JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi menegaskan bahwa instrumen justice collaborator menjadi pedang ampuh untuk menebas jaringan kejahatan korupsi yang sudah akut di negeri ini.
Kasus suap proyek infrastruktur hasil tangkap tangan terhadap mantan anggota Komisi V DPR asal PDI Perjuangan, Damayanti Wisnu Putranti, membuktikan instrumen justice collaborator bertaji untuk membongkar kasus tersebut. Tiga kolega Damayanti di Komisi V DPR, yaitu Budi Supriyanto, Andi Taufan Tiro, dan Musa Zainuddin, bisa dijerat KPK dan telah berstatus tersangka.
Boleh jadi penetapan ketiganya sebagai tersangka berawal dari ‘nyanyian’ Damayanti. Sebagai justice collaborator, Damayanti juga mengungkapkan kepada penyidik bahwa sebagian besar anggota Komisi V terlibat. Pun ia mengungkap ihwal lumrahnya penarikan fee setiap proyek di komisi yang menjadi mitra kerja Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat itu.
Atas perannya, Damayanti pun mendapat ‘insentif’. Dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (26/9), hakim memvonisnya lebih ringan ketimbang tuntutan jaksa.
Insentif berupa peringanan vonis itu memang menimbulkan perdebatan. Sebagian orang berpendapat bahwa mekanisme justice collaborator membuat hukuman bagi koruptor menjadi lebih ringan. Akan tetapi, melalui justice collaborator, penegak hukum mendapatkan informasi berharga tentang siapa saja yang terlibat dalam korupsi.
Kita tahu korupsi minimal melibatkan dua orang, penyuap dan penerima suap. Bahkan, korupsi di lembaga hukum atau lembaga politik seperti DPR biasanya dilakukan beramai-ramai.
Celakanya, ketika KPK dan pengadilan tipikor bersemangat menjadikan justice collaborator sebagai instrumen untuk memutus rantai korupsi, Kementerian Hukum dan HAM justru hendak menghapus justice collaborator sebagai syarat untuk memperoleh remisi. Ini jelas kebijakan yang kontraproduktif bagi pemberantasan korupsi.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly beralasan aturan dalam PP Nomor 99 Tahun 2012 yang mensyaratkan terpidana menjadi justice collaborator untuk mendapatkan remisi bersifat diskriminatif. Yasonna menyatakan remisi merupakan rezim pembinaan di lembaga pemasyarakatan; hal terpisah dari proses penegakan hukumnya.
Namun, korupsi sebagai kejahatan luar biasa harus diperangi secara integral oleh semua lembaga penegak hukum. Upaya pembinaan dan penjeraan dilakukan dari awal atau penyidikan.
Yasonna juga memunculkan wacana seolah-olah bila koruptor tidak mendapat remisi, LP akan semakin penuh. Padahal, yang membuat LP penuh ialah maraknya kejahatan peredaran dan penyalahgunaan narkoba. Banyak pemakai narkoba, yang semestinya direhabilitasi, dihukum sebagaimana pengedar atau bandar.
KPK tegas menolak rencana Menkum dan HAM tersebut. Begitu pula Presiden Joko Widodo, yang menegaskan tidak akan menandatangani revisi PP tersebut jika Yasonna mengajukannya.
Akan lebih diapresiasi jika Menkum dan HAM lebih fokus dalam membenahi mekanisme pemberian remisi di lembaganya. Terlalu banyak jenis remisi yang juga ditengarai menjadi komoditas suap bagi napi berduit.
Kita mendukung negara tetap menerapkan mekanisme justice collaborator untuk memutus mata rantai korupsi di negeri ini. Akan tetapi, untuk benar-benar menghadirkan efek jera, selain melalui justice collaborator, penegak hukum juga harus menjatuhkan vonis penyitaan atau perampasan aset para koruptor, termasuk mencabut hak politik mereka. (mi/jdz)
Foto : Para pimpinan KPK