Heboh Corona, DBD di Depan Mata

oleh -17 Dilihat

Oleh : Wisnu Widya Asmara, SST
Statistisi Ahli Pertama BPS Kabupaten Flores Timur

HIRUK pikuk mengenai virus corona masih menjadi topik hangat dalam setiap perbincangan di negeri ini. Beragam informasi mengenai corona dapat dengan mudah kita temui di berbagai media mulai dari televisi, surat kabar, tidak terkecuali melalui media sosial. Informasi yang beredar berasal dari berbagai kalangan baik dari ahli, praktisi ataupun orang awam yang ikut menyebarkan informasi bermodal kekhawatiran. Sehingga, masyarakat kesulitan memilah mana informasi yang benar, serta layak diterima dan sebarkan. Akhirnya bukan malah menghadapi situasi dengan tenang namun kepanikanlah yang terjadi.

Adanya virus corona atau COVID-19 ini memang perlu membuat kita waspada. Terutama karena penyebarannya yang cepat dan tak terlihat membuatnya sulit untuk dihambat. Berbagai kebijakan telah dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah untuk meminimalisasi resiko meluasnya virus ini di tengah masyarakat.

Saat publik ramai dengan perbincangan mengenai virus corona, terdapat virus lain yang mewabah di berbagai daerah bahkan telah memakan korban jiwa sebelum corona tiba. Virus ini adalah virus dengue yang menyebabkan penyakit demam berdarah dengue (DBD). Virus ini masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albocpictus, yang hidup mendiami wilayah tropis dan subtropis. Nyamuk ini aktif pada siang hari, menularkan virus melalui gigitan pada orang yang terinfeksi ke orang yang sehat pada gigitan berikutnya. Anak-anak lebih rentan terinfeksi virus ini, namun pada umumnya semua usia bisa terkena.

Menurut data dari Kementrian Kesehatan per 15 Maret 2020, terdapat total 25.693 kasus DBD di seluruh wilayah Indonesia. Dari total kasus tersebut, dinyatakan 164 orang meninggal dunia. Daerah dengan jumlah kematian tertinggi adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang kehilangan sebanyak 39 jiwa dari total 3.407 kasus DBD.

Kabupaten Sikka, merupakan kabupaten dengan jumlah kasus DBD terbanyak di NTT. Setidaknya terdapat 1.292 kasus atau sekitar 38 persen kasus DBD di NTT terjadi di wilayah ini. Dari total kasus tersebut, dinyatakan 14 orang meninggal dunia. Tingginya kasus di wilayah tersebut memaksa pemerintah setempat menetapkan status kejadian luar biasa (KLB). Masyarakat mulai menderita DBD sejak Januari 2020. Selain Sikka, Kota Kupang dan Kabupaten Belu adalah daerah dengan kasus terbanyak di NTT dengan masing-masing daerah tercatat sebanyak 470 dan 318 kasus.

Provinsi NTT adalah daerah yang setiap tahun mengalami wabah DBD. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), dalam periode tahun 2014-2018 terdapat lebih dari 500 kasus DBD setiap tahunnya. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah daerah untuk meminimalisasi kasus serta mencegah adanya korban jiwa, terutama pada saat seperti ini ketika peralihan musim dari kemarau menuju penghujan.

Sama seperti corona, hingga saat ini belum ditemukan obat untuk membunuh virus penyebab penyakit DBD ini. Vaksin yang dapat digunakan untuk mencegah penularannya pun juga belum ada. Satu-satunya cara agar kita terhindar dari penyakit ini adalah dengan melakukan pencegahan agar tidak terjangkit oleh penyakit mematikan ini. Selain itu, penyebarluasan informasi mengenai penyakit ini juga harus digalakkan pada setiap lapisan masyarakat agar mereka dapat mengambil tindakan sesegera mungkin untuk meminimalisasi penularan.

Mengutip pernyataan Direktur Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kemenkes, Siti Nadia Tarmidzi dalam wawancaranya dengan Antara, Selasa (10/3) mengatakan bahwa ada beberapa sebab suatu daerah dapat menjadi daerah endemi DBD terutama wilayah seperti di Sikka Provinsi NTT.

Pertama, karena wilayah tersebut kesulitan air, sehingga masyarakat cenderung mengambil air dan menampung air disekitar rumahnya. Kondisi geografis tentunya mempengaruhi perilaku masyarakat di wilayah tersebut. Padahal, air tergenang adalah tempat dari nyamuk pembawa virus dengue ini berkembangbiak. Untuk mencegah bertambahnya jumlah nyamuk penyebar virus, peran serta masyarakat sangatlah penting. Dengan melakukan kegiatan 3M (Menguras, Menutup dan Mengubur) secara berkesinambungan, sehingga tidak memberi kesempatan pada nyamuk berkembangbiak.

Penyebab kedua adalah minimnya pengelolaan sampah yang tepat. Penggunaan barang yang tak dapat diuraikan secara biologi seperti plastik yang sangat tinggi, menyebabkan plastik menjadi komposisi sampah yang cukup tinggi dan berpotensi menjadi penampung air saat musim hujan. Lagi-lagi bertambah tempat perkembangbiakan nyamuk.

Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat telah menyatakan perang terhadap penggunaan sampah plastik sejak tahun 2019. Kepala daerah di berbagai kabupaten juga meminimalisasi sampah plastik dengan tidak menggunakan barang berbahan plastik di setiap kegiatan daerah. Oleh karena itu, masyarakat juga diharapkan semakin sadar akan bahaya dari penggunaan barang berbahan plastik.

Penyebab terakhir adalah alasan yang sering terjadi di daerah khususnya daerah dengan fasilitas kesehatan terbatas, yaitu terlambat memeriksakan ke rumah sakit. Selain karena jarak rumah sakit atau fasilitas kesehatan lain yang jauh, sarana transportasi di beberapa wilayah terutama perdesaan masih menjadi alasan beberapa penduduk untuk tidak berobat jalan memeriksakan dirinya ke fasilitas kesehatan.

Menurut data BPS tahun 2018, alasan utama penduduk tidak berobat jalan adalah mengobati sendiri (84,28 persen) dan merasa tidak perlu (13 persen). Sementara alasan tidak adanya biaya dan alat transportasi sebesar 1,98 persen sedangkan 2,5 persen karena alasan lainnya. Sebagian besar masyarakat memilih untuk mengobati sendiri menggunakan obat-obatan herbal ataupun generik yang tersedia di lingkungan sekitar, saat kondisi parah baru dirujuk ke rumah sakit. Permasalahanya adalah ketika penduduk dalam jumlah masif dan kondisi kritis, kapasitas fasilitas kesehatan yang ada tidak dapat menangani kasus secara bersamaan. Meskipun hampir di setiap kecamatan di Provinsi NTT telah terdapat puskesmas, namun fasilitas penanganan untuk kasus DBD tidaklah sama.

Sudah saatnya kita terlepas dari penyakit endemi ini. Perlu upaya dan kesadaran bersama dari berbagai pihak untuk mewujudkannya. Pemerintah selain menghimbau masyarakat, juga harus tanggap dalam melakukan penanganan dan pencegahan. Mengoptimalkan peran penyuluh kesehatan di setiap kecamatan wajib dilakukan agar masyarakat semakin sadar tentang pencegahan penularan. Masyarakat juga harus berperan menjaga kebersihan lingkungan sekitar, dengan melaksanakan program 3M secara berkelanjutan. Masyarakat juga harus paham meskipun anak-anak lebih rentan terkena DBD, namun penyakit ini dapat menyerang siapa saja.

Oleh karena itu, bila muncul gejala terkena DBD seperti mengalami demam selama 5-7 hari dan suhu tubuh naik-turun maka segeralah memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan terdekat agar segera diberi penanganan yang tepat. (***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *