SETELAH hilang kontak atau submiss pada Sabtu (21/4), kapal selam KRI Nanggala-402 dinyatakan tenggelam atau subsunk di kedalaman 850 meter.
Kepastian bahwa KRI Nanggala-402 tenggelam disampaikan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan KSAL Laksamana Yudo Margono dalam konferensi pers di Base Ops Lanud I Gusti Ngurah Rai, Badung, Bali, Sabtu (24/4). Pun diumumkan status KRI Nanggala-402 sebagai on eternal patrol atau istilahnya tugas selamanya tidak kembali lagi.
Kepastian itu didukung dengan bukti-bukti autentik berupa temuan benda benda yang diyakini bagian dari Nanggala. Sebut saja peralatan salat milik awak kapal, busa penahan panas, komponen pelurus tabung torpedo, pembungkus pipa pendingin, oli untuk melumasi periskop, dan solar. Penemuan benda-benda itu memang bisa membuat spekulasi tentang nasib KRI Nanggala-402 mulai mendapat jawaban. Sayangnya, jawaban yang kita dapat berupa keprihatinan dan kesedihan.
Kita prihatin, sangat prihatin, karena KRI-402 tenggelam. Kita sedih, sangat sedih, apalagi setelah Panglima TNI mengumumkan, bahwa sebanyak 53 prajurit yang mengawaki kapal itu dipastikan gugur. Awalnya, kita amat berharap para awak KRI Nanggala-402 dapat ditemukan dan dievakuasi dengan selamat. Namun, takdir berbicara lain. Mereka, para prajurit terhebat itu, meninggal dalam tugas mulia mengamankan samudra mengawal NKRI.
Rasa hormat setinggi-tingginya kita alamatkan kepada mereka. Mereka, para awak KRI Nanggala-402, ialah patriot-patriot sejati. Mereka ialah putra-putra terbaik yang pernah dilahirkan dan dimiliki bangsa ini. Mereka ialah manusia-manusia istimewa yang tak kenal lelah untuk mendarmabaktikan diri menjaga kedaulatan negara.
Kita berduka atas tragedi yang menimpa KRI Nanggala-402. Namun, kita juga bangga, teramat bangga, dengan patriotisme tanpa batas yang ditunjukkan ke-53 awaknya. Kepada keluarga awak KRI Nanggala-402, kita menyampaikan rasa empati dan duka mendalam. Kita ikut merasakan kesedihan yang mereka rasakan. Namun, percayalah, pengorbanan para awak kapal tidak akan sia-sia.
Cara terbaik untuk menghormati para awak KRI Nanggala-402 ialah segera menemukan dan mengevakuasi mereka. Sebagai pelaut, terbaring abadi bersama kapal yang diawaki memang sebuah kehormatan. Namun, melepas dan mengebumikan mereka dengan cara dan di tempat terhormat jelas lebih mulia. Karena itu, sangatlah tepat tekad yang ditunjukkan TNI untuk terus mengerahkan segala kekuatan dalam melakukan pencarian.
Tak lupa, kita berterima kasih kepada institusi-institusi lain, termasuk beberapa negara sahabat, yang membantu proses pencarian. Pencarian dan evakuasi KRI Nanggala-402 tak sekadar upaya untuk mendapatkan kepastian. Lebih dari itu, ialah misi kemanusiaan terhadap manusia-manusia istimewa. Cara terbaik lainnya untuk menghormati para awak KRI Nanggala-402 ialah memastikan tragedi itu tak lagi terjadi.
Karena itu, investigasi mesti dilakukan nanti. Dengan mengetahui penyebabnya, kita bisa mendapatkan pijakan untuk mencegah kejadian serupa terulang di masa mendatang. Evaluasi menyeluruh terhadap alat utama sistem persenjataan atau alutsista juga menjadi kemestian yang mesti secepatnya dilakukan.
Harus diakui usia KRI Nanggala-402 sudah sangat tua, sudah lebih dari 40 tahun, yang seharusnya tak dipaksakan lagi untuk beroperasi. Alutsista yang telah renta, tak cuma tak lagi ampuh, tetapi juga menyimpan potensi mematikan bagi awaknya. Alutsista-alutsista semacam itu harus selekasnya diremajakan agar kekuatan pertahanan kita benar-benar prima, para prajurit yang mengoperasikannya pun aman dari bahaya.
Duka Nanggala-402 ialah duka kita, duka seluruh rakyat Indonesia. Negara harus memastikan jangan ada lagi duka-duka berikutnya.
Segera Remajakan Alutsista
Alat utama sistem persenjataan (alutsista) Indonesia kembali menorehkan cerita pilu, dengan hilangnya Kapal selam KRI Nanggala-402 sejak Rabu (21/4) pukul 04.30 Wita di perairan utara Bali.
Semua armada sudah dikerahkan dalam proses pencarian dan penyelamatan kapal selam buatan Jerman itu. Prioritas pertama tentu saja bagaimana menyelamatkan kapal selam itu, terutama 53 awak kapal yang ada di dalamnya.
Kekuatan dalam negeri dimaksimalkan, ditambah dengan bantuan dari negara-negara sahabat yang ikut dalam proses pencarian seperti Singapura dan Malaysia. Jika merujuk pada keterangan resmi TNI, saat ini ada lima KRI dan satu helikopter yang dikerahkan untuk mencari keberadaan Nanggala-402. Jumlah personel yang diturunkan mencapai 400 orang. Adapun bantuan dari asing diperlukan mengingat Indonesia tidak memiliki alat angkut kapal selam yang tenggelam atau mengalami gangguan teknis saat beroperasi.
Di satu sisi, hilangnya kapal selam Nanggala-402 merupakan kecelakaan kapal selam pertama di Indonesia. Namun, di lain sisi, ini adalah yang kesekian kalinya kejadian tidak menyenangkan menimpa alutsista kita yang memang kebanyakan sudah renta. Karena itu, peristiwa kali ini sepatutnya dilihat sebagai pesan tegas bahwa alutsista kita perlu perhatian ekstra.
KRI Nanggala-402 ialah kapal selam produksi 1977. Itu berarti usianya sudah 44 tahun. Betul bahwa kapal selam itu mengantongi sertifikat kelaikan sampai 2022. Betul pula bahwa ia sempat menjalani perawatan di galangan Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering, Korea Selatan, pada 2009-2012 dan dipasangi sonar serta persenjataan mutakhir.
Pihak TNI juga hampir selalu akan menyampaikan armada-armada yang mengalami kecelakaan tersebut masih layak pakai karena rutin mendapatkan perawatan. Akan tetapi, usia tentu saja tak bisa bohong. Alat tempur yang uzur tentu punya masa aus dan sebagus-bagusnya kondisi alat tua itu tidak bakal seprima alutsista baru.
Dengan perspektif itu, jelas alutsista mesti segera diremajakan, dimodernisasi. Begitu pun jika kita mengutip situs Global Firepower yang dirilis 2019 lalu, alutsista Indonesia hanya menempati peringkat ke-16 di dunia dari 137 negara sehingga dibutuhkan modernisasi. Cukup atau tidak cukup anggaran yang disiapkan, modernisasi alat adalah sebuah kemestian.
Tentu kita mafhum akan ada skala prioritas karena anggaran kita sesungguhnya tidak cukup kuat menopang modernisasi besar-besaran. Yang pasti, publik berharap sebuah progres aksi yang jelas, jangan cuma mengumbar wacana-wacana modernisasi setelah ada kecelakaan yang menimpa alutsista tua.
Pada anggaran bagi Kementerian Pertahanan tahun ini yang mencapai Rp136,9 triliun, misalnya, harus ada perencanaan strategis yang jelas untuk pengadaan alutsista. Idealnya, setiap peningkatan anggaran pertahanan dibarengi peningkatan kualitas alutsista. Sayangnya, yang dilihat publik saat ini justru sebaliknya; anggaran terus membesar, tapi alutsista tak kunjung naik kelas.
Ini saatnya berbenah. Kementerian Pertahanan dan TNI kabarnya sudah menyusun masterplan pengadaan alutsista TNI untuk 25 tahun ke depan. Itu langkah awal yang bagus. Namun, ujiannya nanti, apakah masterplan itu hanya akan jadi sekadar perencanaan tanpa aksi, atau cukup kuat menjadi pijakan untuk implementasi pengadaan alutsista yang modern, terukur, serta transparan.
Sekali lagi, hilangnya KRI Nanggala-402 memberi pesan yang teramat tegas bahwa pembenahan pengadaan alutsista ialah harga mati. Akan tetapi, itu pesan untuk nanti. Saat ini, yang terpenting ialah pemerintah harus fokus dalam pencarian dan penyelamatan kapal selam dan 53 awaknya tersebut. (e-mi/jdz)