Kupang, mediantt.com – Jumat, 19 Juni 2020, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) NTT menggelar web-seminar (webinar) bertajuk “Ketahanan Pangan Masyarakat Sekitar Kawasan Konservasi Berkelanjutan”.
Webinar yang melibatkan sekitar 1.200 anggota itu dipandu oleh staf BBKSDA NTT, Mulyo Hutomo. Sementara yang tampil sebagai narasumber adalah orang-orang pilihan dan unggul, seperti Ronny Megawanto (Pengurus Yayasan Kahati Indonesia), Prof Fredrik L. Benu (Rektor Universitas Nusa Cendana Kupang).
Frans Sarong (Tokoh masyarakat dan pensiunan wartawan Kompas), Satyawan Pudyatmoko (Akademisi Universitas Gajah Mada), Maria Loretha (tokoh perempuan yang juga pegiat tanaman sorgum, berdomisili di Adonara, serta Timbul Batubara selaku Kepala BKSDA NTT.
Direktur Jenderal Konservasi dan Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Ir. Wiratno, dalam materinya mengungkapkan tiga pilar penting yang menjadi kunci untuk menjaga keutuhan kawasan konservasi; yakni adat, agama dan pemerintah.
Sebagai pembanding, Dirjen KSDAE Wiratno mengangkat tragedi ‘Rabu Berdarah Colol’ di Kabupaten Manggarai Timur, NTT tahun 2012.
Menurut dia, tragedi yang memakan korban jiwa itu bisa diselesaikan dengan tiga pilar, yaitu adat, agama dan pemerintah.
Bagi dia, tiga pilar itu adalah model pendekatan paling bagus untuk dipakai pada sejumlah konflik. Itu terutama yang melibatkan kawasan konservasi di seluruh Indonesia.
“Budaya merupakan pilar penting. Tiga pilar adalah konsep yang saya gunakan untuk konflik kopi Colol. Peran budaya, Gereja dan Negara. Tiga pilar itu adalah kunci menyelesakian konflik budaya dan lingkungan,” kata Wiratno.
Sementara itu, mantan wartawan Kompas Frans Sarong dalam materi mengatakan, tragedi ‘Rabu Berdarah Colol’ itu sekaligus menyadarkan pihak BBKSDA NTT untuk mengubah model pendekatan dalam pengelolaan kawasan koservasi.
Penulis buku Serpihan Budaya NTT itu mengatakan, setelah dicermati secara mendalam, Wiratno yang ketika menahkodai BBKSDA NTT tahun 2012, akhirnya meluncurkan model pengelolaan yang disebut pendekatan berbasis tiga pilar (adat, agama, dan pemerintah).
Tiga pilar itu, sebut Frans, merupakan model pengelolaan kawasan konservasi yang memadukan kekuasaan dengan pendekatan berbasiskan lembaga agama (Gereja) dan lembaga adat setempat.
Menurut dia, pendekatan baru itu terbukti manjur karena antara lain mampu mencairkan kebekuan hubungan antara BBKSDA NTT dengan warga masyarakat Colol.
Politisi Golkar itu pun mengharapkan agar model pendekatan baru ini dapat menginspirasi model pengelolaan kawasan konservasi lain di Indonesia.
“Kita tunggu berbagai terobosan konkret yang berbasiskan kearifan lokal untuk kelestarian kawasan konservasi di satu sisi, dan terjaganya ketahanan pangan masyarakat sekitar kawasan, di disi lainnya,” tegas Frans.
Ia juga menyebutkan contoh lain di Taman Wisata Alam (TWA) Menipo, Kabupaten Kupang. Masyarakat sekitar terutama dari kalangan remaja, baru mulai menyadari ternyata “penangkaran” Rusa Timor di Menipo adalah jejak kepedulian leluhur mereka, pasangan Meni dan Fon.
Menyusul difestivalkan pada November 2019, mulai mekar kesadaran publik bahwa mengamankan Menipo sama maknanya menghormati leluhur mereka.
Belakangan, sebut Frans, Menipo yang merupakan gundukan pulau mungil saat pasang naik, mulai tumbuh jadi pilihan pelancongan, setidaknya warga Kota Kupang.
“Berbagai kearifal lokal seperti ini harus selalu digeliatkan hingga menjadi kesadaran publik masyarakat sekitar kawasan. Misalnya melalui festival khusus yang digelar per tahun atau lima tahunan. Selain itu, perlu pertimbangkan adanya pasaran pantas dan pasti untuk panenan madu atau hasil lain yang didapat masyarakat dari kawasan konservasi,” jelas Frans.
Sumber Pangan Hutan
Sementara itu, Kepala BBKSDA NTT Timbul Batubara dalam materinya menjelaskan, konservasi idealnya mendukung ketahanan pangan, karena kawasan konservasi merupakan sumber pangan hutan yang menyediakan keaneka-ragaman pangan bagi masyarakat sekitar. Artinya, menurut dia, konservasi dapat menjamin ketahanan pangan masyarakat melalui prinsip pengelolaan perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan yang bertujuan untuk menjamin pelestarian dan keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya alam yang ada di dalamnya, termasuk pangan hutan.
Ia juga mengatakan, sumber pangan dari hutan dapat melengkapi dan atau memenuhi pemenuhan kebutuhan pangan dalam hal jumlah pangan (food sufficiency), mutu (food quality) dan keragamannya. Ketersediaan pangan masyarakat di dalam kawasan konservasi dapat diakses oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di dalam blok pemanfaatan tradisional sehingga menjamin ketahanan pangan masyarakat.
Sumber-sumber pangan dalam hutan, jelas dia, merupakan bagian dari budaya masyarakat sekitar selama ratusan tahun sehingga terjamin tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat sekitar. “Keberadaan masyarakat sekitar kawasan hutan sebagai bagian dari keluarga besar konservasi mendukung kelestarian hutan dengan kearifan lokalnya yang menjamin pemanfaatan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan tetap menjaga kelestarian hutan,” tegas Timbul. (jdz)