Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau RANHAM ‘Menggugat’

oleh -13 Dilihat

Oleh : Bona Beding
Ketua Forum Masyarakat Adat Pesisir & Pulau-pulau Kecil Seluruh Indonesia (FORMAT-P)

Rencana Aksi HAM Minim Partisipasi dan mengabaikan sejumlah hak fundamental. Karena itu, Koaliai Masyarakat Pemantau RANHAM ‘menggugat’ pemerintah dengan mengajukam sejumlah alasan kritis-rasional sekaligus rekomendasi.

SEJAK tahun 1998, Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) menjadi salah satu kerangka kebijakan nasional yang diharapkan bisa memberikan dampak terhadap perbaikan kualitas penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Pengesahan RANHAM yang seturut dengan periode pembangunan jangka menengah nasional setiap lima tahun sekali merupakan wujud komitmen Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan kewajiban HAM yang dimandatkan oleh berbagai peraturan perundang-undangan, khususnya UUD 1945.

Pelaksanaan RANHAM selama lebih dari dua dekade juga diikuti dengan sejumlah penyesuaian struktural maupun kebijakan untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi dalam proses implementasinya. Namun demikian, masih banyak catatan kritis yang mengiringi implementasi hingga evaluasi, terutama dari aspek substansi, partisipasi, dan kelembagaan RANHAM, sehingga kebijakan ini dianggap belum mampu berkontribusi secara optimal dalam meningkatkan kualitas pemajuan dan penegakan HAM di Indonesia. Terlebih lagi, lambatnya proses pengesahan RANHAM 2020-2024 (generasi kelima) memperlihatkan kurangnya keseriusan pemerintah untuk menempatkan kebijakan ini sebagai kebijakan strategis di dalam rencana pembangunan nasional.

Lebih jauh, berangkat dari pelaksanaan RANHAM periode 2015-2019, Koalisi masyarakat sipil menilai ada sejumlah permasalahan mendasar dalam rumusan dan implementasinya, yaitu:

1. Aksi HAM Tidak Mencerminkan Pemahaman yang Holistik terhadap Masalah Hak Asasi Manusia: masih banyak isu-isu HAM fundamental yang terabaikan.

RANHAM 2015-2019 hanya berfokus pada program-program aksi yang menjadi rutinitas kementerian tanpa lebih jauh menjabarkan secara holistik persoalan HAM yang menuntut adanya kesalingterhubungan antara satu kementerian dengan kementerian lain, bahkan daerah. Oleh karena itu, sejumlah isu-isu fundamental masih terabaikan dalam penyusunan program aksi HAM.

– Isu-isu HAM yang belum terakomodir di dalam kebijakan RANHAM 2015-2019.
Koalisi menilai masih banyak isu-isu HAM yang belum diakomodir di dalam kebijakan RANHAM 2015-2019. Isu-isu tersebut antara lain: (1) penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu dan akses pemulihan menyeluruh bagi korban; (2) pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat hukum adat dan masyarakat adat pesisir; (3) perlindungan terhadap hak kelompok ragam seksual dan gender; (4) pencegahan perkawinan anak; (5) pemberantasan praktik female genital mutilation (FGM); (6) pengentasan masalah stunting secara komprehensif, terutama pada kelompok masyarakat yang tinggal di wilayah yang terpinggirkan; (7) perlindungan bagi pembela HAM; (8) pemenuhan hak-hak sosial dan ekonomi yang menyeluruh bagi kelompok disabilitas di seluruh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah; (9) perlindungan terhadap kelompok petani sebagai kelompok marjinal; (10) pencegahan perdagangan orang.

– Program aksi HAM yang perlu dioptimalisasi dalam Kebijakan RANHAM 2020-2024.
Berangkat dari berbagai catatan dalam pelaksanaan RANHAM periode sebelumnya, Koalisi berpandangan perlunya optimalisasi sejumlah program aksi dalam RANHAM periode 2020-2024, antara lain: (1) optimalisasi dan perluasan akses bantuan hukum terhadap masyarakat adat, anak, perempuan, dan kelompok rentan lainnya; (2) pemenuhan hak ketenagakerjaan bagi kelompok disabilitas (khususnya disabilitas perempuan dan anak), termasuk optimalisasi pelaksanaan kebijakan ramah bagi disabilitas seperti akses dan akomodasi yang layak; (3) perlindungan hak kelompok rentan dan marjinal dalam konflik lahan (anak, perempuan, disabilitas, masyarakat adat, dan kelompok rentan lainnya), termasuk memastikan mekanisme pengaduan dan penanganan kasus yang betul-betul berperspektif korban; (4) pemenuhan hak-hak dasar masyarakat adat, terutama dalam hal pengakuan eksistensi masyarakat adat dan atas tanah; (5) perlindungan hak-hak tenaga kerja termasuk buruh migran; (6) pemenuhan hak dan akses yang lebih menyeluruh terhadap obat-obatan bagi kelompok orang dengan HIV/AIDS; (7) optimalisasi dan transparansi penanganan kekerasan perempuan dan anak berbasis gender; (8) penguatan akses kepada keadilan bagi perempuan dan anak; (9) pelaksanaan prinsip-prinsip bisnis dan HAM dengan melibatkan partisipasi menyeluruh dari masyarakat/korporasi.

– Tidak ada tolok ukur untuk mengetahui dan memahami dampak program aksi HAM.
Koalisi juga berpandangan RANHAM tidak mampu memberikan warna tersendiri di antara sejumlah kebijakan lain yang serupa, seperti Rencana Aksi untuk pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), RPJMN, dan lainnya. Hal ini disebabkan karena: (1) aksi-aksi yang ditetapkan tidak memiliki kekhusuan jika dibandingkan dengan rencana aksi yang telah ditetapkan dalam kebijakan lain; dan (2) tidak adanya informasi dasar (baseline) sebagai tolok ukur untuk memahami sampai sejauh mana dampak (outcome) pelaksanaan program aksi HAM 2015-2019 bagi pemajuan HAM di masyarakat.

2. Pengaturan RANHAM yang Tidak Efektif Menyebabkan Tidak Optimalnya Implementasi Program Aksi HAM.

Koalisi berpendapat bahwa pelaksanaan RANHAM 2015-2019 belum merefleksikan kebutuhan riil masyarakat, terutama jika mengacu pada sejumlah data hasil pemantauan masyarakat sipil, maupun yang tertulis di dalam berbagai laporan pelaksanaan instrumen HAM internasional, seperti UPR, Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, Budaya, dan CEDAW. Akibatnya, kebijakan RANHAM tidak mampu merespon masalah-masalah aktual yang terjadi secara cepat dan kontekstual, karena model pengaturannya yang parsial dan sangat terikat pada politik birokrasi kelembagaan.

Hal ini terjadi karena antara lain: (1) minimnya partisipasi masyarakat sipil dalam pelaksanaan RANHAM 2015-2019, terutama dalam proses pelaporan, pengawasan, dan evaluasi pelaksanaannya; (2) lemahnya koordinasi dan kerjasama antar kementerian/lembaga di dalam pelaksanaan RANHAM 2015-2019, termasuk tidak adanya dukungan menyeluruh yang diberikan oleh kementerian yang tergabung di dalam Sekretariat Bersama RANHAM; dan (3) lambatnya proses pembahasan dan pengesahan Perpres RANHAM 2020-2024 yang menyebabkan tidak optimalnya pelaksanaan RANHAM dalam merespon permasalahan-permasalahan aktual yang terjadi di masyarakat.

Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, koalisi masyarakat sipil menilai kebijakan RANHAM belum mampu secara optimal berkontribusi dalam perbaikan pemajuan dan penegakan HAM di Indonesia. Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau RANHAM merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut:

Pertama, menekankan pada pemerintah untuk memperluas cakupan ruang lingkup rencana aksi 2020-2024, terutama isu-isu yang selama ini belum mendapatkan perhatian di dalam kebijakan RANHAM 2015-2019, maupun isu-isu aktual lain yang mengemuka di masyarakat.

Kedua, pemerintah untuk mempercepat pembahasan dan pengesahan Rancangan Peraturan Presiden tentang RANHAM 2020-2024, dengan mempertimbangkan kebutuhan aktual dan kontekstual dalam menyelesaikan permasalahan HAM secara menyeluruh. Hal ini juga termasuk meningkatkan peranan dan fungsi Sekretariat Bersama RANHAM untuk memastikan pelaksanaan HAM oleh Kementerian, Lembaga, dan Pemerintah Daerah.

Ketiga, penting untuk mempublikasikan hasil evaluasi RANHAM 2015-2019 (pelaksanaan Perpres No. 33 Tahun 2018 dan Perpres No. 75 Tahun 2015), guna menghindari pengulangan-pengulangan dalam pelaksanaan, dan upaya mencari langkah-langkah perbaikan dalam pelaksanaan RANHAM periode berikutnya.

Keempat, mendorong pemerintah menjamin adanya ruang partisipasi aktif dan pelibatan yang lebih luas dari masyarakat sipil, untuk setiap proses pelaksanaan RANHAM 2020-2024 termasuk proses monitoring dan evaluasinya.

Kelima, mendesak Presiden Joko Widodo untuk menginstruksikan kementerian dan lembaga di bawahnya untuk memberikan dukungan yang diperlukan demi efektivitas pelaksanaan RANHAM 2020-2024, termasuk menjadikan RANHAM sebagai salah satu tolok ukur keberhasilan kinerja Kementerian, Lembaga, dan Pemerintah Daerah.

Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau RANHAM, terdiri dari ECPAT-Indonesia, Forum Masyarakat Adat Pesisir & Pulau-pulau Kecil Seluruh Indonesia (FORMAT-P), Human Rights Working Group (HRWG), Ikatan Perempuan Positif Indonesia, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Konsil LSM Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMA), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK),
Wahana Visi Indonesia, Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak (SAPDA).

Jakarta, 15 Mei 2020

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *