Oleh Frans Sarong
Pensiunan Wartawan Kompas/Wakil Ketua Golkar NTT
KAWASAN Besipae di Amanuban, bagian selatan TTS, pernah menjadi sumber lauk nila bagi masyarakat sekitarnya. Menariknya, jenis ikan air tawar itu justru dihasilkan dari kawasan yang sejak turun temurun kering, gersang dan tentu saja miskin air. Namun budidaya nila sempat tumbuh di sana berkat teknologi danau buatan dari hasil kerja sama Pemerintah Australia dan Pemerintah Indonesia, sekitar 35 tahun lalu.
Sayang, Besipae yang sempat jadi kebanggaan NTT, sepenuhnya sudah terkubur dan hanya menjadi kisah masa lalu. Besipae belakangan kembali menjelma seakan menjadi kawasan liar. Namanya kini bahkan tiba tiba kembali mencuat. Bukan karena mimpi awal menjadi contoh kawasan pertanian terpadu, kian nyata. Pemicunya justru sebuah konflik yang terjadi di lokasi, Senin (17/2/2020).
Sumbernya dari tindakan penertiban kawasan oleh Pemda NTT. Penertiban oleh petugas Satpol PP NTT yang juga dikawal aparat polisi dan tentara dari Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), mendapat penentangan keras dari kelompok warga yang belakangan menempati dan mengaku sebagai pemilik Besipae. Penentangan warga antara lain diwarnai aksi nekat sejumlah ibu yang rela bertelanjang dada menghadang aparat.
Sempat Mekar
Konflik itu seakan menyegarkan ingatan tentang Besipae 35 tahun lalu. Terletak sekitar 90 km sebelah timur Kota Kupang, Besipae sebenarnya pernah mengembuskan kesejahteraan menjajikan bagi masyarakat sekitar. Setidaknya bagi warga empat desa dalam cakupannya. Ke-empat desa dimaksud adalah Linamnutu, Mio, Pollo dan Oe Ekam.
Betapa tidak! Besipae hingga awal tahun 1985 pernah menjelma menjadi kawasan pertanian terpadu. Tak hanya pernah berwujud sebagai padang penggembalaan sapi dengan stok pakan ‘sehat’ dan tersedia. Besipae juga pernah menjadi kawasan contoh usaha pertanian dalam arti luas.
Dalam kawasan yang sama, ada model usaha tanaman pangan. Juga usaha peternakan yang berpadu dengan usaha perkebunan, penghijauan dan bahkan perikanan air tawar dari belasan (14) danau buatan.
Sedikit tentang tekonologi danau buatan yang sempat hadir di Besipae. Bangunan sepenuhnya dari tanah lumpur jenis bobonaro clay. Jenis lumpur itu diketahui tidak menyerap air hingga air tampungan dalam waduk hanya akan menyusut akibat penguapan atau untuk kebutuhan air minum di rumah dan minuman ternak.
Seperti pernah disaksikan sekitar Januari 1985, tidak sedikit masyarakat sekitar bahkan sudah sempat menikmati lauk ikan air tawar dari danau buatan dalam kawasan Besipae. Warga juga tidak lagi harus pergi jauh untuk kebutuhan air minum. Kebutuhan dasar itu terpenuhi dari danau buatan tersebut. Air dan pakan untuk ternak pun tersedia langsung dalam kawasan (Kompas, Kamis, 17 Januari 1985).
Besipae yang sempat berubah menjadi percontohan pertanian terpadu sekitar 35 tahun lalu, adalah buah kerja sama Pemerintah Indonesia dan Australia. Sejak dimulai tahun 1981/1982, managemen pengelolaan proyek dipercayakan kepada Pemerintah Australia hingga diserahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Indonesia tahun 1986.
Menurut catatan, proyek kerja sama Indonesia – Australia ketika itu menghabiskan biaya lebih Rp 7 miliar. Biaya itu masing masing dari bantuan Australia Rp 5,7 miliar dan dana pendampingan dari Pemerintah Indonesia senilai Rp 1,370 miliar.
Runyam
Sayang! Belakangan, pengelolaan proyek secara perlahan mengalami kemunduran hingga tidak terurus sama sekali. Itu terjadi setidaknya sejak pengelolaan Besipae sepenuhnya diserahkan kepada Pemerintah Indonesia tahun 1986.
Yang disaksikan kini nyaris tak berbekas. Belasan danau buatan lepas dari perawatan dan pengamanan seharusnya. Akibatnya, pendangkalan hingga mengering menjadi tidak terhindarkan karena kawanan sapi langsung merobos masuk. Usaha tanaman pangan pun lenyap. Begitu juga areal penghijauan dan padang penggembalaan telah berubah menjadi kawasan terbuka dan liar. Kondisi kawasan bertambah runyam menyusul penyerobotan oleh puluhan keluarga warga sekitar yang mengaku sebagai pemilik kawasan.
Berharap Tidak Dibelokkan
Merujuk berbagai catatan, tindakan penertiban yang dilakukan Pemerintah NTT sangat beralasan karena kawasan Besipae telah menjadi aset pemerintah. Meski begitu, tindakan penertiban agar secara bijak mempertimbangkan kelangsungan hidup keluarga “penyerobot”. Jika mereka dievakuasi, harus dengan jaminan berupa ketersediaan tempat tinggal ditambah lahan kebun berstatus jelas.
Saat bersamaan pula, pengelolaan Besipae agar tidak malah melenceng ke arah lain. Besipae diharapkan kembali menjadi kawasan percontohan pertanian terpadu sesuai konsep awalnya.
Salah satu mimpinya, belasan danau buatan kembali hadir di Besipae. Selain diandalkan sebagai sumber air untuk warga dan ternak, juga sumber lauk nila seperti pernah dinikmati sekitar 35 tahun silam. (***)