JAKARTA – Negeri ini terus berproses menuju sistem ketatanegaraan yang ideal, sistem yang betul-betul bisa menghadirkan pemerintahan kuat sekaligus mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi yang berkeadilan.
Perubahan demi perubahan, revisi demi revisi undang-undang, pun terus dilakukan. DPR kini menggodok RUU Penyelenggaraan Pemilu untuk mengatur pesta demokrasi pada 2019, yang untuk pertama kalinya pemilu legislatif dan pemilu presiden berlangsung serentak.
Dua hal yang menjadi pembahasan serius ialah ambang batas parlemen (parliamentary threshold) dan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold).
Pembahasan ambang batas parlemen didasarkan pada ide penyederhanaan partai politik. Dalam penyederhanaan parpol, ambang batas parlemen harus tinggi. Karena itulah, sejumlah fraksi mengusulkan ambang batas parlemen sebesar 7%. Bahkan, ada fraksi yang mengusulkan ambang batas 10%.
Namun, ada pula yang berpendapat penyederhanaan bukan pada parpol, melainkan fraksi di parlemen. Pendapat itu masuk akal karena di parlemen yang diperhitungkan bukan suara parpol, melainkan fraksi.
Semua berpulang kepada wakil rakyat apakah yang dipilih penyederhanaan parpol atau fraksi. Keduanya memiliki contoh atau model di negara lain. Amerika dikenal sebagai negara dengan sistem kepartaian sederhana, sedangkan Inggris disebut sebagai negara dengan sistem fraksi sederhana dengan banyak partai.
Terkait dengan ambang batas pencalonan presiden, dari 10 fraksi di DPR, sebagian mendukung dan sebagian lagi menolak penghapusan ambang batas tersebut. Mereka yang mendukung beralasan ambang batas tak lagi relevan karena pemilu legislatif dan pilpres berlangsung berbarengan.
Sebaliknya, pihak yang menolak berdalih ambang batas tetap diperlukan karena pilkada saja masih menerapkan persyaratan serupa.
Pertanyaannya, masih relevankah ambang batas ketika pemilu legislatif dan pilpres digelar bersamaan? Jika ambang batas tetap diberlakukan, acuan mana yang digunakan? Adilkah jika hasil Pemilu Legislatif 2014 dijadikan sebagai patokan?
Peniadaan ambang batas memang membuka peluang pilpres menggemuk karena setiap parpol peserta pemilu boleh mengajukan capres yang ujung-ujungnya membuat biaya membengkak. Namun, kemungkinan itu tak perlu memicu kekhawatiran berlebih.
Partai-partai politik mustahil sembarangan mengajukan capres tanpa perhitungan supermatang, baik biaya maupun nilai jual sang calon. Asal-asalan mengusung kandidat justru akan menjadi bumerang dan membuahkan kegagalan ganda, gagal di pemilu legislatif dan gagal pula di pilpres.
Peluang berkoalisi amat terbuka untuk mengusung capres potensial, bukan capres abal-abal yang cuma punya modal nekat. Jika itu yang terjadi, koalisi akan jauh lebih solid dan ideologis, tidak seperti tatkala dibangun setelah pilpres yang cenderung dilatari kepentingan pragmatis untuk ikut berkuasa.
Lagi pula, bila penyederhanaan parpol yang dipilih kelak ketimbang penyederhanaan fraksi, kekhawatiran jumlah calon presiden akan banyak tidak perlu terjadi. Itu disebabkan jumlah parpol berkurang sehingga calon presiden yang diajukan parpol pun tidak banyak.
Namun, kita menghargai apa pun pendapat yang mengemuka. Yang penting bagi kita, Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu bertujuan memperkuat sistem demokrasi presidensial. Namun, sistem presidensial yang hendak kita bangun ialah sistem presidensial yang berkeadilan. Bila bukan sistem presidensial yang berkeadilan, yang tercipta justru sistem otoritarianisme karena terlalu kuatnya lembaga eksekutif. (miol/jdz)
Ket Foto : Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla bersama Ketua Umum PDIP Megawati dan Ketua umum NasDem Surya Paloh di acara HUT PDIP.