JAKARTA – Tewasnya gembong teroris Santoso bukan pertanda bahwa ancaman terorisme di Indonesia telah berakhir. Justru sebaliknya, ia menjadi isyarat agar upaya pemberantasan terorisme dilakukan dengan agenda yang jauh lebih terarah dan lebih terukur. Pernyataan Komisaris Jenderal Suhardi Alius sesaat setelah dilantik Presiden Joko Widodo sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Rabu (20/7), menegaskan komitmen untuk mengimplementasikan semangat tersebut.
Suhardi yang menggantikan Tito Karnavian yang kini menjabat Kapolri bertekad memperkuat program deradikalisasi dan antiradikalisasi untuk menanggulangi tindak pidana terorisme. Kita sepakat dengan semangat dan komitmen Suhardi untuk menjalankan program deradikalisasi dan antiradikalisasi sebagai upaya untuk meneruskan program pemberantasan terorisme di Indonesia.
Sangat tepat bila mantan Sekretaris Utama Lembaga Ketahanan Nasional itu mengambil deradikalisasi sebagai agenda prioritas di masa kepemimpinannya. Dengan melaksanakan program deradikalisasi itu, artinya kesinambungan program Kepala BNPT sebelumnya dapat dijaga. Melalui program deradikalisasi dan antiradikalisasi itu pula, kita dapat berharap penanggulangan terorisme akan jauh lebih berhasil.
Deradikalisasi merupakan upaya untuk mentransformasi keyakinan atau ideologi radikal menjadi tidak radikal melalui pendekatan interdisipliner, termasuk agama, sosial, dan budaya. Dengan deradikalisasi, kita berharap keyakinan yang keliru yang tersebar melalui narasi-narasi kekerasan dan telanjur diyakini para teroris dapat diubah.
Kita mencatat, jika program deradikalisasi itu dijalankan secara substantif dan paripurna, teroris dan mantan teroris akan berubah menjadi sosok yang jauh lebih baik.
Para teroris dan mantan teroris yang berhasil mengikuti program deradikalisasi tidak saja akan meninggalkan paham dan aksi kekerasan yang pernah dianut, mereka tidak jarang menjadi aktor yang membantu aparat keamanan dalam menyadarkan kalangan yang telanjur terlibat aksi dan teperdaya oleh narasi-narasi kekerasan yang mengatasnamakan agama. Keberhasilan program deradikalisasi, misalnya, dapat kita lihat pada sosok Abdurrahman Ayyub, Abu Dujana, Ali Imron, dan Ali Fauzi Manzi.
Melalui keberhasilan program deradikalisasi, mereka berubah dari sosok teroris berdarah dingin menjadi figur yang membantu aparat kepolisian menyadarkan kalangan teroris untuk kembali ke ajaran yang benar dan meninggalkan paham serta aksi kekerasan. Benar bahwa program deradikalisasi tidak selamanya berhasil mengubah teroris meninggalkan keyakinan dan praktik kekerasan mereka.
Santoso, misalnya, meskipun pernah mengikuti program deradikalisasi, tidak meninggalkan aksi terorisme bahkan menjadi dedengkot teroris di Poso hingga akhir hayatnya. Namun, harus dicatat, program deradikalisasi atas Santoso baru separuh jalan karena ia keburu kabur dari tahanan. Deradikalisasi harus radikal, dalam arti program tersebut harus dilaksanakan secara sistematis, tuntas, komprehensif, dan menyentuh akar persoalan dalam bingkai kemajemukan dan kebangsaan. Akar persoalan terorisme bukanlah kemiskinan harta atau pendidikan, melainkan kemiskinan atau kedangkalan pemahaman ajaran agama. Akar persoalan itulah yang terutama harus disentuh supaya deradikalisasi sukses. (mi/jdz)
Foto : Kapolri Jenderal Tito Karnavian (kanan) bersama Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo (kiri) di Poso.