BPK Temukan Pembangunan Estate 7 Destinasi Baru di NTT Bermasalah

oleh -16 Dilihat

Gubernur Laiskodat ketika meresmikan Homestay Victory di Lamalera B, salah satu dari Estate 7 destinasi baru, 31 Juli 2020.

KUPANG, mediantt.com – Proyek yang fantastis senilai Rp 12,1 miliar untuk pembangunan estate tujuh destinasi milik Pemprov NTT, ternyata bermasalah. Ini sesuai temuan BPK Perwakilan NTT dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang dikeluarkan pada April 2021.

Dalam laporan yang diterima media, Sabtu (3/7), BPK memaparkan, proyek milik Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif NTT itu, pada tahun anggaran 2019, Pemprov NTT mengalokasikan anggaran senilai Rp8.768.233.250 dan pada 2020 senilai Rp3.220.000.000. Dana tersebut terdapat dalam DPA Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Disparekraf) NTT.

Namun menurut BPK, kegiatan tersebut tidak sesuai aturan alias bermasalah, terutama mekanisme pengadaan barang dan jasa, aset tanah/tempat pembangunan, status pengelolaannya, dan nama destinasi tersebut.

Laporan BPK RI itu juga menjelaskan, masalah itu antara lain; Pertama, ada cottage yang dibangun di atas lahan milik pribadi (SHM) dan milik pemerintah daerah (Pemda) lain. Dan lebih aneh lagi, tanpa didukung dokumen pemanfaatan atas aset tanah oleh Pemprov NTT. Padahal, pembangunan cottage dan sarana amenitas 7 destinasi wisata baru tercatat di akun aset tetap Pemprov NTT dan menggunakan dana anggaran belanja modal daerah.

BPK memberi contoh, pembangunan cottage dan sarana amenitas Fatumnasi di TTS yang dibangun di atas lahan milik Pemda setempat. Tapi pembangunan cottage dan sarana amenitas itu tidak didukung dengan kerja sama pemanfaatan antara Pemprov NTT dengan Pemkab
TTS atau dengan masyarakat pengelola cottage (BUMDes atau Pokmas).

Kasus lain yakni pembangunan cottage destinasi Kampung Adat Praimadita di Sumba Timur bernama Katundu Cottage Victory. Status tanah lokasi pembangunan cottage itu merupakan tanah milik pribadi salah satu anggota DPRD Sumba Timur. Hingga kini pun belum jelas status pengelolaannya; apakah diserahkan kepada Pemprov NTT atau diserahkan kepada pemilik tanah.

Pemilik tanah, menurut BPK, mau menyerahkan tanah tersebut kepada Pemprov NTT. Namun, belum ada perjanjian terkait mekanisme operasional cottage.

Menurut BPK, cottage dan sarana ammenitas yang dibangun di Sumba Timur bukan tempat tujuan wisata. Kondisi infrastruktur ke lokasi tujuan wisata dimaksud juga belum mendukung karena berlumpur, terjal, berbatuan, dan harus menggunakan kendaraan double gardan. Jarak dan waktu tempuh ke lokasi tujuan sekitar empat jam. Di lain sisi, cottage itu telah mendapat fasilitas sumur bor dan tandon atau bak penampung air serta Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dari Pemprov NTT.

“Sampai dengan pemeriksaan fisik tanggal 31 Maret 2021, kegiatan pengelolaan cottage Sumba Timur belum berjalan karena belum ada tamu yang menginap di cottage tersebut. Cottage tersebut selama ini dikelola salah satu anggota DPRD Sumba Timur, selaku pemilik lahan,” tulis BPK dalam laporannya.

Kedua, pengelolaan cottage juga belum jelas dan belum sesuai tujuan awal yakni entah swakelola/dikerjasamakan antara Pemprov dengan kelompok masyarakat (Pokmas) dan BUMDes. Sementara pembangunan cottage dan sarana ammenitasnya menggunakan dana anggaran belanja modal daerah.

Kondisi tersebut, sebut BPK, terjadi pada cottage yang dibangun di atas tanah milik pribadi (SHM) atau masyarakat yaitu pada desa Untiuhtuan (Weliman, Kabupaten Kupang), Desa Wolwal (Kabupaten Alor), Desa Dalama (Kabupaten Rote Ndao), Desa Lamalera (Kabupaten Lembata), dan Desa Praimadita (Kabupaten Sumba Timur). Termasuk juga di Desa Koanara Kabupaten Ende dan cottage dan sarana ammenitas Fatumnasi Kabupaten TTS.

Ketiga, menurut BPK, hingga kini tidak ada pemasukan PAD bagi Pemprov NTT dari pengelolaan estate 7 destinasi wisata. Padahal pekerjaan pengembangan penataan pariwisata estate 7 destinasi baru berupa cottage dan sarana amenitas tersebut tercatat di akun aset tetap Pemprov NTT. Khususnya untuk cottage dan sarana amenitas yang berada di Desa Koanara Kabupaten Ende. Sedangkan untuk lokasi pengerjaan yang berada di Kabupaten Kupang, TTS, Alor, Lembata, Sumba Timur, dan Rote Ndao, tercatat sebagai aset lainnya.

Pengerjaan pembangunan cottage dan sarana ammenitas juga menggunakan anggaran belanja modal daerah.

Keempat, pembayaran paket pekerjaan cottage dan sarana ammenitasnya hanya berdasarkan kuitansi pembelian yang diberikan Pokmas kepada PPK. Sehingga tidak diketahui jelas progres realisasi fisik dan keuangan pada setiap termin pekerjaan.

BPK menilai, kondisi tersebut tidak sesuai dengan; (a) Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Pada Pasal 7 ayat (1), semua pihak yang terlibat dalam pengadaan barang/jasa mematuhi etika sebagai berikut: 1) Huruf a, melaksanakan tugas secara tertib disertai rasa tanggung jawab untuk mencapai sasaran, kelancaran, dan ketepatan tujuan pengadaan barang/jasa.

2) Huruf d, menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang ditetapkan sesuai dengan kesepakatan tertulis pihak yang terkait; dan 3) Huruf f, menghindari dan mencegah pemborosan dan kebocoran keuangan Negara,

(b). Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Pada Pasal 31: a) Huruf a yang menyatakan bahwa kerja sama pemanfaatan barang milik Negara daerah dengan pihak lain dilaksanakan dalam rangka mengoptimalkan daya guna dan hasil guna barang milik negara/daerah, dan/atau b) huruf b yang menyatakan bahwa kerja sama pemanfaatan barang milik negara/daerah dengan pihak lain dilaksanakan dalam rangka meningkatkan penerimaan negara/pendapatan daerah.

2) Pasal 32 ayat (1) pada a) huruf b yang menyatakan bahwa kerja sama pemanfaatan barang milik negara/daerah dilaksanakan terhadap barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang sudah diserahkan oleh pengguna barang kepada gubernur/bupati/wali kota.

b) huruf d yang menyatakan bahwa kerja sama pemanfaatan barang milik negara/daerah dilaksanakan terhadap barang milik daerah berupa sebagian tanah dan/atau bangunan yang masih digunakan oleh pengguna barang.
3) Pasal 31 ayat (3) yang menyatakan bahwa kerja sama pemanfaatan atas barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan oleh pengelola barang setelah mendapat persetujuan gubernur dan bupati/walikota.

4) Pasal 31 ayat (4) yang menyatakan bahwa kerja sama pemanfaatan atas barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c huruf d, dan huruf e dilaksanakan oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang.

BPK menyebutkan, kondisi tersebut mengakibatkan pengembangan penataan pariwisata estate pada 7 destinasi berupa pembangunan cottage dan sarana amenitas belum dapat memberikan manfaat dan kontribusi pendapatan, baik kepada Pemerintah Provinsi NTT maupun masyarakat yang mendapatkan hibah.

Hal ini, jelas BPK, disebabkan oleh karena; 1). PPK tidak melaksanakan pembangunan paket pekerjaan pengembangan penataan pariwisata estate 7 destinasi baru dengan mekanisme pengadaan barang dan jasa. 2). Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tidak melakukan pengendalian secara maksimal kepada PPK terkait pekerjaan pengembangan penataan pariwisata.

Kedua, menetapkan pemanfaatan aset tanah milik Pemerintah Kabupaten TTS dan masyarakat; Ketiga, segera menetapkan pengelola 7 kawasan destinasi sesuai pemanfaatan aset daerah; dan keempat, membuat Memorandum of Understanding (MoU) dengan masing-masing BUMDes terkait bagi hasil pengelolaan kawasan 7 destinasi wisata.

Batas 18 Juli

Menanggapi temuan BPK tersebut, Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kadisparekraf) NTT Wayan Darmawa melalui Ketua Panitia Expo Ekonomi Kreatif, Aloisius Bria, Jumat (2/7/2021), mengatakan, akan melakukan desain ulang tujuh destinasi baru pariwisata NTT.

Dia beralasan desain dan pembangunan yang sudah dilaksanakan belum spesifik pada komponen pembangunan yang berkelanjutan dan terukur. “Lalu, ada satu alasan lagi kenapa kita harus re-design karena ada temuan BPK tahun 2020, sehingga kita harus selesaikan ini. Bagi pariwisata estate yang tanahnya bukan milik Pemprov NTT tetapi milik masyarakat, akan dibangun komunikasi dengan pemilik lahan untuk menghibahkannya kepada Pemprov NTT,” kata Aloisius.

Ia mengatakan, dua dari tujuh destinasi baru yakni Pariwisata Estate Praimadita dan Mulut Seribu telah ada pelepasan hak oleh pemilik kepada Pemprov NTT. Sedangkan Pariwisata Estate Liman Kabupaten Kupang dan Wolwal Kabupaten Alor, serta Koanara di Ende tidak bermasalah, karena tanahnya milik Pemprov NTT.

Selanjutnya, terkait Pariwisata Estate Fatumnasi yang tanahnya milik Pemda TTS, Dinas Pariwisata NTT akan melakukan tiga skenario tindak lanjut. Di antaranya meminta Pemda TTS untuk menyerahkan tanah Fatumnasi menjadi aset Pemprov NTT. “Jika Pemda TTS tidak mau menyerahkan, maka ditempuh strategi kerja sama pengelolaan Pariwisata Estate. Bahkan jika mungkin, akan meminjam tanah tersebut,” katanya.

Sementara untuk Pariwisata Estate Lamalera yang dibangun homestay, sebut Aloisius, Dinas Pariwisata akan membentuk kelompok masyarakat. Hal ini untuk menghimpun homestay yang ada di Lamalera, sehingga proses penyerahan hibah bisa berjalan lancar dengan membuat kelompok sadar wisata (Pokdarwis), atau koperasi pariwisata yang berbadan hukum.

“Seluruh langkah ini akan dilakukan oleh Dinas Pariwisata NTT dan harus selesai sebelum tanggal 18 Juli 2021. Sebab itu batas yang diberikan oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) Provinsi NTT,” tegasnya. (vc/jdz)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *