Belajar Agroliterasi dan Ekoliterasi dari Detukeli; Yerusalem Sejati Itu Bukan di ALTAR tapi KEBUN

oleh -32 Dilihat

Gereja Paroki Roh Kudus Detukeli.

DETUKELI, mediantt.com – Ada satu model pastoral yang unik tapi amat keren yang sedang dipraktekan di Paroki Detukeli, Keuskupan Agung Ende. Charles Beraf, SVD, Pastor Paroki Roh Kudus Detukeli, yang mempelopori model unik tersebut. Dia membangun Paroki Detukeli dengan moto; DARI PERTANIAN MENUJU ALLAH.

Imam SVD berketurunan Lamalera, Kabupaten Lembata ini memang malang melintang dalam misi pemberdayaan umat melalui kehadiran dan kerja nyata.

“Moto paroki kami mungkin kedengaran aneh: DARI PERTANIAN MENUJU ALLAH. Tapi kami berani berkotor tangan, belepotan dengan tahi babi dan dedaunan, karena kami menyadari bahwa Yerusalem kami yang sesungguhnya bukan MIMBAR, tapi KEBUN!” kata master Sosiologi jebolan University of the Philippines Los Banos ini, yang dikutip dari laman facebook-nya, Elang Detukeli LB, Selasa (16/4/2024).

Dalam postingan berjudul “AGROLITERASI – EKOLITERASI DETUKELI: “MENCARI GEREJA PADA BASIS”, putra Lamalera ini menulis; “Hari Bumi, yang jatuh pada 22 April 2024, akan dirayakan secara meriah di Paroki Detukeli pada 21 April 2024, dengan acara antara lain, Ekaristi bersama, pengresmian lokasi agroliterasi ekoliterasi Detukeli, talk show, makan bersama dengan aroma lokal, dan tentu saja dengan gawi bersama”.

Dia melanjutkan lagi, Mengapa Hari Bumi dirayakan Gereja? Gereja, kata om Gesti, Ketua Pusat Pelatihan Pertanian dan Perdesaan Swadaya (P4S) NTT, sedang kehilangan ROH pertanian. Sebab, Gereja zaman sekarang adalah gereja gedung, gereja mimbar, gereja iuran, gereja mobil, gereja android, dan gereja motor keren, dan gereja tiga kali makan.

Karena itu, menurut penulis buku “Orang orang Kalah; Problem Bernegara Dalam Filsafat Politik JJ Rousseau” ini, “Makin sulit kita temukan sekarang gereja yang berani ‘turun dan membasuh kaki para murid’, yang memahami betul bagaimana mirisnya fakta gagal tanam/panen akibat kekacauan iklim yang dialami para petani. Sulit sekali menemukan gereja yang berbasis pada darah dan keringat para petani, ya mereka yang berpikir banyak tentang biaya anak sekolah, makan minum, urusan adat, pesta, bahkan berapa iuran harus dilunasi. Kalau tidak, maka tidak dilayani sakramen”.

“Kami merayakan perayaan ini tak lain untuk mengingatkan kami dan mungkin juga yang lain bahwa tugas kami sesungguhnya adalah membawa hidup kami (imam dan umat) ke dalam dan melalui sakramen. Seperti Yesus yang membawa hidup semua orang ke dalam dan melalui peristiwa salib, kami hendak mengikuti jalan unik ini memuncakkan seluruh perjuangan kami sebagai petani di dalam sakramen. Kami tidak menunggu persembahan saja saat ekaristi, tetapi bersama-sama mempersembahkan seluruh korban kami, menyatukannya dengan korban Yesus,” beber Pastor Paroki yang juga Dosen Institut Filsafat Ledalero ini.

Talk Show

Selain ekaristi, jelas Pater Charles, perayaan ini (baca; Hari Bumi, red), akan disemaraki dengan Talk Show, yang akan membedah atau unjuk omong tentang ekoliterasi dan agroliterasi.

“Mengapa literasi? Praksis bermula dari pemahaman. Itu sebabnya perayaan ini terutama melibatkan anak-anak sekolah dan remaja untuk berpikir dan berpraksis sejak dini tentang pertanian. Pada kesempatan yang sama kami juga akan meresmikan lokasi agroliterasi ekoliterasi paroki, tempat orang belajar mencintai alam dan pertanian,” sebut Pater Charles, yang kerap diundang sebagai narasumber dalam berbagai forum diskusi dan seminar di tingkat nasional.

“Bukan cuma itu. Kami juga akan meresmikan PAUD KAJUOTO – PAUD berbasis pertanian, berbasis alam. Ini milik paroki dan ditangani langsung oleh paroki. Keren kan?” tambah imam yang berpastoral dengan kerja ini.

Dia juga menuturkan, “Niat kami murni: berjuang untuk melawan gereja gedung, gereja iuran, gereja android, gereja mobil keren dengan berbasis pada hidup dan perjuangan umat”. (jdz)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *