ENORAEN – Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL) menegaskan, dalam mengurus masyarakat sesuai tagline NTT Bangkit NTT Sejahtera, harus bagi-bagi tugas dan peran, termasuk mengelola kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Pulau Menipo.
“Mari kita bagi tugas. Gubernur urus perbaiki jalan dan bendung air, sehingga tidak ada air yang ke laut. Pak Bupati urus kerahkan semua alat berat untuk mengolah lahan-lahan milik masyarakat, sehingga bisa ditanami sayuran dan buah-buahan; bila perlu segala bibit, pak Bupati siapkan untuk bagi ke masyarakat,” tandas Gubernur VBL saat bertatap muka dengan jemaat di Gereja Ebenhaeser, Desa Enoraen, Kecamatan Amarasi Timur, Kabupaten Kupang, Sabtu siang (16/11/2019).
Lantas apa tugas Camat dan Kepala Desa? Gubernur VBL mengatakan, tugas Camat dan Kades adalah menyelenggarakan festival tarian adat dan lomba fashion show tenun ikat asal NTT khususnya dari Amarasi. “Bapak Camat dan Bapa Kades..buat sudah…setiap Jumat dan Sabtu, gelar festival dan fashion show. Nanti saya datangkan pelatihnya. Kalau festival dan fashion show ini diselenggarakan dengan teratur maka kita nanti akan memiliki kalender event pariwisata,” jelas Gubernur VBL.
Sementara itu, saat meninjau Pulau Menipo, VBL yang didampingi Kepala BKSDA Provinsi NTT,Timbul Batubara, mengatakan, ke depan pihaknya akan membangun obyek pariwisata ini berkelas premium. Karena itu, kata Gubernur, infrastruktur disiapkan dengan baik; mind set atau cara berpikir masyarakat harus diubah agar pariwisata kita berbasis masyarakat.
“Kalau kita ke Skotlandia, di sana tidak ada hotel bintang empat atau bintang lima. Tapi wisatawan dapat menginap di rumah-rumah warga yang fasilitasnya setara dengan hotel berbintang. Itulah yang disebut dengan community based tourism atau pariwisata berbasis masyarakat,” sebut VBL, bersemangat.
Siapkan Narasi
Gubernur VBL juga meminta masyarakat untuk menyiapkan narasi yang baik agar dapat diketahui wisatawan yang datang berkunjung ke daerah ini. “Narasi disiapkan dengan baik, tariannya harus diceritakan arti dan makna nya sehingga semua orang dapat mengetahui dan menikmati apa yang disuguhkan,” kata Gubernur, termasuk narasi tentang Pulau Menipo.
Informasi yang diperoleh tentang legenda Pulau Menipo yakni Meni (nenek) dan Fon (bai) berasal dari suatu tempat yang bernama Naib Nunmanu di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Di suatu senja, Meni dan Fon duduk di depan rumah mereka sambil melihat ke arah matahari terbenam sembari berencana untuk pindah rumah dan membawa serta segala ternak milik mereka antara lain sapi dan kuda.
Tiba saatnya mereka bergegas untuk pindah ke Pulau Menipo; karena perjalanan yang jauh, mereka berdua istirahat di suatu tempat yang bernama Toikola; mereka memotong pohon gewang untuk membuat laru agar dapat diminum dan isi dari pohon tersebut dimanfaatkan untuk ternak mereka. Selanjutnya mereka berjalan dan tiba di suatu tempat yang bernama Boni, kebetulan tempat itu banyak air sehingga mereka beristirahat di situ untuk memberi minum kuda dan sapi.
Selanjutnya mereka berjalan menuju Pulau Menipo dengan membawa Fatum Tera atau batu duduk dan tiba di suatu tempat yang bernama Fefa Pur’ana atau muara pulau kecil dan mereka memilih untuk beristirahat selama seminggu.
Setelah tiba di Pulau Menipo mereka membuat rumah dan tinggal bersama ternak mereka. Kebetulan di Pulau Menipo terdapat banyak rusa.
Seiring berjalannya waktu, Meni dan Fon mempunyai tiga anak yakni dua anak laki-laki dan seorang perempuan. Suatu hari terjadi tsunami di pulau itu, sehingga mereka memutuskan untuk pindah dari Pulau Menipo. Mereka bergegas ke tempat yang bernama Nuat atau gua dan mereka tinggal bersama di situ. Karena faktor usia, Meni dan Fon akhirnya meninggal dunia dan dimakamkan di Nuat.
Setelah itu anak-anak mereka memutuskan untuk berpisah dan mencari tempat tinggal masing-masing dan hidup saling menyapa atau Mkoenomneu (selamat jalan atau jalan sudah).
Anak laki-laki yang pertama memilih untuk masuk ke air laut dan berubah menjadi buaya. Anak kedua memutuskan untuk pergi ke Kupang; ke tempat yang bernama Taimetan. Anak ketiga memutuskan untuk pergi ke arah matahari terbit yang bernama Sonbai; anak perempuan itulah yang menjaga kumbang air atau Kusi. Masyarakat percaya kalau tidak hujan mereka berdoa dan meminta kepada Kusi dan akhirnya hujan pun turun.
Legenda ini masih pro dan kontra di tengah masyarakat namun berkas-berkasnya sudah mulai ditorehkan dan seiring berjalannya waktu dan bergantinya generasi pasti akan didapat cerita tentang Pulau MeniFon yang sebenarnya. Karena mantan Kepala BKSDA Provinsi NTT itu pernah dijabat oleh orang Jawa, yang tidak bisa melafalkan suku kata Menifon dengan benar, maka sekarang pulau itu tertulis menjadi Pulau Menipo. Seharusnya, Menifon yang berasal dari Meni (nenek) dan Fon (bai). (hms/valeri)