KUPANG, mediantt.com – Bupati Rote Ndao terpilih dalam Pilkada Serentak 2018, Paulina Haning-Bullu, yang juga istri Bupati Rote Ndao dua periode, Lens Haning, diadukan ke Polda NTT dengan sangkaan kepemilikan ijazah S1 yang diduga palsu.
Seperti disaksikan mediantt.com, Selasa (28/11), kasus ini dilaporkan di SPKT Mapolda NTT, pukul 13.36 Wita oleh Bima Fanggidae dan Adolfina Koamesa. Kedua pelapor juga merupakan kontestan dalam Pilkada di pulau terselatan Indonesia itu.
Bima Fanggidae kepada wartawan di Mapolda NTT, mengatakan, bukti ijazah S1 yang diduga palsu itu didapatkan setelah pihaknya mengadu ke KPUD Rote Ndao, saat sidang DKPP tanggal 25 Oktober 2018 di Kupang.
Dan bukti-bukti dari surat verifikasi yang diberikan KPUD kepada Kopertis sebagai lembaga yang melegalisir ijazah, menyatakan bahwa ijazah terlapor tidak memiliki kekuatan hukum tetap, sehingga tidak bisa dipakai untuk melamar pekerjaan, atau kenaikan pangkat dan pengembangan karier.
“Itu yang menjadi dasar kami datang melapor, karena ternyata KPUD dengan sengaja meloloskan seseorang yang sudah tidak memenuhi syarat untuk maju sebagai kepala daerah, karena ijazahnya tidak mempunyai kekuatan hukum. Jawaban dari Kopertis itu tanggal 29 Januari dan penetapan pasangan calon itu tanggal 12 Februari. Jadi KPUD sudah mengetahui duluan bahwa ini tidak memenuhi syarat. Tapi tetap diloloskan, sehingga ini menjadi preseden buruk untuk demokrasi di Indonesia, dan khusus juga di Rote Ndao, karena masyarakat Rote dibohongi,” tandas Bima Fanggidae.
Ia menegaskan, sebagai mantan Paslon di Pilkada Rote Ndao merasa dirugikan baik secara materil maupun nonmateril.
“Jadi yang diduga palsu adalah ijazah S1, karena dia mendaftar dengan ijazah tersebut, yaitu S1 Ekonomi Pariwisata STIE Satya Widya Surabaya,” sebutnya.
Melihat dari format yang dimasukan pihak terlapor di KPUD, lanjut Adam, diketahui agak rancu karena di situ menerangkan bahwa terlapor kuliah dari tahun 2002-2006, dimana saat itu yang bersangkutan berstatus PNS di Pemprov NTT.
“Mestinya kalau orang pegawai negeri kuliah di Surabaya, berarti harus ada surat tugas belajar. Tapi tidak pernah ada lampirannya dan tidak tahu ada apa tidak. Dan kedua adalah dari forlap Dikti kita dapatkan bahwa status dia adalah pindahan, tetapi pindahan dari tempat kuliah mana, karena SKS nya sendiri ketika dia lulus tahun 2006 itu, tidak sesuai SKS kalau kita dapat S1, karena hanya 42 SKS saja. Harusnya 160, tapi pindahannya dari mana kita tidak tahu. Dan wisudanya itu bulan Maret 2006, tetapi dia lulus di bulan April 2006. Itu juga sendiri sudah ganjil,” kata Bima.
“Orang lulus dulu baru diwisuda, tapi lepas dari itu kita susah membuktikannya, sampai dengan sidang DKPP ternyata ada selembaran surat yang diberikan KPUD ditujukan kepada Kopertis sebagai lembaga yang melegalisir ijazah menanyakan perihal verifikasi ijazah S1 dari terlapor dan dijawab bahwa perkuliahan yang dilakukan tidak sesuai ketentuan dan ijazahnya tidak berkekuatan hukum tetap sehingga tidak bisa dipakai untuk maju sebagai pejabat publik,” tegas dia.
Bima juga mengatakan, pihaknya juga akan melaporkan KPUD, karena diduga telah sengaja meloloskan persoalan ini.
“Mereka (KPUD) tahu ini tidak betul tetapi tidak ada upaya untuk membatalkan. Kami baru laporkan kasus ini karena baru tahu sekarang, setelah KPUD lampirkan data ini ke kita, dalam jawaban kita atas ijazah palsu. Dengan laporan ini kita ingin agar persoalan ini bersih. Pembatalan memang sudah tidak bisa, kita tahu itu, tapi kita kejar ini pidananya, bahwa ini kan pemalsuan dokumen negara,” tandas Bima Fanggidae. (jdz)