Ketika Politisi Kehilangan Etika, Negara Tidak akan Maju

oleh -13 Dilihat

JAKARTA — Politisi sekarang jauh berbeda. Mengangkangi jabatan bukanlah sesuatu yang memalukan.

Budaya terbentuk oleh tingkah laku. Begitu pula budaya yang tidak menghargai etika politik terbentuk karena tingkah laku para politisi. Sekarang ini, para politisi Indonesia tidak lagi menghargai etika politik. Padahal dulu, para politisi Indonesia sangat menghargai etika.

Etika memang bukan aturan tertulis. Artinya, untuk menjalankan etika, seorang politisi dituntut kebesaran jiwa. Salah satu, etika berpolitik adalah tahu kapan harus mengundurkan diri dari jabatan.

Lihat saja, ketika Bung Hatta sudah merasa tidak sejalan dengan Bung Karno, dia langsung mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Meskipun sudah di luar pemerintahan, tidak terbersit keinginan Bung Hatta untuk merongrong pemerintahan Bung Karno. Bahkan, secara pribadi hubungan mereka tetap akrab.

Bung Karno juga begitu, ketika dia dikudeta secara halus oleh pemerintahan Soeharto. Bung Karno tidak pernah berusaha untuk membangun kekuatan untuk melawan pemerintahan Orde Baru. Padahal, kalau Bung Karno mau tidak akan mudah Soeharto melengserkannya, karena basis kekuatannya masih besar.

Sejalan dengan Bung Karno, Soeharto walau pemerintahannya militeristik, tapi ketika merasa rakyat sudah tidak lagi menginginkan dia untuk menjadi presiden, dia mengundurkan diri. Padahal, bisa saja Soeharto terus berupaya untuk mempertahankan kekuasannya, karena kekuatan militer masih di bawah kendalinya.

Politisi sekarang jauh berbeda. Mengangkangi jabatan bukanlah sesuatu yang memalukan. Lihat saja kelakuan Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Meskipun sudah menjadi menteri, tapi sampai sekarang mereka berdua masih terdaftar sebagai anggota DPR. Partai mereka PDI-P sebenarnya bukan tidak pernah mencopot keanggotaan kadernya di DPR. Contohnya, Adriansyah setelah dijadikan tersangka oleh KPK dalam operasi tangkap tangan di kongres PDI-P di Bali, dicopot keanggotaanya di DPR.

Kita bisa juga lihat bagaimana politisi tak lagi menghargai etika ketika beberapa pimpinan DPR hadir dalam konferensi pers bakal calon presiden dari Partai Republik, Donald Trump. Padahal, kunjungan kerja beberapa pimpinan dan anggota DPR itu dalam rangka pertemuan antarparlemen berbagai negara. Tapi, kok bisa-bisanya datang dalam acara Donald Trump.

Buruknya etika politisi juga bisa dilihat dari ketidakkompakan antarmenteri di Kabinet Kerja Jokowi. Saling menjelekkan seperti menjadi suatu kelaziman. Mereka tidak peduli bahwa kekompakan antar menteri dibutuhkan ketika negara sedang mengalami masalah seperti ini.

Dilupakannya etika berpolitik juga dialami salah satu partai oposisi, Partai Amanat Nasional (PAN). Jelas-jelas, sang Ketua Umum, Zulkifli Hasan menjadi Ketua MPR karena Koalisi Merah Putih. Karena, ingin mengejar jabatan di eksekutif, PAN beralih menjadi partai pendukung pemerintah.

Bila para politisi terus-menerus melupakan etika berpolitik, kepercayaan masyarakat terhadap mereka akan semakin memudar. Bisa dibayangkan bila rakyat sudah tidak lagi mempercayai para pemimpinya, pembangunan tidak akan dapat dijalankan. Akibatnya, Indonesia tidak akan pernah menjadi negara maju. (indonesianreview/jdz)