JAKARTA – Situasi politik di penghujung 2016 sungguh mencemaskan. Intoleransi, radikalisme, terorisme, dan kehendak mengganti ideologi negara dengan ideologi lain benar-benar mengancam masa depan demokrasi kita.
Konsolidasi demokrasi jadi seperti macet. Lembaga-lembaga negara yang tidak memainkan peran mereka secara optimal menjadi pangkal penyebabnya. Birokrasi yang korup di lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif menjadi salah satu penyebab tidak berfungsinya lembaga-lembaga tersebut dalam melayani kepentingan publik. Ujung-ujungnya, sistem demokrasi presidensial yang kita bangun belum sepenuhnya berjalan. Kita baru tergolong sebagai negara kuasipresidensial.
Macetnya demokrasi diperparah oleh partai politik. Kita paham tidak ada demokrasi tanpa politik, dan tidak ada politik tanpa partai politik. Celakanya, partai politik cenderung lebih memainkan peran sektoral mereka, misalnya mendudukkan anggota mereka di lembaga-lembaga negara, ketimbang mementaskan peran kepublikan mereka. Alih-alih mengonsolidasikan demokrasi, parpol justru bisa membuyarkan demokrasi.
Tidak mengherankan bila kelompok-kelompok tertentu lantas mengambil alih peran lembaga-lembaga negara dan partai politik. Kelompok-kelompok ini menjadi tumpuan aspirasi publik. Seolah hendak menyalurkan aspirasi publik, mereka menekan negara untuk memenuhi apa yang mereka kehendaki.
Rule of law juga masih menjadi hambatan dalam mengonsolidasikan demokrasi. Penegakan hukum kita antara lain masih diwarnai ketundukan pada tekanan massa yang dipelopori kelompok-kelompok intoleran. Penetapan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama sebagai tersangka dan kini terdakwa menjadi bukti mutakhir paling gamblang.
Di sisi lain, ada kemajuan dalam penegakan hukum di negeri ini. Polri, misalnya, mulai berani menindak aksi intoleran, radikalisme, terorisme, serta upaya makar. Bila penegakan hukum semacam ini berlangsung konsisten, kita tidak ragu konsolidasi demokrasi dari sisi rule of law bakal sukses.
Peran kelompok-kelompok sipil atau civil society, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, belakangan kurang menonjol. Peran kepemimpinan umat yang sebelumnya dipegang kedua organisasi moderat itu kini seperti diambil kelompok-kelompok intoleran.
Dari sisi ekonomi, keadilan sosial masih menjadi persoalan dalam mengonsolidasikan demokrasi. Kita memilih demokrasi sebagai jalan untuk mencapai kemajuan ekonomi dan keadilan sosial. Bila demokrasi gagal mewujudkan keadilan sosial, boleh jadi orang tidak percaya lagi dengan demokrasi dan meninggalkannya.
Ketidakadilan sosial bisa dijadikan alasan bagi kelompok-kelompok tertentu untuk mengganti ideologi demokrasi dengan ideologi lain yang menurut mereka pasti dapat mewujudkan keadilan sosial. Itulah sebabnya masyarakat ekonomi atau economic society harus memperjuangkan keadilan sosial dan pemerataan ekonomi, bukan pertumbuhan ekonomi semata.
Sejak reformasi, kita secara sadar memutuskan demokrasi sebagai jalan untuk mencapai kemajuan bangsa. Sejak saat itu, kita berangsur-angsur menata demokrasi kita. Kita sudah sampai pada point of no return, titik yang kita tidak boleh berbalik atau berpaling dari demokrasi.
Namun, lemahnya lembaga-lembaga politik, birokrasi, partai politik, penegakan hukum, masyarakat sipil, serta masyarakat ekonomi akan menjadi alasan bagi kelompok-kelompok tertentu untuk membajak demokrasi. Bila itu terjadi, demokrasi tak akan mengalami konsolidasi dan kita tidak akan pernah menjadi negara demokrasi sesungguhnya, bahkan akan menjadi negara gagal.
Agar kita menjadi negara demokrasi sepenuh-penuhnya, tiada pilihan lain kecuali lembaga politik beserta birokrasinya, partai politik, penegakan hukum, masyarakat politik, dan masyarakat ekonomi menjalankan fungsi mereka secara konsisten demi konsolidasi demokrasi. Awal 2017 semestinya menjadi momentum bagi kita untuk bekerja bersama-sama mengonsolidasikan demokrasi. Dengan melakukan itu, kita tidak membiarkan demokrasi dibajak. (miol/jdz)
Foto : Ilustrasi