Jangan Ada Kudeta di Indonesia Kita

oleh -20 Dilihat

DEMOKRASI mensyaratkan sirkulasi kepemimpinan melalui pemilu transparan, jujur, dan adil. Demokrasi juga menjunjung tinggi supremasi sipil. Itu artinya sirkulasi kepemimpinan di negara demokratis mesti ditempuh melalui pemilu demi menghasilkan kepala negara dan kepala pemerintahan dari kalangan sipil.

Di negara demokratis, bila rakyat menganggap kepala negara dan kepala pemerintahan tidak kompeten dan atau kehilangan integritas, rakyat tak akan memilih dia atau orang dari partainya pada pemilu berikutnya, bukan dengan menggulingkannya melalui kudeta. Oleh karena itu, demokrasi menolak mentah-mentah kudeta yang biasanya dilakukan militer. Musababnya, selain tidak melalui pemilu demokratis, tetapi melalui kekerasan, kepala negara dan kepala pemerintahan yang tampil biasanya berasal dari militer, bukan sipil.

Kudeta di Turki akhir pekan lalu, meski gagal, semestinya menjadi pelajaran betapa penting memperkukuh demokrasi kita. Percobaan kudeta militer di Turki paling tidak memperlihatkan tiga hal.

Pertama, rapuhnya demokrasi di Turki. Institusionalisasi atau pelembagaan demokrasi belum berlangsung baik di negara tersebut. Itu menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia untuk menginstitusionalisasi, melembagakan, dan memapankan demokrasi. Terus terang, demokrasi presidensial kita masih belum mapan, masih bersifat kuasi presidensial, campur aduk antara sistem presidensial dan parlementer.

Kedua, masih berlangsungnya pertarungan ideologi di Turki, antara sekularisme yang mengklaim demokratis dan ideologi agama. Tentara yang mencoba kudeta menyatakan mereka berupaya mengambil alih kekuasaan untuk mengembalikan demokrasi di Turki.

Perkara kedua itu selayaknya juga menjadi pelajaran berharga bahwa kita mesti menjaga Pancasila yang telah kita sepakati sebagai ideologi negara. Kita tak boleh membuka ruang secuil pun bagi terjadinya upaya mengganti Pancasila dengan ideologi lain. Pancasila ialah ideologi demokratis dan bersifat final.

Ketiga, masih adanya kehendak tentara di Turki untuk berkuasa. Alasan kudeta diperbuat demi mengembalikan demokrasi di sana tidak bisa diterima. Mengembalikan demokrasi dengan cara-cara yang ademokratis bertentangan dengan nalar dan nurani.

Pun itu menjadi pelajaran berharga bagi bangsa ini jangan sampai TNI tergoda kembali ke kekuasaan seperti di zaman Orde Baru, apalagi berusaha merebutnya melalui kudeta. Alangkah bersyukurnya kita karena TNI menyadari betul bahwa satu-satunya tugas dan fungsi mereka ialah menjaga kedaulatan negara. TNI harus merawat kesadaran seperti itu demi mempertahankan supremasi sipil.

Indonesia dewasa ini berada dalam era yang dalam khazanah ilmu politik lazim disebut transisi menuju demokrasi (transition to democracy) atau transisi demokrasi (democratic transition). Berulang kali kita katakan dalam forum ini bahwa masa transisi sangat menentukan apakah Indonesia akan beranjak menjadi negara demokrasi sesungguhnya atau mundur menjadi negara otoriter, bahkan fasis.

Bila kita gagal menginstitusionalisasikan demokrasi, gagal mempertahankan supremasi sipil atau gagal menjaga ideologi Pancasila, diam-diam kudeta mengintai kita. Kudeta biasanya menghasilkan pemerintahan otoriter, bahkan fasis, dan itu merupakan kemunduran. Sebaliknya, bila kita berhasil melembagakan demokrasi, berhasil mempertahankan supremasi sipil, serta sukses menjaga ideologi Pancasila, kudeta tak akan terjadi, bahkan tak mampir di pikiran kita.

Pergantian kepemimpinan negara ini kita tempuh melalui pemilu demokratis. Itu menjadi pertanda bahwa kita beranjak maju menjadi negara demokrasi sesungguhnya. (mi/jdz)

Foto : Presiden Joko Widodo