Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo
JAKARTA – Pengadaan alutsista bagi TNI merupakan hal yang wajib dilakukan. Sebabnya, alutsista merupakan pendukung utama TNI dalam bertugas.
Namun, rupanya di balik pengadaan alutsista ada mafia bermain. Hal ini diamini oleh mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo.
Dalam sebuah tayangan, Gatot membongkar korupsi dan mafia alutsista. Dilansir dari channel Youtube Bang Arief, mantan Panglima TNI, Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo membenarkan penyataan Pengamat Militer dan Pertahanan, Connie Rahakundini yang menyebut adanya mafia alutsista.
“Masyarakat mendengar salah satu pengamat militer dari Unhan Ibu Connie mensinyalir adanya mafia alutsista, adanya tindak korupsi dalam pengadaan alutsista, rakyat jadi bertanya-tanya. Bapak melihatnya bagaimana?” tanya pemilik channel Youtube.
“Tidak bisa dipungkiri itu ada, cuma penanganannya. Jadi Bu Connie benar, ada semacam mafia itu benar. Tetapi ada contoh, jadi orang ngapain diperiksa-periksa juga toh enggak diapa-apain. Contohnya helikopter AW-101 yang sempat ribut itu kan, itu jelas sidang kabinet Angkatan Udara mengajukan pergantian helikopter VVIP, dipresentasikan akan mengeluarkan AW-101,” ungkap Jenderal Gatot.
Tiba-Tiba Datang
Jenderal Gatot menceritakan tentang awal mula kasus helikopter AW-101. Ternyata, presiden kala itu sudah memutuskan untuk tidak jadi membeli helikopter.
Menanggapi keputusan presiden, Jenderal Gatot lantas membuat surat yang menyatakan tidak melanjutkan rencana pembelian. Akan tetapi, tiba-tiba saja heli tersebut datang ke Indonesia.
“Saya ingat betul Pak JK mengatakan itu adalah heli bekas India kemudian mahal, akhirnya keputusan presiden tidak jadi beli. Tunda dulu tidak jadi beli,” ujar Jenderal Gatot.
“Dari hasil rapat saya membuat surat untuk tidak usah dilanjutkan rencana pembelian ini. Tiba-tiba ribut ada heli datang. Ribut di media segala macam,” sambungnya.
“Saya dipanggil presiden, Pak Panglima gimana itu heli. Saya katakan pak keputusan Bapak Presiden untuk tidak dilanjutkan, saya sudah membuat ke Angkatan Udara bahwa tidak lanjut tapi datang seperti ini,” imbuhnya.
Presiden Yakin Ada Korupsi
Mengetahui helikopter tersebut datang ke Indonesia, presiden lantas memanggil Jenderal Gatot. Presiden pun yakin ada korupsi di balik semua itu.
“Harusnya kan Panglima TNI yang mengajukan, ini tidak. Ada kemungkinan korupsi. Ada saya bilang. Berapa? Saya jawab minimal Rp150 miliar minimal pak,” kata Jenderal Gatot.
“Presiden jawab tidak, saya yakin lebih dari 200. Saya bercanda, saya kan bilang minimal pak, berarti lebih juga. Presiden bicara pasti di atas Rp200 miliar. Presiden yang bicara. Presiden jawab kerja terus. Siap laksanakan kerja terus,” sambungnya.
“Maka saya buatlah surat untuk buat tim investigasi dari Angkatan Udara sendiri. Kebetulan saya buat surat ke Kasau saya tunggu kurang lebih dua bulan, menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran apapun juga,” imbuhnya.
Bentuk Tim Investigasi
Jenderal Gatot lantas membentuk tim investigasi guna menyelidiki kasus dugaan korupsi tersebut. Ternyata, nilainya sampai Rp200 miliar.
“Presiden sudah tahu ada pelanggaran, bahkan ada korupsi sampai Rp200 miliar, maka saya sebagai Panglima TNI membentuklah tim investigasi yang dipimpin oleh Letjen Dodik waktu itu. Nah di situlah mulai terungkap sehingga ada lima tersangka dari Angkatan Udara, kemudian 1 dari sipil,” terangnya.
“Makanya kita kerjasama dengan KPK untuk saling kalau kita meriksa yang sipil KPK juga ikut hadir. Periksa yang TNI juga,” imbuhnya.
Jenderal Gatot pun mengungkapkan jika kasus tersebut hingga kini belum berlanjut. “Sampai sekarang enggak berlanjut. KPK saja belum jalan, TNI tinggal pemberkasan saja sudah siap. Yang saya heran, ini perintah presiden loh. Jadi bukan saya mencari-cari, tapi perintah presiden,” pungkasnya.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, kasus korupsi pengadaan Helikopter AgustaWestland (Heli AW-101) sempat menarik perhatian publik. Hal tersebut berawal dari Presiden Jokowi yang menolak pembelian Helikopter AW-101 sebagai pesawat kepresidenan pada 3 Desember 2015.
Akan tetapi, tiba-tiba saja heli tersebut datang ke Halim. Aroma dugaan korupsi pun makin menguat.
Mantan Panglima TNI, Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo kala itu bercerita, jika pada 19 Juli 2016, Mabes Angkatan Udara (AU) menekan kontrak kerjasama dengan PT Diratama Jaya Mandiri.
Gatot mengatakan, jika pada 14 September 2016, ia menyurati Kasau untuk membatalkan pembelian Helikopter AW-101. Akan tetapi, karena kontrak sudah ditekan, pembelian pun tetap dilakukan.
Kemudian pada 29 Desember 2016, Gatot membuat surat perintah tentang tim investigasi pengadaan Heli AW-101. Proses investigasi awal diserahkan pada Kasau pada bulan Januari 2017. Kasau lalu menyerahkan hasil investigasi ke Gatot pada Februari 2017. Gatot kemudian memutuskan bekerjasama dengan Polri, BPK, PPATK dan KPK untuk investigasi.
Dalam menangani kasus tersebut, KPK bekerja sama dengan Pusat Polisi Militer (POM) TNI. POM TNI menetapkan lima tersangka yaitu Marsma TNI FA yang bertugas pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa; kedua Letkol WW (sebagai pejabat pemegang kas) dan tersangka ketiga adalah Pelda SS yang diduga menyalurkan dana-dana terkait pengadaan ke pihak-pihak tertentu. Keempat Kolonel FTS, dan Marsda SB.
KPK juga menetapkan satu orang yaitu pemilik PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh. Dalam proses lelang proyek itu, Irfan diduga mengikutsertakan dua perusahaan miliknya yaitu PT Diratama Jaya Mandiri dan PT Karya Cipta Gemilang. Hal tersebut terjadi pada April 2016.
Akibat kasus korupsi tersebut, ditemukan potensi kerugian negara sekitar Rp220 miliar. (merdeka.com)