Oleh Charles Beraf, SVD
PADA malam 13 November 2024, saya diajak saudara-saudara pengungsi untuk bermalam, tidur bersama mereka di Posko Waidang, Desa Tenawahang, Flores Timur. Karena hari memang sudah malam, dan jalan pulang ke Maumere memang tak mudah. Ini pengalaman pertama: tidur bersama para pengungsi di lantai beralas tikar sederhana. Ya, jauh sekali berbeda dari kamar punyaku di Detukeli, jauh sekali dari kesan ‘wow’ serupa kesan saya ketika menginap di hotel-hotel berbintang ketika menjadi narasumber dalam seminar-seminar berkelas nasional dan internasional.
Kesahajaan semacam itu, apalagi di kala bencana, tidak hanya menarik perhatian saya, tetapi juga menggugat kesadaran saya untuk melihat bahwa sesuatu yang berbeda dan yang jauh dari kenyamanan berdaya mengajarkan saya betapa pentingnya mengalami, merasakan, dan menghayati solidaritas yang berakar pada kenyataan hidup. Ya, kenyataan hidup para korban. Kalau kaki para murid saja bisa dibasuh Sang Guru, ya kenapa saya tidak bisa merunduk ke bawah, membuka selubung kenyamanan dan berani untuk ‘tidak nyaman’?
Tapi lebih dari itu, pengalaman ada bersama para pengungsi bisa memberikan insight tentang keberanian untuk menerima kenyataan yang tidak rutin sebagai hal yang harus dan siap dilalui. Menerima bahwa kenyamanan itu sedang bertukar menjadi ketidaknyamanan, yang terbangun berubah menjadi yang berantakan, yang terlokasi bertahun-tahun menjadi yang direlokasi, yang serba punya menjadi orang yang kehilangan. Di balik keberanian untuk menerima pengalaman tak rutin, pasti ada secercah harapan untuk bangkit. Ya, itu, saya kira, menjadi alasan mengapa Moses terus-menerus meyakinkan orang- orang Israel untuk keluar dari Mesir, dan bahwa Tuhan sedang di depan menuntun mereka.
Ya, tapi Lembah Hokeng memang bukan Mesir. Hokeng adalah aroma kopi. Hokeng adalah adpukat. Hokeng adalah Sesado dengan saudara lamanya Gelekat Lewo. Hokeng adalah mama suster SSpS yang berjalan dengan satu demi satu tapak, tersenyum dan menyapa ramah. Hokeng adalah Katakombe. Hokeng adalah sejarah yang dirajut bertahun dan berabad, dan akhirnya terus dikenang dengan rindu menggebu. Duang Bawalatang, Boru Klobong, Kampung Baru Padang Pasir, Wolorona Klatanlo, Goliriang, dan seterusnya. Ya, setiap kali ke Larantuka atau ke Maumere, saya harus mampir di Hokeng: tidur berhari-hari sampai saya merasa benar-benar purna baru berangkat. Ya, serupa menyeruput energi sebelum ke medan laga. Itulah Hokeng.
Tapi Hokeng barangkali dalam arti tertentu sudah lama dan sedang jadi Mesir, ketika hutan di lereng sejoli Lewotobi sudah disulap jadi mamon; ketika orang tak lagi tahu mana tembok batas antara Puka dan Beraf, Tobi dan Lajar; ketika orang tak tahu lagi mana tembok biara mama suster dan dinding Sesabanu. Ya, Hokeng akhirnya benar-benar menjadi Mesir dalam abu vulkanik yang tak biasa, dalam batu gunung bak bola api, dalam gemuruh lelaki Lewotobi, dalam kematian yang menyeramkan, dalam pelarian dan pengungsian yang memaksa.
Dan malam ini, 13 November 2024, saya mengalami bagaimana rasanya Mesir dengan saudara-saudara di Posko Pengungsian. Tidur bersama mereka, dan bersama mereka pula berharap Laut Teberau terbelah dan mereka boleh sampai ke Kanaan. Kadang dalam celetuk kecil, mereka bilang rindu Hokeng. Tapi saya melewatkan malam bersama mereka sambil meyakinkan mereka bahwa sudah tak ada lagi jalan pulang ke Mesir, pulang ke Hokeng. Hokeng sudah jadi kenangan. Hokeng adalah masa lalu. Sakit memang, tapi mau bagaimana lagi. Biarlah sekarang kita mengalami untuk sementara waktu ini Manna dari saudara-saudara kita dari pelbagai daerah, yang datang dengan simpati yang amat kental, yang mengajarkan dan mengingatkan kita bahwa Hokeng memang dulu serupa ini, tanah yang penuh dengan cinta, dengan keramahan, dengan solidaritas tumpah ruah.
Ya, kita diingatkan, agar suatu waktu ketika secercah itu datang, kita bisa merajut Hokeng Baru. Bukan Mesir, tapi Hokeng Baru. Kami melewatkan malam ini bersama di Posko Pengungsian Waidang, dan pagi nanti, kami berharap gemuruh Lewotobi berakhir sudah, dan secercah sinar harapan datang.
Hokeng memang bikin rindu. Ya, rindu, saya rindu sekali! Tapi sudah tak ada jalan pulang. Abu dan batu gunung bak tembok, yang selalu mengatakan “di sini bukan tempatmu lagi”. Selamat tinggal aroma kopi. Semoga kami sampai ke Kanaan. (*)
Posko Pengungsian Waidang, 23 November 2024