Patung Bung Karno di Lapangan Pancasila, Ende, Nusa Tenggara Timur.
Oleh DANIEL DHAKIDAE
ARTIKEL opini tulisan almarhum Daniel Dhakidae berikut ini pernah terbit di harian Kompas edisi 31 Mei 2013, yang menyambut penataan taman dan lanskap lokasi patung Soekarno di kota Ende, Flores, NTT. Kami terbitkan kembali artikel tersebut karena terkait sejarah kelahiran Pancasila.
Tanggal 1 Juni besok (2013), situs Bung Karno di Ende akan diresmikan secara besar-besaran oleh Wakil Presiden Boediono, dengan taman dan penataan lanskap di lokasi ditempatkannya patung Soekarno. Patung karya pematung Hanafi tersebut berbeda dari patung Soekarno mana pun di Indonesia. Patung-patung lain menggambarkan Soekarno beraksi, tangan teracung. Di Ende, Soekarno seorang pemikir reflektif, tenang, dan duduk.
Koor gabungan 1.000 siswa SMA Ende mengumandangkan lagu polifonik ”Io Vivat Nostrorum Sanitas” (sehat walafiatlah sobat-sobat kita) yang diajarkan Bung Karno untuk klub teaternya di Ende.
Kontribusi Ende
Soekarno dengan gagah perkasa menjalani hukuman penjara pertama, 1930, tetapi mengalami kehancuran mental, ketidakpastian sosial, dan disorientasi politik pada pemenjaraan kedua, 1933, sampai-sampai meminta belas kasihan pemerintah kolonial.
Dalam keadaan begitu, Soekarno menjejakkan kakinya di dermaga Pelabuhan Ende, Februari 1934.
Soekarno yang datang ke Ende adalah Soekarno yang ”secara politik mati”, kata Hatta. Namun, di Ende, perlahan Soekarno membangun kembali kekuatan dirinya tahap demi tahap.
Pertama, Soekarno menjadi seorang bapak keluarga tanpa gangguan kegiatan politik seperti di Bandung. Soekarno menanam sayur-mayur, memetiknya untuk dimasak di rumah kontrakannya demi lima anggota keluarganya. Sebagai bapak keluarga, Soekarno juga menjadi seorang Muslim yang taat—shalat sehari lima waktu dan setiap Jumat ke masjid.
Kedua, dari menjadi bapak keluarga, Soekarno perlahan-lahan menghidupkan kembali kegiatan intelektualnya dan menjadikan dirinya seorang ahli Islam.
Di Jawa, keasyik-masyukannya dengan marxisme menenggelamkan perhatiannya terhadap Islam. Meskipun demikian, tulisan Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme, 1926, adalah manifesto politik Soekarno muda yang brilian, 25 tahun—tidak kalah dari Marx (30) dan Engels (28); ketiganya berada dalam kurun umur sama.
Di Jawa, Soekarno melihat Islam dari luar, dari kacamata marxisme yang menuntut simpati Islam terhadap marxisme karena Islam pada dasarnya adalah sosialis, demikian Soekarno. Di Ende, Soekarno banyak menulis dan melihat Islam dari dalam.
Ketiga, Soekarno dijauhi golongan atas di Ende dan ditakuti golongan bawah karena propaganda kolonial: dia dianggap komunis. Soekarno mengeluh bahwa tidak ada orang yang mendengarnya di Ende: ”Orang di sini yang mengerti tidak bicara dan yang bicara tidak mengerti.” Karena itu, ”aku akan membentuk masyarakatku sendiri” dan mempersetankan ”orang pintar yang tolol itu”.
Dia mendirikan ”Kelimoetoe Toneel Club”, dengan dukungan tukang jahit, sopir, nelayan; beranggaran dasar dan Soekarno sendiri direkturnya. Dia menulis dan mementaskan 13 drama dalam tempo empat tahun! Rata-rata setiap triwulan satu drama. Dengan anggota antara 56 dan 90 orang, dia membentuk ”massa kecil”, kemudian jadi ”kampus” tempat diskusi. Soekarno menanam kesadaran akan kemerdekaan meski semuanya dalam bahasa simbolik teater karena lima polisi kolonial selalu mengawasinya.
Keempat, perlahan Soekarno mengalihkan diri menjadi cendekiawan sejati dengan keluar melangkah ke suatu kelompok berbeda, dengan para pastor/misionaris. Diskusi dalam bahasa Belanda secara rutin dijalankan dengan mereka di Ende, yang rata-rata seumur dengannya, 35-40 tahun, saat pemuda Soekarno berumur 33 tahun.
Di sana dipelajari agama mondial dalam diskusi dengan dukungan buku di perpustakaan pribadi para pastor itu. Sosialisme Soekarno dibandingkan langsung dengan sosialisme gereja yang dipelajarinya di sana.
Kelima, berbekal hasil diskusi itulah, renungan di bawah pohon sukun yang begitu membuai Soekarno menjadi puncak dari semua yang diperoleh di Ende, yaitu menggali dan merenung tentang Pancasila yang dilukiskan Soekarno dengan begitu puitik.
Warga melintasi sejumlah gambar dan foto-foto Proklamator RI Ir Soekarno di Jalan Ir H Soekarno, Bandung, Jawa Barat, Senin (6/6/2016).
Ende dan Sang Ideolog
Soekarno memang lebih menekankan renungan di bawah pohon sukun. Namun, menurut penulis, Soekarno mengabaikan dua hal lainnya, karena gabungan ketiganya—diskusi, aksi teater, dan refleksi—secara gemilang mengantarnya menuju kesatuan mistik di bawah pohon sukun untuk menemukan sesuatu yang tujuh tahun kelak, pada 1 Juni 1945, disebutnya sebagai Pancasila. Maka, lahirlah seorang ideolog negara, state ideologist, di Ende.
Dengan demikian, Ende jadi penting bagi Soekarno. Jika Ende penting bagi Soekarno, dan Soekarno penting bagi Indonesia, dengan sendirinya Ende harus penting bagi Indonesia. Sebab, apa pun yang penting bagi Soekarno, penting bagi bangsa ini.
Daniel Dhakidae, Penulis adalah Pemimpin Redaksi Prisma, Jakarta; Tulisan Ini Disarikan dari Edisi Khusus Prisma, ”Soekarno”. (***)