TERANG-terangan, tanpa malu-malu lagi, Partai Golkar mematok Rp1 miliar bagi kader yang ingin mengadu peruntungan sebagai calon ketua umum partai berlambang beringin itu.
Angka yang diputuskan dalam rapat pleno DPP Partai Golkar pada 28 April itu, sesungguhnya, sudah jauh dikorting dari wacana sebelumnya yang mencapai Rp20 miliar.
Setidaknya, hingga pendaftaran calon selama dua hari yang ditutup Rabu (4/5), belum ada suara penolakan dari bakal calon ketua umum atas syarat mahar politik itu. Mahyudin, misalnya, langsung menyetor uang sebesar Rp1 miliar saat mendaftarkan diri sebagai bakal calon.
Harus tegas dikatakan bahwa Partai Golkar sedang mencatat sejarah baru. Inilah kali pertama dalam perjalanan politik di Indonesia, calon ketua umum partai diharuskan menyetor sejumlah uang. Apakah Partai Golkar sedang mencatat sejarah dengan tinta emas atau justru sebaliknya, mencatat sejarah kelam?
Alasan resminya, mahar politik sebagai salah satu cara untuk mencegah politik uang. Selain itu, sumbangan Rp1 miliar disebutkan sebagai bentuk gotong-royong membiayai Munaslub sebesar Rp47 miliar. Munaslub yang direncanakan dibuka Presiden Joko Widodo itu sedianya dilaksanakan pada 23-25 Mei, dimajukan menjadi 15-17 Mei di Nusa dua, Bali.
Mahar politik bisa juga dibaca sebagai cara legal untuk membuang calon ketua umum yang tidak punya uang. Tersirat makna di balik syarat mahar itu bahwa Partai Golkar hanya boleh dipimpin orang berduit atau pengusaha.
Orang tidak berduit atau bukan pengusaha dibuang jauh-jauh. Partai politik merupakan organisasi perjuangan sehingga idealnya diisi oleh orang-orang dengan idealisme perjuangan yang memiliki nilai-nilai dan gagasan. Orang-orang itu biasanya datang dari latar belakang yang tidak memiliki sumber dana besar, apalagi seorang pengusaha. Sayangnya, mereka tidak mendapat tempat terhormat di Partai Golkar.
Persoalan lain yang tentu saja menimbulkan perdebatan panjang ialah apakah mahar itu benar bertujuan mencegah politik uang atau melegalkan politik uang?
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarief menilai, iuran sebesar Rp1 miliar yang dibebankan kepada setiap calon ketua umum sama dengan politik uang. Karena itu ia berharap agar iuran tersebut dibatalkan.
Politik uang, diakui atau tidak, senantiasa mewarnai pemilihan ketua umum partai politik. Akan tetapi, keberadaan politik uang selama ini sama seperti angin, hanya bisa dirasakan tapi tidak bisa dilihat wujudnya.
Bisa jadi Partai Golkar sedang berusaha sekuat tenaga untuk memperlihatkan secara nyata wujud politik uang itu, agar bentuknya tidak seperti angin, lewat ketentuan iuran Rp1 miliar per calon ketua umum. Jika itu yang sedang dilakukan Golkar, partai ini sesungguhnya sedang mencatat sejarah kelam.
Disebut sejarah kelam karena penetapan syarat setoran tersebut akan membuat ketua umum yang terpilih nanti tidak bisa lepas dari persoalan uang. Calon terpilih akan terbebani untuk mengembalikan modal yang sudah dia keluarkan saat munaslub dengan cara-cara yang tidak legal, misalnya korupsi.
Jauh lebih mulia bila Golkar fokus mencari ketua umum yang mampu mempersatukan kembali keutuhan partai yang retak. Ketua umum terpilih harus mampu mengembalikan citra Golkar dari partai milik perseorangan atau segelintir elite menjadi badan hukum publik yang menjadi milik bersama para anggota. (miol/jdz)
Foto : Suasana Partai Golkar di Munas Bali.