JAKARTA – Karena sadar tidak bisa menjadi Presiden, Benny Moerdani berusaha menjadi king maker. Jenderal Try Sutrisno digadang-gadang oleh kelompok Moerdani untuk menggantikan Soeharto.
Ketika era Orde Baru, banyak orang berprasangka bahwa umat Nasrani mempunyai kekuasaan besar terhadap Republik tercinta ini. Bahkan, memasuki era tahun 1980-an sampai awal tahun 1990, kekuasaan umat Nasrani dianggap sudah sangat mendominasi. Sehingga ada perkataan bahwa di Indonesia terjadi tirani minoritas.
Prasangka tersebut timbul karena banyak pejabat tinggi dalam bidang militer dan keuangan diduduki oleh orang beragama Nasrani. Di bidang militer, ada nama Jenderal Maraden Pangabean (Pangab dan Menteri Pertahanan dan Keamanan tahun 1973-1978 dan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan 1978-1983). Jenderal L.B. Moerdani, menjabat Pangab merangkap Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) 1983-1988 dan menjabat Menteri Pertahanan dan Keamanan 1988-1993. Lalu, Laksamana Sudomo–ketika itu masih beragama Nasrani– menjabat sebagai Pangkopkamtib 1978-1983 dan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan 1988-1993.
Sedangkan di bidang keuangan ada nama Radius Prawiro, menjabat sebagai Gubernur BI 1966-1968 diteruskan menjadi Menteri Perdaganan 1973-1983, lalu menjabat Menkeu 1983-1988. Terakhir Radius dipercaya menjadi Menteri Koordinator Ekonomi dan Industri dan Pengawasan Pembangunan 1988-1993. Selain Radius Prawiro ada nama JB Sumarlin, menjabat sebagai Kepala Bappenas 1983-1988, terakhir sebagai Menkeu tahun 1988-1993. Tak boleh dilupakan juga Adrianus Mooy, menjabat Gubernur BI tahun 1988-1993.
Tapi, apakah karena banyak pejabat dalam militer dan bidang keuangan bisa dikatakan bahwa umat Nasrani menguasai Indonesia saat itu?
Sebelum menjawab, ada baiknya kita melihat peta politik ketika awal Orde Baru terbentuk. Ketika Jenderal Soeharto baru berkuasa, tidak ada kekuatan sekuat ABRI. Soeharto sendiri, meski sudah menjadi Presiden, dia belum yakin bahwa ABRI akan selalu tunduk pada perintahnya. Saat pensiun dari ABRI di tahun 1973, Soeharto selain Presiden juga merangkap sebagai Pangab. Kemudian dia menunjuk Pangabean menjadi Pangab.
Dari namanya saja jelas Jenderal Pangabean berasal dari suku Batak. Suatu suku minoritas. Selain suku Batak, Pangabean juga beragama Nasrani, Jadi jelas Jenderal Pangabean tidak mempunyai tiket untuk menjadi Presiden RI. Dia sadar bahwa salah satu tugasnya adalah mengamankan Soeharto dari kudeta.
Rupanya keputusan Soeharto benar. Pangabean, Mayjend Ali Murtopo dan Mayjend Sudjono Humardani berhasil menggagalkan usaha kudeta di tahun 1974. Usaha kudeta dilakukan oleh Pangkopkamtib Jenderal Soemitro. Berkat kerja orang-orang Ali Murtopo, usaha kudeta tersebut dimatangkan sebelum waktunya. Puncak friksi dari loyalis Soeharto dengan kelompok Soemitro adalah peristiwa malapetaka lima belas Januari 1974 yang dikenal dengan Malari.
Akibat peristiwa Malari, Soemitro dicopot dari jabatannya. Posisi Pangkopkamtib kembali diambil oleh Soeharto, dengan kepala tugas harian Laksamana Sudomo. Pertimbangan Soeharto memilih Sudomo menjadi kepala tugas harian Pangkopkamtib kembali untuk mengamankan posisinya. Sudomo walau berasal dari suku Jawa tapi beragama Nasrani. Jadi Sudomo sama dengan Pangabean tidak mempunyai tiket untuk menjadi Presiden. Selain itu Soeharto juga ingin mengambil hati Angkatan Laut. Maklum Angkatan Laut merupakan kekuatan terbesar kedua setelah Angkatan Darat dalam tubuh ABRI. Sudomo baru diangkat menjadi Pangkopkamtib tahun 1978.
Usaha menjatuhkan Soeharto dari kekuasaannya kembali terjadi tahun 1978. Aksi-aksi mahasiwa sangat marak saat itu. Puncaknya adalah penyerbuan kampus Institut Teknologi Bandung oleh pasukan ABRI. Melihat Pangabean sudah memasuki masa pensiun, Soeharto menggantikannya dengan Jenderal M. Yusuf.
Jenderal M. Yusuf walau beragama Islam tapi berasal dari suku bugis. Selain itu, M. Yusuf walau masih tentara aktif tapi sudah lama berdinas di luar ABRI, sehingga dia tidak mempunyai jaringan kuat dalam tubuh ABRI. Melihat hal itu, Soeharto merasa M. Yusuf bukanlah ancaman untuk merebut posisinya.
Setelah M. Yusuf pensiun, Soeharto menunjuk L.B Moerdani sebagai penggantinya. Moerdani adalah orang Jawa campuran Jerman dan beragama Nasrani. Selain itu, Moerdani juga telah lama tidak menjabat sebagai komandan dalam kesatuan di tubuh Angkatan Darat.
Sebelum ditunjuk menjadi Pangab, dia adalah Asisten Intelijen Pangab dan memang karirnya lebih banyak dalam dunia intelijen. Dengan berbagai macam keterbatasan tersebut, Soeharto yakin bahwa Moerdani tidak akan mempunyai ambisi untuk merebut jabatan Presiden.
Karena sadar tidak bisa menjadi Presiden, Moerdani berusaha menjadi king maker. Jenderal Try Sutrisno digadang-gadang oleh kelompok Moerdani untuk menggantikan Soeharto. Memang Try Sutrisno sempat menjadi Wakil Presiden, tapi dengan mudah kekuatan kelompok Moerdani dibinasakan oleh Soeharto. Sehingga walau menjadi Wapres, Try Sutrisno relatif tidak mempunyai kekuatan dalam pemerintahan. Moedani sendiri setelah menjabat sebagai Menhankam terpental dari pemerintahan.
Dicopotnya Moerdani dari jabatan Pangab, berarti habislah Angkatan 45 dalam tubuh ABRI aktif. Soeharto juga sudah yakin dapat mengkontrol ABRI 100 persen. Dia memilih Pangab, tidak lagi berdasarkan suku, agama dan pengalaman di teritorial. Pangab dipilih berdasarkan kedekatan secara personal. Umumnya, mantan ajudan. Jadi dipilihnya pimpinan ABRI dari umat Nasrani, semata-mata hanya usaha Soeharto mengamankan posisinya. (indrev/jdz/berbagai sumber)