TAPANULI – Presiden Joko Widodo kembali menggaungkan potensi ancaman kebinekaan bangsa Indonesia. Jokowi meminta pemisahan urusan politik dengan agama. Jika urusan agama diintervensi politik, hal itu berpotensi mengancam keberagaman.
Pernyataan Jokowi itu menanggapi dinamika pilkada sebagai kontestasi demokrasi lima tahunan.
“Jangan mencampuradukkan agama dan politik. Dipisah betul agar rakyat tahu mana (urusan) agama, mana yang politik,” ujar Presiden saat meresmikan Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Kecamatan Barus, Tapanuli Tengah, Sumatra Utara, kemarin.
Presiden ketujuh RI itu menilai, bila urusan agama dan politik disatukan dalam pilkada, itu bakal menimbulkan daya rusak pada masyarakat.
“Banyak gesekan kecil karena pilgub (gubernur), pilbub (bupati). Ini yang harus kita hindarkan,” tegasnya.
Jokowi berpesan agar tidak terjadi gesekan antarsuku karena Indonesia memiliki banyak agama, banyak suku, dan bahasa lokal yang mencapai 1.100 bahasa.
“Saya hanya ingin titip ini mumpung pas di Sumatra Utara, ingin mengingatkan semuanya bahwa bangsa kita terdiri dari bermacam-macam suku dan agama, bermacam-macam ras,” ungkapnya.
Presiden menyebut di Indonesia ada 714 suku. Hal itu berbeda dengan negara lain yang paling hanya punya satu, dua, hingga tiga suku.
Presiden meminta peran para ulama untuk mengingatkan umat agar merawat keberagaman yang dimiliki bangsa, bukan justru memicu pertikaian. Menurutnya, keberagaman yang dimiliki Indonesia merupakan potensi bangsa. “Ini ada sebuah kekuatan besar,” pungkasnya.
Pada kesempatan itu, Jokowi mengunjungi objek wisata religi Permakaman Mahligai Barus, di Desa Sihorbo, Tapanuli Tengah
Kehidupan bernegara
Terpisah, Rais Syuriah PBNU KH Masdar Mas’udi menegaskan kehidupan bernegara harus bebas dari kepentingan agama tertentu, sebab kehidupan bernegara merupakan milik semua warga negara tanpa memandang suku, agama, atau ras.
Hal itu dikatakan Masdar dalam diskusi bertajuk Mencari Pemimpin Berintegritas: Kegembiraan Vs Kepalsuan di Jakarta, kemarin. “Tidak bisa negara itu dikaveling keyakinan agama atau suku tertentu,” ujar Masdar.
Begitu juga dalam kepemimpinan, Masdar berpendapat tidak boleh ada kepemimpinan yang berafiliasi kepada agama tertentu, sebab tugas pemimpin dalam bernegara ialah memberikan keadilan bagi semua rakyat.
“Kepemimpinan tugasnya menegakkan keadilan dan keadilan tidak boleh mendiskriminasi agama, suku, atau yang sifatnya primordial,” cetusnya.
Masdar menilai masyarakat salah mengartikan bahwa Islam harus merebut kekuasaan dan menjalankan kekuasaan dengan syariat-syariat Islam.
Padahal, menurutnya, Nabi Muhammad SAW tidak pernah memberikan perintah seperti itu.
Di tempat yang sama, pendiri Nation and Character Building Institute Juliaman Saragih menyebut ada kepentingan agama yang membuat pilkada DKI Jakarta penuh akan isu SARA.
“Rakyat pemilih terperangkap isu sekunder sehingga isu primer (program kandidat) tidak maju,” tukasnya.
Budayawan Mohamad Sobary mengimbau masyarakat jangan memilih pemimpin berdasarkan keindahan kata-kata yang diucapkan.
Pemilih, kata dia, harus memilih pemimpin yang berbudi bowo leksono atau pemimpin yang mempunyai ketulusan hati terhadap rakyatnya. (miol/jdz)
Ket Foto : Presiden Jokowi ketika meresmikan Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Kecamatan Barus, Tapanuli Tengah, Sumatra Utara, kemarin.