JAKARTA — Bergumul dalam selimut politik yang di dalamnya ada kekuatan besar sebenarnya berbahaya, terutama jika Jokowi tidak bisa menguasainya. Apalagi, Jokowi bukan seorang ketua partai. Yang dikhawatirkan, jika kondisi ekonomi nasional terus melemah, posisinya jelas membahayakan. Sebab, kekuatan-kekuatan politik itu kerap bermanuver tidak terduga.
Ketika Partai Amanat Nasional (PAN) menyatakan bergabung ke pemerintah, komposisi kekuatan di parlemen jelas bakal berubah. Presiden Jokowi boleh dibilang berhasil mengubah peta politik dan sukses membangun pendekatan dengan partai politik.
Kini, ia telah mendapatkan dukungan dari tiga corong kekuasaan (tripolar), yaitu menciptakan poros yang terhubung langsung dengan Istana, Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP).
Tiga kekuatan politik ini pula yang menjadikan posisi Jokowi sebagai puncak kekuasaan di Indonesia semakin kuat dan menentukan dalam menjalankan roda pemerintahannya. Dengan PAN di haluan politiknya, Jokowi bisa lebih leluasa. Obsesi Jokowi yang ingin memainkan politik persis seperti mendiang Bung Karno dalam memimpin negara, kini tercapai.
Sejarah bangsa ini mencatat, bahwa Soekarno pada masa setelah kemerdekaan memainkan politik tripolar. Siasat politik tripolar tercatat dalam cerita yang ditulis di buku otobiografinya, ia melakukan pergerakan politiknya secara intens merangkul segitiga kekuasaan. Soekarno saat itu menguasai tiga kekuatan sekaligus, yaitu Presiden, Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Angkatan Darat. Strategi ini membuat kedudukan Presiden menjadi sangat dominan dalam mengatur ritme politik nasional, karena Presiden dianggap sebagai penentu, manakala ada salah satu kekuatan politik tidak mendukung dalam kebijakan pemerintah.
Hiruk pikuk melemahnya ekonomi Indonesia yang bakal berimbas kepada kegaduhan politik, tentu ini menjadi alasan mengapa Jokowi memainkan tripolar politiknya. Sepertinya tahu betul apa yang harus dilakukan agar dalam menjalankan pemerintahannya tidak kena dua hantaman badai sekaligus. Pesona reshuffle kabinet sepertinya menjadi senjata ampuh bagi Jokowi untuk melakukan barganing dengan salah satu anggota KMP yaitu PAN.
Saat Jokowi melakukan reshuffle kabinet, jelas terlihat bahwa ia telah membuktikan komitmennya untuk tidak mengotak-atik kader partai yang punya pengaruh besar di dalam partainya, sebut saja Yudi Chrisnandi, Saleh Husin, dan Ferry Mursyidan, terkecuali Tedjo Edhy Purdijatno kader Partai Nasdem yang memang secara personal tidak mumpuni dalam menjalankan tugasnya sebagai Menkopolhukam.
Dari momen peristiwa reshuffle itulah Jokowi diyakini oleh banyak pengamat, menggoda PAN untuk beralih haluan. Saking senangnya, PAN sendiri sampai lupa tanpa meminta ijin dari KMP yang notabene adalah kelompok kekuatan politik asalnya.
Secara kekuatan politik perpindahan PAN tidak membuat kekuatan politik KMP di parlemen melemah, karena masih ada partai penyeimbang, yaitu Partai Demokrat. Tapi disinilah kecerdikan Jokowi dalam memainkan ritme politiknya. Bergabungnya PAN, jelas misi Jokowi membangun kekuatan politik tripolar bisa dibilang sukses. PAN memang satu satunya partai dari KMP yang pasca pilpres digadang-gadang bakal mendukung pemerintah, walaupun menjelang pemilihan ketua umumnya medio Maret lalu ada riak-riak kecil yang sedikit menggangu kelancarannya untuk pindah haluan.
Namun sejak terpilihnya Zulkifli Hasan sebagai ketua umum PAN, riak-riak kecil itu punah dengan sendirinya dan kabar beralih haluannya PAN untuk mendukung pemerintahan Jokowi sudah makin kencang. Indikasinya antara lain soal dukungan di parlemen yang mendukung kebijakan Jokowi dan juga pencabutan hak menyatakan pendapat terhadap kepemimpinan Ahok di Jakarta yang notabene segaris dengan pemerintahan Jokowi. Tentunya hal ini merupakan angin segar bagi Jokowi untuk melakukan lobi politiknya agar PAN bersedia bergabung dengan KIH. Toh, pada akhirnya Jokowi berhasil menggandeng PAN untuk mendukungnya dan hal ini adalah sebuah keberhasilan dalam memainkan politiknya.
Awalnya, banyak yang meremehkan kemampuan politik Jokowi, namun nyatanya justru dia lebih banyak menuai keberhasilan dibandingkan kesuksesan dalam hal menyelamatkan ekonomi Indonesia. Bertambahnya kekuatan politik, dan menerapkan strategi tripolar bagi Jokowi tentu ini sebagai modal penting agar dapat terus berkuasa hingga masa empat tahun ke depan.
Masuknya PAN kedalam kelompok partai yang mendukung pemerintah adalah bukti bahwa Jokowi semakin matang dalam berpolitik. Tanpa bicara yang berlebihan, dalam selimut kerja, kerja dan kerja, tapi dalam selimut kerjanya itu, ia tetap memainkan politiknya sangat cerdik yang tidak dapat diterka oleh lawan politiknya. Bahkan, lawan politiknya satu demi satu rontok di tengah jalan.
Lalu bagaimana prospek ke depan negara ini? Akankah nasib Jokowi yang memainkan peran tripolar atau tiga kekuatan akan menghadapi dilema politik, karena terpaan krisis ekonomi yang semakin mengikis kepercayaan rakyatnya? Atau sebaliknya, ia menjalankan pemerintahannya dengan aman dan tenteram tanpa hadangan?
Sesungguhnya sistem politik presidensial itu tidak menjamin bahwa kekuatan politik yang besar itu akan melanggengkan kekuasaan. Kita lihat betapa besarnya dukungan politik Soeharto ketika itu, mulai dari kekuatan partai dan kekuatan militer menopangnya, namun toh pada akhirnya tumbang juga ketika krisis ekonomi menggilas perekonomian rakyat, bahkan seketika itu dukungan kekuatan militer dan partai politik yang hampir 100 persen tidak bisa mengalahkan gelombang protes dari arus bawah hingga Soeharto tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
“Kini di era Jokowi, semakin besar dukungan politik yang notabene, semakin besar pula musuh dalam selimut bagi sistem presidensial. Presidensial menurut konstitusi kita adalah tidak ada koalisi setia dan oposisi setia,” kata pakar hukum tata negara, Andi Irmanputra Sidin.
Irman mengatakan, salah satu yang penting dicatat bahwa masuknya PAN dalam koalisi pemerintahan tidak semata bisa diasumsikan negatif seperti dalam analisis politik pada umumnya. Namun, masuknya PAN dalam pemerintahan bisa dinilai sebagai pilihan atas haluan terhadap agenda konstitusional yang jelas dan terukur.
Dari analisa Irman, jelas PAN sedang memainkan selimut politik Jokowi yang memungkinkan di kemudian hari bisa menjerumuskan Jokowi pada tatanan dilema politik yang sukar untuk dipecahkan. Dan pada akhirnya sebuah kekuasaan yang dibangun oleh Jokowi akan sia-sia karena yang menikmati pasti bukan dirinya tapi sekelompok kekuatan baru yang sudah lama menetap dalam selimut politik Jokowi.
Pengamat politik Hanta Yuda menduga PAN telah dijanjikan jabatan struktural oleh Presiden Jokowi. Menurutnya, janji-janji tersebut bisa saja terkait beberapa kepentingan yang ada di negara ini, misalnya kepentingan itu bisa saja berkaitan dengan kebijakan di APBN karena ada persoalan secara ekonomi bisa menukar kebijakan Presiden. Misalnya dana talangan, dan hal ini bisa ditukar dengan pelindungan hukum. Yang pasti, ada tiga keuntungan akses kekuasaan, bisa ekonomi politik dan bisa pula perlindungan hukum.
Yuda mengatakan, Presiden Jokowi telah memainkan politik layaknya Presiden Soekarno dalam memimpin negara pasca-kemerdekaan. Namun, Yuda menjelaskan, keadaan politik tripolar seperti ini dapat membahayakan Presiden Jokowi dalam menjalankan roda pemerintahan.
Apa yang dikatakan Yuda tentu mengacu pada peta politik di zaman Bung Karno, yang kala itu menerapkan tripolar-nya. Selain mengandalkan ketokohan dirinya, juga ada PKI dan TNI AD yang memainkan tripolar.
Bergumul dalam selimut politik yang di dalamnya ada kekuatan besar sebenarnya berbahaya, terutama jika Jokowi tidak bisa menguasainya. Apalagi, Jokowi bukan seorang ketua partai. Yang dikhawatirkan, jika kondisi ekonomi nasional terus melemah, posisinya jelas membahayakan. Sebab, kekuatan-kekuatan politik itu kerap bermanuver tidak terduga. (irc/net/jdz)
Foto : Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla bersama kekuatan politik di parlemen.