JAKARTA – Teror selalu membawa pesan yang sama, yakni menebar ketakutan dan mengoyak moyak kebersamaan. Karena itu, semakin luas rasa ketakutan dirasakan dan semakin centang perenang solidaritas antarsesama, kian berhasillah misi para teroris.
Seperti itu pula yang kini hendak disasar oleh penebar teror di saat sebagian besar anak bangsa ini tengah menikmati momentum kebersamaan melalui Lebaran. Aksi keji terorisme lewat bom bunuh diri yang meledak di Markas Kepolisian Resor Kota Surakarta, sehari menjelang Idul Fitri, Selasa (5/7) lalu, seperti sengaja menyasar ‘jantung’ kebersamaan dan simbol keamanan publik.
Betapa tidak. Setelah kaum muslim baru saja mensyukuri jatuhnya Hari Idul Fitri yang bersamaan tahun ini, bom bunuh diri diledakkan dengan misi hendak mengganti momentum kebersamaan itu dengan perasaan waswas dan curiga.
Bom yang diledakkan memang berdaya rendah, kendati tetap mematikan korban dan melukai polisi, tetapi gema ledakannya tetap saja tidak boleh dipandang enteng. Ia meneguhkan pernyataan berbagai kalangan bahwa sesungguhnya spiral kekerasan di Republik ini belum benar-benar padam.
Mereka para pemuja kekerasan dan perawat dendam itu tak akan pernah berhenti bergerak, lebih-lebih lagi jika kita lengah. Sumbu-sumbu kekerasan dan teror akan masih terus mereka ciptakan dan mereka rajut dengan eskalasi yang disesuaikan dengan keadaan.
Karena itu, sikap paling penting dalam menghadapi segala aksi teror dan kekerasan atas nama apa pun ialah dengan tidak henti-hentinya merekatkan kebersamaan dan memupuk solidaritas. Kita mengapresiasi kerja sama antara aparat dan masyarakat untuk bersama-sama menolak takluk terhadap teror dan kekerasan, seperti pula yang ditunjukkan seusai kejadian bom bunuh diri di Mapolresta Surakarta kali ini.
Kita juga mengapresiasi masyarakat yang tetap merajut kebersamaan melalui Lebaran, tanpa rasa takut akan teror sebagaimana yang dikehendaki oleh para penebar teror. Pesan-pesan perdamaian yang digaungkan baik oleh para tokoh bangsa, agamawan, hingga Presiden Joko Widodo memberi jawaban yang tegas bahwa persatuan dan kebersamaan bangsa ini tak mudah dikoyak.
Bagaimana pun aksi teror mencerminkan kemiskinan kehidupan keagamaan. Semangat ketuhanan dikembangkan tanpa keadaban nilai-nilai kasih sayang yang jadi kaidah emas semua agama.
Maka, wajar belaka bila setiap perusak kaidah emas keagamaan itu pasti akan menjadi musuh bersama agama. Terlebih lagi jika aksi itu dilakukan di saat perayaan hari besar keagamaan seperti saat akhir Ramadan dan menjelang Idul Fitri, kali ini. Ia merupakan bentuk paling nyata dari sebuah pengkhianatan akan nnilai-nilai penting keagamaan.
Tidak ada pilihan lain bagi segenap anak bangsa ini kecuali untuk terus merekatkan solidaritas dan kebersamaan kebangsaan, karena hal itulah yang mampu melawan segala bentuk ancaman. Bagi negara, aksi teror kali ini kian menegaskan bahwa perang melawan segala bentuk teror dan kekerasan masih jauh dari kata berhenti.
Karena itu, segala perangkat negara harus dimaksimalkan untuk mengikis habis aksi teror, bahkan sejak masih berbentuk embrio yang kecil. Tutup segala bentuk celah yang memungkinkan aksi teror itu muncul, termasuk dengan merevisi pasal-pasal dalam undang-undang antiterorisme yang boleh jadi masih menyisakan celah bagi melenggangnya aksi teror.
Cukup sudah para penebar ketakutan itu beraksi di negeri yang tengah berjuang merajut kebersamaan ini. (mi/jdz)
Foto : Polisi sedang mengolah TKP teror bom bunuh diri di Kota Solo.