ahok Sah Menjadi Gubernur DKI Jakarta

oleh -16 Dilihat

 

MASA jabatan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta berakhir. Dia resmi Gubernur Ibu Kota setelah dilantik Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Rabu, 19 November 2014.
Sebelum mengucap sumpah jabatan, Ahok ditanya oleh Presiden: “Apakah saudara beragama Kristen Protestan?” “Ya, saya beragama Kristen Protestan,” Ahok menjawab.
Presiden kembali bertanya: “Bersediakah Anda mengucapkan sumpah secara Kristen Protestan?”
“Ya, saya bersedia,” Ahok menjawab lugas.
Ahok, yang mengenakan setelan pakaian dinas Gubernur berwarna putih, berdiri berhadapan dengan Jokowi. Dia mengulangi kalimat per kalimat naskah sumpah jabatan yang dilafalkan Presiden.
“Saya berjanji memenuhi kewajiban sebagai Gubernur DKI Jakarta dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar 1945, menjalankan segala undang-undang dan peraturan, serta berbakti kepada bangsa dan negara.” “Semoga Tuhan menolong saya.”
Setelah itu, Kepala Negara menyodorkan naskah surat pengangkatan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. Ahok segera membubuhkan tanda tangannya. Pria Tionghoa itu halal memimpin Jakarta.
Jokowi kemudian menghampiri Ahok dan menjabat tangan bekas Wakil Gubernur-nya itu. Keduanya menebar senyum ke arah awak media massa yang meliput pelantikan itu. Istri Ahok, Veronica Tan, yang mendampingi suaminya, terlihat sumringah.
Ahok sempat bercanda dengan Jokowi. Dia bilang: “Saya bicara pada Presiden, kayak keajaiban dunia, dulu dilantik sama-sama dan sekarang saya dilantik Bapak.” “Mana kita tahu akan jadi begini,” Jokowi menimpali candaan Ahok.

Ancaman Pemakzulan
Pelantikan Ahok sebagai Gubernur tak sempurna betul. Soalnya sebagian anggota DPRD DKI Jakarta keberatan. Mereka adalah para legislator dari partai politik yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP). Para petinggi partai di KMP menolak hadir pada pelantikan Ahok meski diundang. Mereka menilai pelantikan melanggar aturan.
“Masih ada masalah multitafsir mengenai pengangkatan Ahok,” kata Wakil Ketua DPRD DKI yang juga politikus PPPP, Abraham Lulung Lunggana.
Legislator PKS sekaligus Wakil Ketua DPRD DKI, Tri Wisaksana, mengatakan dengan lugas: “Prosedurnya cacat.”
Pangkal masalahnya adalah partai-partai di kubu lawan KMP, yaitu Koalisi Indonesia Hebat (KIH), menggelar Sidang Paripurna Istimewa dengan agenda pengumuman pengangkatan Ahok sebagai Gubernur pada 14 November 2014. Kubu KMP menilai sidang itu tak sah karena dihadiri hanya 47 dari 106 anggota DPRD. Mereka yang hadir adalah legislator dari kubu KIH.
Sidang itu juga dipimpin hanya satu pimpinan Dewan, yakni Ketua DPRD DKI, Prasetyo Edi Marsudi. Empat pimpinan lainnya, Ferrial Sofyan (Partai Demokrat), Triwisaksana (PKS), Abraham Lunggana (PPP), dan Mohammad Taufik (Partai Gerindra), tidak ikut memimpin sidang itu.
Menurut Taufik, Sidang Paripurna yang hanya dipimpin satu orang tidak sesuai tata tertib DPRD. Dia juga menyoal surat undangan Sidang yang diduga tidak ditandatangani Wakil Ketua DPRD.
Triwisaksana berpendapat, Sidang Paripurna tidak memenuhi aspek tata tertib. Lagi pula, dalam rapat pimpinan telah disepakati bahwa sebelum dilakukan Paripurna Istimewa, DPRD akan berkonsultasi dengan Mahkamah Konstitusi dan Kementerian Dalam Negeri. Tetapi itu tidak dilakukan oleh Ketua DPRD.
Sang Ketua, Prasetyo Edi Marsudi, mengklaim sidang itu sah. Ketidakhadiran para legislator dari kubu KMP tidak berpengaruh terhadap proses pelantikan Ahok sebagai Gubernur definitif. Katanya, Sidang hanya untuk mengumumkan status Ahok sebagai Gubernur, sehingga tidak membutuhkan persetujuan anggota Dewan.
“Saya yang diperintahkan oleh Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri) untuk mengumumkan hal ini, memang harus diambil ketegasan. Jadi tidak ada masalah apa-apa jika rapat ini tidak kuorum,” ujarnya.
Abraham Lulung Lunggana alias Haji Lulung mengancam menggalang dukungan untuk melakukan interpelasi di DPRD. Interpelasi bisa sampai pada upaya pemakzulan atau pelengseran (impeachment) Ahok. “Iya. Impeachment (pemakzulan) itu, kan, hak,” kata Haji Lulung, menjawab pertanyaan wartawan tentang kemungkinan pemakzulan, seusai berkonsultasi dengan Komisi II DPR RI.
Anggota Komisi II DPR, Yandri Susanto, mempertanyakan Presiden Joko Widodo yang melantik Ahok di Istana. “Harusnya dilantik di DPRD, bukan di Istana. Harus dipertanyakan kenapa diboyong ke Istana.”

Birokrat atau Kader Partai
Ahok tetap tak tenang meski telah resmi dilantik sebagai Gubernur oleh Presiden. Dia akan kembali menghadapi polemik seputar posisi Wakil Gubernur yang akan mendampinginya.
Dia mengatakan akan menentukan sendiri sekaligus melantik Wakil Gubernur-nya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014, Gubernur memiliki kewenangan untuk melantik sendiri wakil gubernurnya.
Ahok pernah menyebut dua nama yang akan mengisi jabatan Wakil Gubernur, yaitu Djarot Saiful Hidayat dan Sarwo Handayani. Nama pertama adalah mantan Wali Kota Blitar, kader PDIP. Kandidat kedua kini Deputi Gubernur Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup DKI Jakarta.
Taufik berpendapat lain. Katanya, Ahok tidak memiliki kewenangan untuk menunjuk langsung wakil gubernur. “DPRD nanti yang memilih. Itu berdasarkan pasal 174 ayat 2. Sedangkan pengusulannya dilakukan oleh fraksi yang mengusung gubernur sebelumnya. Itu juga berdasarkan ayat ke-4,” ujarnya.
Terkait mekanisme pengangkatan Ahok menjadi gubernur, pasal 203 dalam Perppu Pilkada Langsung tidak berlaku, maka landasan yang harus dipakai dalam urusan pergantian kepemimpinan di Pemerintah Provinsi DKI adalah pasal 174 dalam Perppu yang sama.
“Pasal 174, ayat 2, menyatakan, apabila gubernur diberhentikan, atau berhalangan tetap, dan sisa masa jabatannya masih lebih dari 18 bulan, maka pemilihan gubernur dilakukan melalui DPRD Provinsi,” Taufik menjelaskan Perppu itu.
PDIP sudah memberikan sinyal dukungan kepada Ahok, tentu jika yang dipilih adalah kadernya. Menurut politikus senior PDIP, Tjahjo Kumolo, Ahok harus mengajukan nama wakil gubernurnya yang berasal dari PDIP. Sebab, Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017 adalah produk politik, sehingga harus dari partai politik.
“Walau pun Pak Basuki berpendapat tidak harus seorang politik, tetapi saya berpendapat jabatan politis juga harus diperhatikan aspek-aspek politik,” kata Tjahjo, yang juga Menteri Dalam Negeri.
Pada Pemilukada DKI Jakarta tahun 2012, Ahok adalah pasangan Jokowi yang dicalonkan PDIP dan Partai Gerindra. Meski Ahok telah keluar dari Gerindra, Tjahjo menilai, wakil gubernur seharusnya berasal dari PDIP. “Kalau saya berpendapat, ya, begitu (dari PDIP). Pasti ada kompromi politik.”
PDIP, kata Tjahjo, telah mengusulkan dua nama kandidat wakil gubernur kepada Ahok, yakni Boy B Sadikin dan Djarot Saiful Hidayat. Nama yang disebut terakhir memang salah satu yang dikehendaki Ahok jika pilihannya harus kader partai politik.
Ahok belum mau membocorkan kandidat wakil pilihannya dari kalangan partai politik atau unsur pegawai negeri sipil (PNS) di Pemprov DKI, seperti yang berulangkali disampaikannya selama ini. Tapi dia memastikan mengajukan nama calon wakil gubenur kepada Presiden pada Kamis, 20 November 2014.

Kecepatan Penuh
Jokowi telah mengingatkan kepada Ahok bahwa tugas Gubernur DKI Jakarta tidak sedikit dan tak ringan. Terpenting dan mendesak adalah masalah banjir dan kemacetan lalu lintas. Persoalan lain adalah pembangunan permukiman, karena banyak warga Jakarta yang membutuhkan permukiman murah.
Untuk mengatasi macet, Pemprov DKI Jakarta akan bekerja keras untuk menyegerakan pembangunan transportasi massal monorel. Pembangunan monorel diberi tenggat waktu hingga September 2014.
Ahok memiliki visi bisa mengadministrasi keadilan sosial dan mewujudkan Jakarta menjadi kota yang moderen, layak huni, tertata rapi, dan manusiawi. Visi itu hanya bisa tercapai bila Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga melakukan pembenahan internal. “Prioritas pertama saya setelah menjadi Gubernur adalah membereskan struktur birokrasi kita. Karena kunci keberhasilan semua program pembangunan kita ada di situ,” ujarnya.
Prioritas itu sebenarnya sudah dicicil oleh Ahok sejak dia mengemban jabatan Pelaksana Tugas Gubernur. Dia merotasi pejabat-pejabat yang dinilai tak maksimal bekerja. Misalnya, mencopot Manggas Rudy Siahaan dari jabatannya sebagai Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan menempatkannya menjadi staf noneselon. Ahok menilai, selama lebih dari satu tahun menjabat, Manggas tidak cakap dalam memimpin Dinas.
Manggas pun dicurigai masih sering berkompromi dengan pengusaha atau kontraktor dalam berbagai proyek pembangunan infrastruktur di Jakarta. Salah satunya proyek pemasangan sheet pile (dinding turap) di seluruh bantaran sungai di Jakarta. Akibatnya, Jakarta tak optimal mempersiapkan diri menghadapi banjir yang diprediksi kembali melanda di musim hujan tahun 2014 dan 2015.
Selain mencopot pejabat yang dianggap bermasalah, Ahok juga mulai menerapkan sistem promosi jabatan baru di Pemprov DKI. Dengan sistem itu, pegawai biasa tapi berkompeten dan berdedikasi, memiliki kesempatan untuk bisa menduduki jabatan eselon II, III, dan IV. Tanpa harus mengikuti sistem penjejangan karier yang selama ini diterapkan.
“Staf kita ini banyak sekali yang punya dedikasi dan pinter-pinter, cuma enggak pernah dikasih kesempatan. Sekarang saya mau atur supaya mereka bisa naik ke level yang lebih tinggi,” ujarnya.
Ahok melibatkan tim asesor dan psikolog untuk melakukan penilaian terhadap 72.000 PNS di lingkungan Pemprov. Tiap PNS ditawari kesempatan untuk menduduki jabatan eselon yang dia inginkan.
Bila berdasarkan hasil tes memiliki kompetensi yang dibutuhkan, PNS itu diikutsertakan dalam pelantikan pejabat besar-besaran yang direncanakan dilaksanakan pada Desember 2014.
Jika pembenahan birokrasi itu selesai, menurut Ahok, kegiatan pembangunan di Ibu Kota dapat berjalan dengan kecepatan penuh mulai Januari 2015.
Dengan memanfaatkan momentum ditetapkannya Jakarta menjadi tuan rumah Asian Games tahun 2018, ia menggunakan strategi melibatkan pemerintah pusat untuk membantu dan mempercepat pembangunan berbagai proyek infrastruktur di Jakarta. Seperti moda transportasi mass rapid transit (MRT), enam ruas jalan tol, normalisasi sungai-sungai untuk mencegah banjir, hingga pembangunan stadion baru di Taman BMW, Jakarta Utara.
“Di tahun 2018 kita mau pertontonkan Indonesia yang sudah berubah. Bahwa dari tahun 1962 (tahun kali pertama Indonesia jadi tuan rumah Asian Games), hingga tahun 2018 kita sudah maju dan berbeda total,” ujar Ahok.
Ahok meyakini strateginya akan berhasil. Soalnya, Presiden Jokowi berjanji berjanji membantu kelancaran pembangunan di Ibu Kota dengan menggunakan wewenangnya. (viva/jk)