Guru SD di Kabupaten Tana Tidung (KTT), Kalimantan Utara menggunakan kurikulum darurat dalam menjalankan program belajar dari rumah (BDR) untuk mengurangi belajar siswa, sehingga siswa tetap menguasai kompetensi pra syarat dan esensial. Foto Dok: Disdik KTT.
TARAKAN – Penutupan sekolah yang berlangsung hampir satu tahun telah berdampak pada menurunnya kemampuan belajar siswa Indonesia secara masif. Penurunan kemampuan belajar atau learning loss ini merupakan ancaman serius.
Akademisi dari Universitas Oxford, Inggris, Michelle Kaffenberger mengatakan, krisis penurunan kemampuan belajar tidak akan berhenti, sekalipun sekolah dibuka kembali. Learning loss bisa berlanjut jika pemerintah dan sekolah tidak melakukan kebijakan pemulihan kemampuan belajar terlebih dahulu.
Peneliti Research on Improving System of Education (RISE) International ini, menunjukkan siswa kelas 3 SD yang melewatkan waktu belajar selama 6 bulan berpotensi tertinggal 1,5 tahun. Sedangkan siswa kelas 1 SD jika tidak belajar dalam waktu yang sama, kemampuan belajarnya akan hilang hingga 2,2 tahun. Pada jangka panjang penurunan kemampuan belajar akan menyebabkan masalah ekonomi dan sosial. Hal ini disebabkan hilangnya pendapatan siswa sebesar 15 sampai 20 persen saat mereka dewasa karena kehilangan pengalaman belajar selama 1,5 sampai 2 tahun.
Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Borneo Tarakan (UBT), Dr. Suyadi, M.Ed mengatakan, kehilangan pendapatan ini bisa semakin membesar jika belajar dalam kondisi darurat masih terus berlangsung.
FKIP UBT bersama Program INOVASI merekomendasikan sejumlah langkah strategis untuk mencegah kerugian jangka panjang akibat learning loss. Rekomendasi ini merupakan rangkuman pemikiran para akademisi, jurnalis, kepala sekolah, dan guru yang disampaikan dalam Webinar Mitigasi Learning Loss untuk Mencegah Kerugian Ekonomi dan Sosial di Masa Depan Akibat PJJ Berkepanjangan pada Kamis, 11 Februari 2021.
Para narasumber mengusulkan penggunaan kurikulum darurat, assessment siswa, pembelajaran terdiferensiasi, pelatihan dan pendampingan guru, serta partisipasi masyarakat sebagai langkah kunci untuk mengantisipasi kerugian lebih besar karena learning loss. ”Seluruh rekomendasi ini akan kami teruskan kepada Kemdikbud, Kemenag, pemerintah daerah, LPTK, dan masyarakat,” terang Suyadi di Kota Tarakan, Kalimantan Utara, Kamis (25/2).
Suyadi juga mengatakan, upaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dan Kementerian Agama (Kemenag) untuk mencegah learning loss melalui pembukaan sekolah harus diikuti dengan upaya pemulihan kemampuan belajar. Upaya pemulihan ini dibutuhkan agar siswa mampu mengejar ketertinggalannya akibat terlalu lama belajar dalam kondisi darurat. Pemulihan ini harus didukung dengan penyesuaian kurikulum agar pembelajaran terfokus pada kompetensi literasi dan numerasi.
“Kami mengusulkan kepada pemerintah pusat agar meneruskan kebijakan kurikulum darurat, paling tidak untuk tahun ajaran 2021-2022,” tambahnya.
Penggunaan kurikulum darurat tidak hanya mengurangi beban mengajar guru tetapi juga memberikan kesempatan kepada guru untuk menerapkan TaRL (teaching at the right level) dan remedial bagi siswa yang kehilangan kompetensi. Seiring terjadinya ketimpangan kemampuan belajar siswa, guru harus menerapkan pembelajaran terdiferensiasi. Itu artinya guru harus mengelompokkan dan mendesain materi ajar belajar berdasarkan level kompetensi siswa, bukan sekadar mengikuti tingkatan kelas.
”Dengan dilanjutkannya kurikulum darurat, maka guru memiliki waktu lebih banyak untuk memperhatikan siswa secara individual,” tegasnya.
Lebih lanjut Suyadi mengatakan, dinas pendidikan perlu memberikan kepastian kepada guru tentang penggunaan kurikulum darurat dan target belajar. Pada semester lalu masih banyak sekolah belum menggunakan kurikulum darurat. Sekalipun Kemdikbud sudah merilis kurikulum darurat, tapi kepala sekolah dan guru masih ragu dan takut menggunakannya. “Alasan utamanya karena tidak ada arahan yang tegas dari dinas pendidikan setempat,” tukasnya.
Selain itu, Suyadi merekomendasikan dinas pendidikan dan sekolah untuk melakukan mitigasi learning loss. Program mitigasi ini harus ditopang dengan kebijakan tertulis, anggaran, pelatihan, dan pendampingan untuk guru. Pelatihan diperlukan guru agar mampu menggunakan kurikulum darurat, melakukan assessment untuk mengukur level kompetensi anak, melaksanakan pembelajaran sesuai level kompetensi, memberikan program remidi dan akselerasi untuk memulihkan kemampuan belajar siswa.
”Melalui pelatihan dan pendampingan seperti ini sekolah dan guru akan mampu merancang materi belajar sesuai dengan kompetensi siswa sehingga cepat mengejar ketertinggalan,” tegasnya.
Guna mendukung usaha pemda memitigasi learning loss, Suyadi mendorong LPTK (Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan) menyediakan layanan teknis pelatihan dan pendampingan bagi guru. Pemda dapat mengakses sumber daya manusia, pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman yang dimiliki LPTK.
Selain itu, LPTK harus lebih banyak melakulan penelitian tentang dampak learning loss di wilayah kerjanya. Penelitian ini akan membantu pemerintah pusat dan daerah dalam mengatasi learning loss sesuai konteks daerah masing-masing.
Upaya pemulihan kemampuan belajar harus pula melibatkan sektor swasta, masyarakat termasuk media massa. Kampanye yang berkelanjutan diperlukan agar masyarakat semakin menyadari adanya permasalahan belajar yang dialami anak, sehingga tidak memaksakan anak untuk belajar sesuai jenjang kelasnya. Masyarakat dan orangtua dapat bekerjasama dengan guru untuk membantu anak mengejar kompetensi yang belum dikuasainya. Masyarakat bisa mendukung dengan memberikan layanan tambahan belajar dan bahan bacaan bagi anak-anak.
”Kami juga mendorong dunia usaha melalui program CSR-nya untuk terlibat dalam upaya mitigasi learning loss,” tutup Suyadi. (*/jdz)