Ilustrasi
MELAPOR ke polisi karena merasa nama baik dicemarkan semakin menjadi kebiasaan di masyarakat. Terlebih ketika langkah tersebut mendapatkan landasan yang kuat dengan terbitnya Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Lahirnya UU ITE pada 2008 di era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pun bukan tanpa pemicu. Perkembangan media sosial memberikan saluran alternatif menyampaikan pendapat, komplain atas layanan, hingga sekadar keluh kesah.
Di situ kemudian timbul persoalan. Ketiadaan filter dan pedoman etika dalam penggunaan media sosial membuat penyampaian pendapat dan informasi tidak terkendali. Caci maki, fitnah, dan hoaks berseliweran.
Undang-Undang ITE kemudian dibuat sebagai rambu agar pengguna media sosial tidak seenak perutnya menyampaikan pendapat dan meneruskan informasi. Di sisi lain, harus diakui media sosial merupakan saluran yang cukup efektif untuk menyampaikan pendapat, kritik, dan keluhan. Apalagi, ketika aduan ke saluransaluran resmi membentur tembok.
Oleh sebab itu, UU ITE sering dianggap instrumen pembungkam kritik dan membunuh kebebasan berpendapat. Kontroversi pun terus mengiringi UU ITE karena keberadaan pasal-pasal yang dianggap multitafsir.
Revisi pada era Presiden Joko Widodo belum bisa menyudahinya. Kini, kontroversi kembali menghangat. Undangan Presiden agar masyarakat aktif menyampaikan kritik kepada pemerintah dibalas dengan sindiran. Sampai-sampai mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang mendampingi Jokowi di periode pertama pemerintahannya, bertanya bagaimana cara menyampaikan kritik tanpa berurusan dengan polisi.
Memang, banyak aduan justru bukan disampaikan orang yang menjadi sasaran kritik atau pencemaran nama baik. UU ITE memungkinkan laporan dilakukan oleh rekan, kerabat, pendukung, ataupun simpatisan. Efeknya berbalik ke pemerintah sendiri yang dianggap antikritik.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo lantas merespons dengan rencana menerbitkan telegram pedoman aduan pelanggaran UU ITE. Pelapor harus merupakan korban secara langsung. Kapolri juga berjanji bahwa kepolisian akan lebih selektif memproses pengaduan pelanggaran UU ITE.
Namun, solusi itu bersifat jangka pendek. Revisi pasal-pasal karet dalam UU ITE tetap dibutuhkan sebagai solusi jangka panjang. Ketika hendak merevisi UU ITE, satu hal yang menjadi pegangan, jangan sampai penyampai kritik bisa ikut terjerat.
Bagaimanapun roda pemerintahan memerlukan kritik dan masukan agar tidak menyimpang. Demikian pula dengan layanan publik dan layanan konsumen. Undang-undang semestinya membedakan antara kritik dengan pencemaran nama baik, penghinaan, dan fi tnah.
Saat orang menyerang pribadi, baik secara fisik maupun mental, barulah bisa disebut menghina. Bila yang diserang ialah layanan, kinerja, atau perbuatan, tunggu dulu. Perlu pula ada aturan ketika pejabat publik, instansi pemerintah, dan perusahaan penyedia layanan konsumen mendapat serangan, mereka wajib memberikan klarifikasi terlebih dahulu.
Jika serangan berlanjut dan dianggap tidak sesuai fakta, baru bisa diadukan ke polisi. Budaya mengkritik, memberikan masukan, khususnya kepada pemerintah, harus ditumbuhkan sekaligus dilindungi.
Seiring dengan itu, masyarakat perlu mendapat edukasi penyampaian kritik dan membedakannya dengan caci maki agar tercipta demokrasi yang sehat. (e-mi/jdz)