(Mengurut Kecelakaan Lalulintas di Lamalera)
Oleh Yoseph Bruno Dasion SVD
Misionaris SVD, Nagoya, Jepang
1. Manusia yang Berpikir, Manusia yang Merasa
“JAMAN berubah dan kita pun turut berubah di dalamnya,” demikianlah seuntai sabda masa lalu yang masih tetap dinikmati sebagai kebenaran saat ini. Manusia itu bukan patung tak bernyawa, manusia memang tidak boleh permisif pada kondisi hidup terberi.
Meskipun batok kepalanya memang tidak kelewat besar menyaingi binatang serumpun lainnya seperti gorila, orangutan dan simpanse, tetapi menjadi singgasana bagi gumpalan lemak bernama otak dengan “kekuatan berpikir” dahsyat, sehingga memungkinkannya mengubah dunia, menata dan menjadikannya lebih layak-hidup, melalui berbagai pencapaian ilmu dan teknologi rakitannya.
Pada tataran otak dan daya berpikir, menurut Tetsuro Matsuzawa, seorang penelitih-ahli human genome pada Universitas Kyoto di Jepang, yang pertama kali mengadakan penelitian membandingkan daya berpikir (intelligence) manusia dan simpanse, menemukan dua hal dasar berikut.
Pertama, jaringan basis DNA keduanya memiliki kesamaan 98.8 persen. Jadi beda hanya sekitar 1.2 persen. Dalam perjalanan evolusi, diperkirakan dua bersaudara serumpun, manusia dan simpanse, berpisah dan manjadi mandiri sekitar 5 juta hingga 7 juta tahun silam.
Kedua, oleh kesamaan jaringan DNA ini, simpaji juga memiliki kemampuan berpikir (intelligence), termasuk daya kognitif, daya meniru dan daya ingat. Oleh karena itu, seperti manusia, ia mampu menggunakan peralatan tertentu untuk mencapai tujuaannya (homo faber). Antara lain, menggunakan ranting pohon untuk mengorek madu dari dalam lobang kayu atau tanah, menggunakan batu untuk memecahkan cangkang (kulit) buah yang keras. Meskipun ada kedekatan DNA, tetapi hasil penelitian mengunggulkan manusia sebagai mahkota segala ciptaan.
Kajian ilmiah ini mengunggulkan manusia dari sisi kesanggupan ber-“etika” (moral) manusia, yang mampu menggandeng daya berpikir (kekuatan sinergis lemak dan sel-sel otak) dan daya kebijaksanaan (wisdom), sebagai buah dari kerja hati dan jiwa manusia.
Kesanggupan etis-moral inilah yang menyanggupkan manusia untuk selalu berpikir, bersikap dan bertindak dalam konteks “keterhubungan sosial,” dimana manusia selalu saja meletakkan semua pikiran dan tindakannya dalam korelasi dengan lingkungan dan orang lain. Dari aspek etika atau moral, manusia selalu mendahulukan pertimbangan sebelum melakukan kegiatan hidupnya. Bahwa apapun yang dilakukannya, akan selalu punya dampak terhadap kehidupan pihak terkait lainnya. Entah baik, entah buruk.
2. Bisnis yang manusiawi dan beretika
Kembali kepada judul tulisan di atas. Beberapa waktu lalu, terjadi kecelakaan lalulintas di kampung saya, dimana sebuah truk kecil (pick-up), terjungkal jatuh ke jurang dalam perjalanan menghantar para penumpang kembali dari pasar barter Wulandoni, menyebabkan seorang saudari kami meninggal di tempat dan penumpang lain mengalami luka fisik maupun luka batin (trauma). Sebuah peristiwa sedih, yang patut disesalkan, karena menurut saya, kecelakaan seperti ini seharusnya bisa dielak kalau manusia “berpikir dan bertindak etis.”
Menggunakan transportasi jaman-now, adalah bagian dari perubahan yang kita nikmati di dalam perubahan waktu dan jaman. Perubahan ini tentu sangat membantu masyarakat, agar mereka bisa dengan cepat dan mudah menjalankan kegiatan barter. Namun apakah perubahan ini diterima dan dijalankan secara etis? Inilah sebuah pertanyaan yang harus kita simak bersama.
Secara prinsip, setiap bentuk kemajuan yang diraih, haruslah bermanfaat bagi manusia, yang menjadi seperti busana dan payung yang selalu mengayomi dan memberikan rasa aman. Dengan kata lain, kemajuan itu tidak boleh hanya menjadi “roti” yang mengenyangkan perut, tetapi juga “Sabda Allah” yang memberikan kepuasan jiwa yang memanusiakan manusia, agar menjadi lebih bermartabat.
Oleh karena itu, dalam setiap kegiatan, termasuk bisnis transportasi, manusia pelaku bisnis, dituntut untuk tetap menjadi manusia. Harus punya dasar pertimbangan yang cukup dalam melaksanakan sebuah kegiatan hidupnya. Manusia tidak boleh menunggang bisnis sebagai kendaraan untuk mencapai tujuan, yakni maraup kekayaan, dengan cara kebinatangan, yakni menghalalkan cara apapun, termasuk menjadi homo homini lupus.
Dalam kecelakaan lalulintas yang terjadi di Lamalera, ada beberapa pesan yang harus kita pelajari bersama (saya minta maaf, bukannya mau mempersalahkan semua yang sudah dan sedang berjasa memperlancar arus transportasi Lamalera-Wulandoni).
(1) Mempertimbangkan ukuran dan bobot kendaraan. Setiap kendaraan punya daya muat yang sudah terukur pasti dan hal itu harus ditaati. Karena, berat muatan yang lebih besar dari bobot kendaraan, dengan sendirinya akan menghambat gerak kendaraan, dan bahkan menjadi penyebab terjadinya kecelakaan lalulintas. Misalkan, bobot muatan adalah 100 kg, maka jumlah itu adalah gabungan berat penumpang dan berat barangnya. Besar kemungkinan, kendaraan yang terjungkal ke jurang itu tersebab beban angkutan yang jauh melampaui standard (point ini masih perlu diklarifikasi lebih jauh).
(2). Bobot kendaraan, batas muatan, dan laju lari kendaraan punya kaitan erat dengan kondisi fisik jalan yang dilalui kendaraan. Para pemilik kendaraan harus mengingatkan para sopirnya untuk tahu menimbang kondisi jalan dan menyesuaikan kecepatan kendaraan dan bobot muatannya. Bobot muatan dan kecepatan yang melampaui standard bisa merusak jalan, khususnya jalan-jalan yang kondisinya tidak baik. Kendaraan dengan beban muatan yang over-berat akan menjadi beban yang tak terpikulkan dan bisa menjebol jalan tanah yang tidak berkualitas. Jadi perlu ada sikap yang arif dari para pengemudi untuk betul membaca kondisi jalan yang dilaluinya.
(3). Janganlah pemilik kendaraan dan sopir melihat penumpang hanya sebagai budak bisnisnya, yang membayarkan uang jasa transportasi. Dalam tatakrama bisnis, pelaku bisnis adalah pelayan, sedangkan konsumer atau pengguna jasa bisnis adalah tuan. Penumpang adalah manusia yang punya kewajiban membayar tuntutan biaya transportasi sekaligus adalah tuan, yang punya hak untuk dilayani secara bermartabat, termasuk hak menikmati kenyamanan dalam menggunakan angkutan umum.
Yang terbanyak kita alami, adalah para pemilik kendaraan dan sopir, atas nama keuntungan bisnis, menjejalkan penumpang bersama barang-barangnya tanpa tempat duduk yang memadai, ditambah lagi dengan laju kecepatan yang sangat tinggi yang menimbulkan rasa cemas, dan dung-dang musik-musik keras yang memekakan telinga. Hal-hal ini adalah bentuk kekerasan brutal dan biadab yang sangat menyiksa para pengguna jasa angkutan umum.
Harus diingat, bahwa musik-musik keras tak beraturan adalah polusi bunyi yang bisa juga dipersoalkan, karena merampas hak para pengguna jasa untuk menikmati rasa nyaman. Saya anjurkan agar para pengguna jasa (penumpang) harus bisa mulai berani “bersuara” untuk mendidik para pemilik kendaraan dan sopir yang tidak ramah-penumpang ini. Penumpang sudah bayar, malah diperlakukan seperti budak dan binatang, yang kapan saja boleh mati tak bersyarat, hanya karena kelalaian dan kebebalan para pebisnis.
3. Memisahkan urusan adat dan urusan hukum
Sesuai informasi yang saya terima, sopir pengemudi kendaraan sudah diamankan oleh pihak kepolisian untuk urusan hukumnya. Hal ini perlu diapresiasi, sebab ini adalah sebuah peristiwa lakalantas yang menyebabkan kematian dan cedera fisik dan mental banyak orang. Pihak pemilik kendaraan juga, katanya, sudah menyatakan maaf kepada keluarga yang berduka dan semua penumpang lain, dan menolak pungut biaya transportasi dari penumpang yang terdampak kecelakaan. Kehendak baik pemilik kendaraan ini perlu disalut, tetapi tidak boleh dijadikan alasan untuk mendiamkan persoalan ini hanya dalam ruang “urusan ke dalam secara kekeluargaan” saja.
Sebagai bentuk pendidikan bagi semua kita, masalah ini tetap harus diselesaikan secara hukum untuk bisa menegaskan tanggungjawab pemilik kendaraan dan sopir untuk lebih sadar dalam berbisnis, dan juga untuk tetap menyatakan tanggungjawabnya kepada keluarga yang anggotanya meninggal dan mereka yang terluka fisik dan mentalnya.
Menjunjung tinggi aturan adat lokal dalam penyelesaian semua persoalan sebagai saudara-saudari serumpun adalah sebuah kearifan lokal yang diwariskan oleh nenek moyang kita. Tetapi, sering terjadi pula, orang memanfaatkan tradisi ini untuk bermain-main dengan nyawa manusia. “Biar mati, tidak apa-apa. Tinggal saja kita potong binatang untuk urusan pemulihan secara adat.” Tidakkah, ada sementara orang berpikir gampang seperti ini?
Sudah saatnya, kita harus memilah, mana yang bisa diatur secara adat, mana yang harus ditangani hukum negara.
4. Kata akhir
Kita semua harus berjuang untuk memperbaiki dan memajukan budaya transportasi di wilayah kita. Perlu kita tumbuhkan kesadaran memelihara fisik jalan, kesadaran berbisnis yang manusiawi, urusan penanganan persoalan-persoalan lakalantas, termasuk jaminan sosial bagi para korban, baik yang mati maupun yang hidup. Tanpa kesadaran bersama untuk memperbaiki kondisi ini, lambat laun kita akan menyadari bahwa, kita bukanlah manusia yang menciptakan kemajuan, tetapi “simpanse” yang hanya bisa meniru kemajuan.
Berdoa untuk keselamatan jiwa saudari kami Maria Dai Hariona Krova, kesembuhan dan ketenangan batin bagi semua penumpang yang terluka fisik dan juga jiwa karena trauma kecelakaan. Bagi pemilik kendaraan dan sopir agar bisa belajar banyak dari peristiwa ini untuk merobah pola bisnis pelayanan, dan agar mereka juga diberi kekuatan untuk bertanggungjawab atas kecelakaan yang merenggut nyawa manusia. (***)