Oleh : Yoseph Bruno Dasion SVD.
Tinggal di Nagoya, Jepang
“Gaji” itu apa,ya?
Kebanyakan orang berpikir bahwa yang namanya gaji itu adalah sesuatu yang otomatis didapatkan oleh mereka yang secara resmi diterima ke dalam sebuah lingkup pekerjaan. Maksudnya, kalau sudah lulus test dan diterima menjadi pegawai pada sebuah perusahaan maka terhitung sejak bulan pertama diterima, ia berhak mendapatkan gaji.
Pegawai atau pekerja tipe ini, tentu lebih banyak berpikir tentang tanggal terima gaji, dan akan secepat mungkin memeriksa rekeningnya. Apalagi, dewasa ini sudah bisa dicek on-line.
Orang lupa bahwa yang namanya GAJI itu adalah bentuk apresiasi terhadap etos dan prestasi kerja seseorang. Kalau etos kerjanya baik, ditambah prestasinya bagus karena memenuhi norma yang ditetapkan oleh perusahaan atau tempat dimana ia bekerja, maka dengan sendirinya gaji setimpal dianugerahkan. Kalau yang terjadi sebaliknya, maka gaji akan dipangkas disertai teguran keras.
Seorang saudara saya, Mikael Rajamuda Bataona, seorang intelektual yang berkarya sebagai seorang dosen di Kupang, pernah berbicara kepada salah satu Koran di NTT tentang gaji anggota DPRD, yang harus diberi selaras Kinerja.
Saya tidak membaca keseluruhan idenya yang ditulis di koran tersebut, tetapi ketika membaca judulnya, saya teringat akan sebuah kisah tentang gaji para dokter di China pada zaman dulu-dulu.
Menurut kisah itu, para dokter diberi gaji, bukan hanya karena ia melakukan rutinitasnya memeriksa kesehatan pasien dan memberi obat saja. Dokter baru di beri gaji kalau, dengan kegiatan pengobatannya, ia berhasil menyembuhkan penyakit pasien dan memulihkan kesehatannya sehingga bisa kembali hidup bersama keluarganya.
Sebaliknya, kalau pasiennya tidak sembuh dan sehat, maka dokter tidak diperkenankan mendapatkan gaji.
Pesan kisah tua ini kembali didengungkan oleh saudara saya MRB untuk semua kita yang hidup dari gaji hasil kerja kita.
Semoga kita merasa puas dengan gaji yang kita terima selaras kinerja kita masing-masing. (*)