Literasi bisa diartikan sebagai upaya mengasah kemampuan mengenal kata, menyatakan pendapat, dan menciptakan barang dan jasa. Namun kata kuncinya adalah harus banyak membaca. Karena itu, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dibawah kepemimpinan Gubernur Viktor Laiskodat dan Wakil Gubernur Josef Nae Soi terus mendorong gerakan literasi hingga ke desa-desa dengan tujuan mengubah pola pikir masyarakat yang sempit menjadi luas, dari apa adanya menjadi komprehensif, hingga akhirnya masyarakat sasaran literasi mampu menciptakan sesuatu yang berguna bagi kehidupannya.
Membangun NTT melalui literasi sudah menjadi komitmen Gubernur dan Wakil Gubernur. Keduanya selalu memberi aksentuasi pentingnya membaca. Karena dengan banyak membaca, mimpi besar terwujudnya masyarakat yang mandiri dan sejahtera akan terpampang di depan mata.
Bahkan dengan literasi akan melahirkan generasi berkarakter yang mampu menggiring NTT dari daerah miskin menjadi kawasan yang kaya.
Untuk itu, budaya literasi mesti terus digalakan. Multi pihak harus terlibat dalam urusan ini, terutama pemerintah kabupaten/kota, seperti yang sudah dilakukan Pemerintah Kabupaten Lembata melalui Festival Literasi tahun 2018 dan Nagekeo 27-30 September 2019.
Melalui ferstival literasi masyarakat diajak untuk mulai bangkit dan rajin membaca demi menepis derasnya godaan negatif akibat pesatnya teknologi informasi saat ini.
Dasar pelaksanaan festival tersebut adalah karena tingkat literasi, minat baca dan menulis di Lembata maupun Nagekeo dan NTT secara umum, masih sangat rendah.
Masyarakat NTT belum terbiasa dengan budaya literasi. Membaca dan menulis belum mengakar kuat. Masyarakat lebih sering menonton atau mendengar dibanding membaca, apalagi menulis. Bahkan dewasa ini rata-rata masyarakat menghabiskan waktu tiga sampai empat jam sehari untuk bermain handphone dan rentan mendapatkan informasi yang tidak jelas, bahkan hoaks, akibat kebiasaan membaca sepintas dan kurang memahami informasi.
Karena itu, sekali lagi, budaya literasi mesti digalakan. Mulailah dari diri sendiri, kemudian mengajak anak, saudara, dan tetangga. Sebab tujuan literasi adalah membudidayakan semangat membaca dan menulis, agar masyarakat buta aksara atau masyarakat yang kemampuan membaca dan menulisnya belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dapat melatih diri untuk terbiasa membaca, lalu mampu menyerap dan mengelola informasi yang sudah dibaca demi kepentingan hidupnya.
“Literasi itu tidak hanya sekedar tahu baca tulis, tapi bagaimana setelah membaca, mampu menterjemahkan informasi yang dibaca untuk kegiatan ekonomi sehari-hari,” ujar Wakil Gubernur Josef Nae Soi.
Literasi sesungguhnya menyasar pada gerakan menumbuhkan minat baca, dengan harapan akan ada proses pembiasaan yang terus-menerus, sehingga terbentuk budaya yang melahirkan karya nyata. Sebab budaya membaca dan menulis akan membentuk pola berbahasa, yang menjadi basis pola berpikir teratur dan terstruktur, yang menggaransi terbentuknya jati diri, sikap dan perilaku yang berkarakter.
Untuk memiliki pola berbahasa yang baik dan benar, maka kemampuan berbahasa dikembangkan melalui latihan, mulai dari mengenal huruf, kata, kalimat dan merangkai kalimat menjadi pengertian.
Pola berbahasa inilah menjadi basis berpikir seseorang, membentuk pola berpikir seseorang. Karena setiap manusia berpikir selalu dalam bahasa.
Bahasalah yang memungkinkan seseorang mampu berpikir. Semakin bagus kemampuan berbahasanya, semakin bagus pula kemampuan berpikirnya. Semakin teratur pola berbahasanya, semakin teratur pula pola dan struktur berpikirnya.
Filosof Martin Heidegger mengatakan bahwa bahasa adalah ‘rumah sang ada’. Kita memang berada dalam rumah bahasa; hidup oleh dan karena bahasa. Tanpa bahasa kita tak bisa berbuat apa-apa, tak bisa berkomunikasi, tidak bisa berpikir dan bekerja untuk menghasilkan sesuatu. Bahasa, sejatinya, berperanan sangat penting.
Namun bahasa yang baik dan benar, teratur dan terstruktur dibentuk melalui proses berkanjang atau waktu yang panjang dengan terus menerus membaca dan menulis. Bahasa inilah yang membentuk struktur berpikir, dan secara dialektis menghasilkan kembali bahasa yang semakin baik dan teratur.
Pola bahasa dan pola pikir pada saat bersamaan akan membentuk pola sikap dan tindakan, perilaku yang baik, yang boleh dikatakan sebagai perilaku yang berkarakter.
Sehingga bahasa dan pola berpikir berkarakter menandai sikap dan perilakunya yang berkarakter.
Sederhananya, pola berbahasa santun, halus, berkarakter itulah yang menggambarkan sekaligus membentuk pola sikap dan perilaku santun, halus, dan berkarakter pula.
Inilah point strategis dari arahan gerakan literasi yang dicanangkan sebagai gerakan pembentuk budi pekerti. Karena itu, rendahnya literasi menjadi masalah fundamental yang memiliki korelasi kuat bagi kemajuan. Ini akan berujung pada rendahnya pertumbuhan dan akhirnya berdampak terhadap rendahnya tingkat pendapatan per kapita sehingga menjadi penghambat meningkatkan kualitas hidup masyarakat itu sendiri.
Jika demikian kondisinya, maka pencapaian kesejahteraan sulit diraih. Karena literasi rendah memberikan sumbangsih berarti terhadap kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan sosial.
Untuk itu, perlu ada intervensi spesifik dari pemerintah untuk meningkatkan gerakan literasi
Sebab mencapai kesejahteraan adalah tujuan utama dari literasi. Kesejahteraan dimaksud adalah kesejahteraan untuk semua, tidak ada yang terabaikan.
Karena itu Gubernur dan Wakil Gubernur NTT meyakini, literasi merupakan pintu utama menuju NTT Bangkit, NTT Sejahtera, dan kesejahteraan itu akan tercapai bila kita semua dan seluruh pemangku kepentingan berkontribusi secara optimal. (Adv/Kerja Sama Biro Humas dan Protokol Provinsi NTT)