Memangkas Biaya Tinggi Pilkada

oleh -18 Dilihat

JAKARTA – Pemilihan kepala daerah semestinya menjadi sarana untuk memproduksi pemimpin daerah yang berkualitas. Namun, tak jarang prosesi pilkada justru kerap menghasilkan tersangka atau terpidana. Politik biaya tinggi masih menjadi biang penyebab banyaknya mereka yang berkontestasi di pilkada meringkuk di balik jeruji besi. Teramat banyak kepala daerah terpilih yang ujung-ujungnya menjadi pesakitan lantaran mereka menempuh segala cara untuk memenangi pilkada.

Yang paling sering, kepala daerah menjadi tersangka, terdakwa, atau bahkan terpidana perkara korupsi. Kasus pidana lain, seperti penipuan dan penggelapan, juga tak jarang membelit para kontestan pilkada. Contoh teranyar ditunjukkan Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Ramadhan Pohan yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Sumatra Utara, Rabu (20/7). Ramadhan Pohan dituding melakukan penipuan dan penggelapan dana sekitar Rp15 miliar.

Uang sebanyak itu ia pinjam dari pengadu untuk kepentingan kampanye saat ia bersaing di pilkada Kota Medan, Sumatra Utara, tahun lalu. Ibarat pepatah sudah jatuh tertimpa tangga, tak hanya gagal menjadi Wali Kota Medan, Pohan kini berlabelkan tersangka bahkan bukan tak mungkin menjadi terpidana. Kasus Pohan ialah bukti kuat betapa kekuasaan begitu menyilaukan bagi sebagian orang sehingga apa pun caranya harus didapatkan.

Mereka sampai-sampai menutup kesadaran atas kemampuan sendiri, lalu nekat utang sana sini demi menutupi biaya kontestasi yang amat tinggi.
Dengan perilaku seperti itu, mereka yang menang ataupun yang kalah dalam pilkada sama-sama harus menanggung beban. Pemenang tak akan fokus pada upaya penyejahteraan rakyat saat menjabat, tapi sibuk pada usaha untuk mengembalikan modal.

Korupsi jamak dilakukan untuk mengisi kembali pundi-pundi kekayaan yang dikuras atau untuk membayar pinjaman selama pilkada. Politik balas budi juga menjadi hal lumrah kepada mereka yang membantu memenangi pilkada. Yang kalah harus siap jatuh miskin atau berurusan dengan hukum karena persoalan utang seperti halnya Pohan. Ketika mekanisme pilkada diubah dari sistem pemilihan oleh DPRD menjadi pemilihan langsung oleh rakyat, politik uang diharapkan bisa dipangkas.

Namun, realitas yang terjadi justru sebaliknya. Politik uang malah kian marak, biaya yang ditanggung para kontestan kian membengkak. Negara sebenarnya terus berupaya mengubah pilkada dari high cost politics menjadi low cost politics, salah satunya dengan pilkada serentak. UU No 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota juga mengatur biaya kampanye peserta pilkada ditanggung negara. Sanksi bagi partai politik dan kandidat yang menerima atau memberi imbalan dalam pencalonan sudah pula digariskan.

Namun, beragam ikhtiar itu tetap sia-sia karena minimnya dukungan dari mereka yang berkepentingan. Memang sudah ada parpol yang dengan tegas mengharamkan uang mahar, tetapi harus jujur kita katakan masih banyak partai yang terus menabur benih politik uang. Masih banyak pula kandidat yang gegabah membeli perahu pencalonan meski sebenarnya itu besar pasak daripada tiang. Tabiat-tabiat itulah yang melanggengkan pilkada biaya tinggi. Tabiat-tabiat itulah yang menjadikan pilkada sebagai akar korupsi.

Beragam aturan untuk meminimalisasi politik uang yang sudah tersedia tak boleh percuma. Pengawasan maksimal oleh Panwaslu menjadi keniscayaan. Sanksi tanpa kompromi bagi pelanggar baik parpol maupun kandidat pun merupakan kemestian. Tanpa itu, pilkada akan tetap berbiaya tinggi, menjadi pangkal korupsi, dan terus memproduksi tersangka atau terpidana. (mi/jdz) 

Foto : Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat, Ramadhan Pohan.